|
S A S I Volume 26
Nomor 4, Oktober -
Desember
2020 : h.
557
- 570 p-ISSN: 1693-0061 | e-ISSN: 2614-2961 Jurnal Terakreditasi Nasional, SK. No. 28/E/KPT/2019 This is open access article under the CC-BY-NC 4.0 International License |
Konstruksi Penataan Daerah dan Model Pembagian Urusan
Pemerintahan
Sherlock Halmes Lekipiouw
Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia
E-mail: lekipiouw.sherlock@gmail.com
Dikirim: 30/07/2020 |
Direvisi: 13/10/2020 |
Dipublikasi: 30/12/2020 |
||
Info Artikel |
|
Abstract |
||
Keywords: Regional Arrangement; Division Model; Government
Affairs. |
|
Regional arrangement and distribution model of governmental affairs. The
purpose of this research is to provide clarity regarding the legal
interpretation of the formulation of norms in regional government laws.
Research methods The research method uses normative research through a
conceptual approach and a statue approach. The results showed that the
development of decentralization into a state administration system had an
impact on local government institutions, one of which was the distribution
pattern of government affairs. Thus, comparing the distribution of functions
is not possible without the overall decentralized institutional framework
developed by a country. From this, a comprehensive framework
of decentralization institutions and local government is needed. It also does
not rule out the possibility for a region to propose governmental affairs
that become its specialty, both on a provincial and regional scale. The
concept of division of functions is carried out dynamically, where regions
can carry out real government affairs (needed and in accordance with regional
capacities). It should be possible for districts / cities to propose
governmental affairs that are needed or not needed; who can or cannot be
arrested. Decentralization can only work if it is based on a number of
preconditions, namely a capable and effective central government. Therefore,
it is necessary to review various regulations that are not in line with the
principle of broadest autonomy. |
||
|
|
Abstrak |
||
Kata
Kunci: Penataan Daerah; Model Pembagian; Urusan Pemerintahan. |
|
Penatan daerah dan model pembagian urusan pemerintahan.
Tujuan dari penelitian ini yaitu memberikan kejelasan mengenai penafsiran
hukum atas rumusan norma dalam undang-undang pemerintahan daerah. Metode
penelitian Metode penelitian menggunakan penelitian normatif melalui
pendekatan konseptual (conceptual
approach) dan pendekatan perundang-undangan (statue approach). Hasil penelitian menunjukan bahwa perkembangan
desentralisasi menjadi sistem ketatanegaraan berdampak pada kelembagaan pemerintahan daerah, yang merupakan suatu model sebagai salah
satu pembagian urusan pemerintahan, dengan
demikian, sebagai perbandingan pembagian fungsi tidak mungkin dilakukan tanpa kerangka kelembagaan desentralisasi
secara keseluruhan yang dikembangkan oleh suatu negara. Dari sini diperlukan
kerangka kerja yang komprehensif dari lembaga desentralisasi dan pemerintahan
daerah. Tidak menutup kemungkinan pula bagi suatu daerah untuk mengajukan
urusan pemerintahan yang menjadi kekhususannya, baik dalam skala provinsi
maupun regional. Konsep pembagian urusan dilakukan secara dinamis, dimana
daerah dapat melaksanakan urusan pemerintahan secara nyata (dibutuhkan dan
sesuai dengan kemampuan daerah). Seharusnya mungkin kabupaten / kota mengajukan
urusan pemerintahan yang dibutuhkan atau tidak diperlukan; siapa yang bisa
atau tidak bisa ditahan. Desentralisasi hanya dapat berjalan jika dilandasi
oleh sejumlah prasyarat, yaitu pemerintah pusat yang mampu dan efektif. Oleh
karena itu, perlu dikaji ulang berbagai regulasi yang tidak sejalan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya. |
||
DOI: |
|
|||
A.
PENDAHULUAN
Penyelenggaraan sistem pemerintahan
di daerah merupakan suatu hal yang sangat sakral karena menyangkut tatanan dan
keutuhan Negara kesatuan.[1] Penyelenggaraan
pemerintahan dalam konsep hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, secara
filosofis bertumpuh pada tujuan negara sebagaimana dimaksud pada alenea ketiga
dan keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Pengaturan mengenai hubungan antara
pusat dan daerah dalam tataran teoritis berkaitan dengan pembagian kekuasaan
secara horizontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara horizontal merupakan
pembagian kekuasaan, dimana kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan
kepada cabang kekuasaan negara yakni kekuasaan eksekutif (pemerintahan),
kekuasaan legislatif (parlamen) dan kekuasaan yudikatif (badan peradilan).
Sementara itu, pembagian kekuasaan secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat (nasional) dan satuan pemerintahan yang lebih rendah
(pemerintah daerah).
Berangkat dari konstruksi Pasal 1 ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945, jelas terlihat bahwa konsep negara kesatuan merupakan lasandan konstitusional hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah. Perubahan (amandemen) terhadap ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B UUD 1945
(amandemen), memberikan arah dan format baru dalam kaitan dengan
prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Perubahan terhadap
Pasal 18 UUD 1945 juga dimaksudkan untuk lebih memperjelas pembagian daerah
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana istilah “dibagi atas” (bukan
“terdiri atas”) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945[2].
Berkenaan dengan prinip-prinsip sebagaimana dimaksudkan
dalam ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B UUD NRI
Tahun 1945 tersebut diatas,
Phlipus M. Hadjon[3],
menyatakan bahwa :
“ Pasal 18 Mengandung” Prinsip pembagian daerah yang bersifat
hirarkis (ayat 1); Prinsip otonomi dan tugas pembantuan (ayat 2); Prinsip
demokrasi (ayat 3 dan 4); dan Prinsip otonomi seluas-luasnya (ayat 5). Pasal
18A Merupakan
prinsip hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang meliputi :
Hubungan wewenang (ayat 1) dan Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya (ayat 2). Pasal 18B Mengandung prinsip pengakuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus atau yang bersifat istimewa;
dan prinsip pengakuan eksistensi dan hak-hak tradisional masyarakat adat”
Otonomi daerah sebaiknya luwes,
kenyal, dengan melihat kemampuan inisiatif dan kondisi spesifik masing-masing
daerah. Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan
yang berbentuk Republik
melandasi pelaksanaan pemerintahan di daerah pada asas desentralisasi. Kaidah
asas ini melahirkan makna otonom, dengan substansi pe[4]nyerahan
(overdragen) kewenangan atau urusan
pemerintahan kepada daerah. Makna yang terkandung dalam asas desentralisasi
bahwa penyelenggaraan urusan umum pemerintahan oleh pemerintah daerah terkait otonomi mengatur dan otonomi mengurus urusan pemerintahan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian
urusan pemerintahan antara Pemerintah
dengan pemerintahan daerah. Dalam konteks yang demikian, menurut Bagir Manan[5],
bahwa :
” Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat
2). Ketentuan ini menegaskan bahwa pemerintahan daerah adalah suatu
pemerintahan otonomi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam
pemerintahan daerah hanya ada pemerintahan otonomi (termasuk tugas pembantuan).
Dengan perkataan lain, ketentuan ini hanya mengatur mengenai otonomi. Prinsip baru dalam Pasal 18 baru, lebih sesuai dengan gagasan
daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di
daerah yang demokratis”
Dengan demikian, jelas bahwa penyerahan
urusan pemerintahan oleh Pusat kepada Daerah sebagai urusan rumah tangga daerah
merupakan kosekuensi dianutnya prinsip desentralisasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Hakekat dari negara kesatuan
adalah negara yang kedaulatannya tidak terbagi, atau dengan kata lain, negara
yang kekuasaan pemerintah pusatnya tidak terbatas karena konstitusi negara
kesatuan tidak mengakui adanya badan pembuat undang-undang selain badan pembuat
undang-undang pusat.
Dalam negara
kesatuan, pemeritah pusatlah yang memegang kedaulatan tertinggi negara. Sejalan
dengan hal tersebut, C. F. Strong[6]
mengemukakan esensi atau hakekat negara kesatuan yakni “the essence of aunitary state is that the sovereignty is undivided, in
other word, that the powers of the central government are unrestricted for the
constitution of a unitary state does not admint of any other law-making body
than the central one”. Selaras dengan tujuan otonomi daerah penyelenggaraan
pemerintah daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia .
Urusan yang diserahkan kepada daerah
disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta
kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Sedangkan urusan pemerintahan
yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan
yang didekonsentrasikan[7], dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah otonom, daerah diberikan kewenangan
dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya baik melalui
dekosentrasi, desentralisasi maupun tugas pembantuan. Dalam hubungan tersebut,
Irfan Ridwan Maksum[8], mengemukakan bahwa:
“ Pembagian urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan daerah
otonom tidak dapat dipisahkan
dengan pengembangan instrumen desentralisasi dari sebuah negara. Untuk
menelusurinya bahkan terlebih dahulu perlu mengetahui apakah bentuk negara yang
dikembangkan oleh sebuah bangsa Kesatuan atau Federal. Jika Kesatuan, maka
desentralisasi yang dikembangkan dilakukan oleh Pemerintah Pusat di tingkat
nasional, sedangkan di Negara Federal, desentralisasi dilakukan oleh Pemerintah
Negara Bagian. Di negara federal, seringkali UUD (konstitusi) Negara Federal
mengatur umum saja keberadaan pemerintah daerah di negara tersebut seperti di
Jerman, tetapi ada pula negara federal yang mengatur keberadaan pemerintah
daerahnya di masing-masing UUD (konstitusi) Negara Bagian-nya, seperti di AS”.
Berangkat dari penjelasan dan uraian tersebut diatas yang mendasari latar belakang penelitian ini, maka isu hukum yang dikedepankan adalah terkait dengan model penataan daerah dalam hubungan dengan model pembagian urusan pemerintahan yang berkarakter desentralistik. Secara konseptual esensi desentralisasi berkaitan dengan pola pembagian urusan pemerintahan sehingga konstruksi penataan kelembagaan daerah menjadi sangat penting untuk dilakukan pengkajian dan analisis terkait dengan model pembagian urusan pemerintahan daerah.
B.
METODE
PENELITIAN
Merujuk pada uraian latar belakang yang
telah dikemukakan diatas, maka analisis terhadap isu hukum terkait dengan model pembagian urusan pemerintahan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum. Penelitian
hukum itu sendiri merupakan proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab
isu hukum yang dihadapi. Penelitian ini, terutama mengkaji ketentuan-ketentuan
hukum positif maupun asas-asas hukum. Selain
itu, metode penelitian hukum bertujuan untuk mencari pemecahan atas isu hukum serta
permasalahan yang timbul didalamnya, sehingga hasil yang akan dicapai kemudian
adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang
diajukan[9]
Pendalaman terhadap isu hukum terkait
dengan model pembagian urusan pemerintahan dilakukan melalui pendekatan konseptual (conceptual
approach) dan pendekatan perundang-undangan (statue approach) untuk memberikan kejasalan soal penafsiran hukum
atas rumusan norma yang
mengatur tentang pembagian urusan
pemerintahan. Hal ini penting untuk menghindari
kesesatan dalam melakukan penalaran (Contradictio in termino) yang berimplikasi pada kesesatan (fallacy) serta penerapan hukum. Dalam
pendekatan teori hukum, kesalahan dalam
merumuskan konsep mengakibatkan kesalahan dalam mengambil kesimpulan. Dalam
logika dkenal rumus “Ex Falso Quo Libet”.
Artinya, dari yang palsu (salah) seenaknya bisa benar bisa salah. Faktor
kebutulan berperan dalam hukum bisa terjadi kesewenang-wenangan dan bahkan
muncul penyalagunaan wewenang. Selain itu juga, kejelasan konsep sangat
berpengaruh dalam kerangka legal problem
solving sebagaimana dikenal dalam “Prinsip
Contextualism” dalam intepretasi sebagaimana dikemukakan oleh Ian Mcleod[10].
C.
PEMBAHASAN
Sebagai akibat dari perkembangan
ketatanegaraan dan semakin kompleksnya urusan pemerintahan, maka ruang lingkup
urusan pemerintahan tidak lagi dapat diidentifikasikan secara kuantitatif namun
sebaliknya urusan pemerintahan tersebut senantiasa akan selalu dinamis dan
terbuka, serta dipengaruhi pula oleh konsep negara kesejahteraan. Dianutnya
konsep negara kesejahteraan (welfarestate)
telah membawa perubahan pada ruang lingkup dan isi wewenang, tugas dan tanggung
jawab pemerintah baik kuantitatif maupun kualitatif, dimana tugas-tugas baru
bertambah dan tugas-tugas lam makin berkembang[11].
Sebagaimana diamanatkan UUD NRI Tahun
1945, penyelenggaraan negara dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, dimana dalam ketentuan Pasal 4
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 kekuasaan pemerintahan negara berada ditangan
Presiden. Demikian juga dalam Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun
2014, disebutkan pula bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Apabila diperhatikan kekuasaan pemerintahan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014
tidaklah berbeda dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Lebih lanjut dalam ayat (2)
disebutkan bahwa “Kekuasaan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diuraikan dalam berbagai urusan pemerintahan. Kemudian dalam Penjelasan Umum
angka (3) menyebutkan bahwa:
“ Sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945,terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan
pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara
Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan
Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait
Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan
Dasar…...”
Mengenai urusan pemerintahan tersebut diatas, dalam hubungannya dengan konsep pembagian kekuasaan secara vertikal hal tersebut secara formal merupakan kosekuensi yuridis dari ketentuan Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, terdapat beberapa hal (sebab) yang melatar belakangi konsep (ide) dianutnya pembagian kekuasaan secara vertikal sehingga memungkinkan sebagian kekuasaan ataupun wewenang pemerintah pusat atas kuasa undang-undang diserahkan kepada satuan pemerintahan yang lebih rendah.
Konsep pembagian kekuasaaan secara vertikal yang
didasarkan pada asas desentralisasi, melahirkan pemerintahan daerah yang
otonom. Pola pembagian kekuasaan tersebut tentunya menjadi dasar dalam hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang
menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam konsep pelaksanaan wewenang pemerintahan, dalam
kepustakaan hukum tata negara/hukum administrasi, badan atau pejabat tata usaha
negara itu memperoleh wewenang untuk melaksanakan pemerintahan dapat dilihat
dari sudut prosedur dan substansi pemberian wewenang yang bertumpuh pada 3
(tiga) landasan utama yakni (1) asas negara hukum; (2) asas demokrasi; dan (3)
asas instrumental[12].
Pada bagian lain, penyelenggaraan
pemerintahan daerah juga terhadap perbedaan dalam hal ini berkaitan dengan asas
penyelenggaraan pemerintahan baik yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun
diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. UUD NRI Tahun 1945,
tidak mengelompokan desentralisasi dan dekosentrasi sebagai asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 18 ayat (2) yang
menyatakan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”. Pengaturan yang sama dapat kita lihat
dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
“Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembatuan.
Namun demikian hal tersebut berbeda pengaturannya dalam UU Nomor 23 Tahun 2014,
dimana dalam ketentuan Pasal 5 ayat (4) disebutkan bahwa “ Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di
daerah yang tercantum dalam ayat (2) diselenggarakan berdasarkan asas
Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. Lebih lanjut
konstruksi pembagian urusan pemerintahan berdasarkan Undang Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 1. Perbandingan Pembagian
Urusan Pemerintahan
Bersadasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 23
Tahun 2014
UU Nomor 32 Tahun 2004 |
UU Nomor 23 Tahun 2014 |
1.
Urusan pemerintahan terdiri dari urusan yang bersifat absolut dan
urusan yang bersifat konkurent |
1.
Urusan pemerintahan terdiri dari urusan yang bersifat absolut, urusan
pemerintahan umum, dan urusan yang bersifat konkurent |
2.
Urusan pemerintahan absolut, meliputi (a) Pertahanan; (b) Keamanan;
(c) Agama; (d) Yustisi; (e) Polugri; dan (f) Agama |
2.
Urusan pemerintahan absolut, meliputi
(a) Pertahanan; (b) Keamanan; (c) Agama; (d) Yustisi; (e) Polugri; dan
(f) Agama |
3.
Urusan konkurent, terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan |
3.
Urusan konkurent, terdiri dari urusan wajib (pelayanan dasar dan
pelayanan non dasar) dan urusan pilihan 4.
Urusan pemerintahan umum, yakni urusan pemerintah pusat yang dilimpahkan
pelaksanaannya kepada Gubernur dan Bupati / Walikota diwilayahnya
masing-masing; misalnya urusan menjaga 4 (empat) konsensus dasar |
Memperhatikan
asas penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana dikemukakan diatas, apabila
dihubungkan dengan teori perundang-undangan (asas
perundang-undangan) akan menimbulkan kosekuensi hukum tersendiri oleh karena
itu diperlukan kajian dari pendekatan hukum tata negara utamnya berkaitan
dengan konsep dan pengaturannya. Pada bagian ini, kajian dan analis terhadap
permsalahan tersebut diatas meliputi (1) pembagian urusan pemerintahan; dan (2)
model pembagian urusan pemerintahan yang berkarakter desentralistik.
1.
Pembagian
Urusan Kepemerintahan
Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya diatas, bahwa pembagian kekuasaan secara
horizontal dan pembagian kekuasaan secara vertikal, dalam konsep negara
kesatuan memberikan kosekuensi penyerahan urusan pemerintahan. Salah satu
permasalahan yang mendasar adalah pendelegasian kewenangan kepada pemerintah
daerah serta seberapa besar kewenangan yang dilimpahkan atau diserahkan kepada
daerah dalam mengurus dan mengatur pelaksanaan pemerintahan di daerah.
Secara
umum pembagian urusan-urusan kepemeritahan dapat digambarkan sebagai berikut
dibawah ini:
Gambar 1. Bagan
Pembagian Urusan-Urusan Kepemerintahan
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014
mengkonstruksikan klasifikasi urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 9 ayat (1) sampai dengan ayat (5). Sedangkan urusan pemerintahan
absolut lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang
Undang Nomor 23 Tahun 2014. Selanjutnya mengenai urusan pemerintahan konkuren,
lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) sampai ayat (3) Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2014. Apabila diperhatikan secara cermat, pola pembagian urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal
10 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah sama dengan pola pembagian
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pembagian wewenang dalam Undang Undang Nomor 32
Tahun 2004 dikembangkan melalui kriteria (1) Eksternalitas; (2) Akuntabilitas;;
dan (3) Efisiensi. Sementara itu, dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014
sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 13, disebutkan bahwa “Pembagian
urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta
Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan
pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan
strategis nasional.
Pola pembagian urusan pemerintahan
sebagaimana dikemukakan diatas, dalam pelaksanaannya seringkali menimbulkan
permasalahan (konflik) dan kefakuman dalam proses pemerintahan. Sebaliknya
apabila ditata secara baik akan memberikan sinergi dan memberikan arah bagi
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik dan berkualitas. Hal ini
didasarkan pada suatu realitas secara empirik banyak terjadi tumpang tindih (overlapping)
kewenangan yang kalau dibiarkan dapat menimbulkan friksi dan ketegangan antar
tingkatan pemerintahan berkaitan dengan kewenangan daerah. Tiga jenis tumpang
tindih tersebut yakni (a) tumpang tindih antara kewenangan Pusat dan Daerah;
(b) tumpang tindih antara kewenangan Propinsi dengan Kabupaten/ Kota; dan (c)
tumpang tindih antar kewenangan Kabupaten/ kota itu sendiri.
Penyebab utama dari berbagai tumpang
tindih tersebut adalah tidak sinkronnya antar berbagai peraturan perundangan
yang mengatur masing-masing kewenangan tersebut baik di tingkat undang-undang
(UU), Peraturan Pemerintah (PP), maupun di tingkat Keputusan Menteri (Kepmen)
terkait dengan kewenangan tersebut. Salah satunya adalah potensi konflik dalam
kaitan dengan wewenang pengelolaan sumber daya alam (SDA) di wilayah laut yang
berimplikasi pada undang-undang sektoral lainnya yang berkaitan baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan wewenang pengelolaan SDA oleh daerah.
2.
Model
Pembagian Urusan Pemerintahan Yang Berkarakter Desentralistik
Pendekatan politik hukum pelaksanaan
pemerintahan daerah sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat
(1), Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 18 UUD
NRI Tahun 1945, secara tegas menghendaki konsep desentralisasi dalam negara
kesatuan. Dengan demikian, dalam suatu negara kesatuan pada hakekatnya semua
urusan pemerintahan berada pada pemerintah psuat, namun demikian urusan
pemerintahan tersebut dapat diserahkan atau didelegasikan kepada satuan pemerintahan
yang lebih rendah. Penyerahan urusan tersebut memberikan kosekuensi pula
diadakannya pembagian wilayah negara. Hal ini dapat kita lihat pada ketentuan
Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dan juga ditegaskan lebih lanjut dalam
ketentuan Pasal 5 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Dalam ketentuan Pasal
18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang” Sedangkan Ketentuan
Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi dan Daerah provinsi itu dibagi
atas Daerah kabupaten dan kota”. Selanjutnya dalam Ayat (2) disebutkan bahwa
“Daerah kabupaten/kota dibagi atas Kecamatan dan Kecamatan dibagi atas
kelurahan dan/atau Desa”
Secara konseptual desentralisasi
dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia dalam ketentuan Pasal 1
angka (8) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, dirumusakan sebagai penyerahan
urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas
otonomi. Urusan Pemerintahan itu sendiri dalam rumusan ketentuan Pasal 1 angka
(5) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, adalah kekuasaan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian
negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani,
memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat[13].
Urusan pemerintahan dirumuskan oleh Hadjon, adalah sebagai berikut, yakni : B = KN –
(rg +
rh). Urusan pemerintahan (bestuu;r; B), adalah
semua kekuasaaan atau kegiatan negara (KN) dikurangi pembuatan undang-undang (regelgeving; rg) dan peradilan (rechtsspaak; rh)[14].
Konsep desentralisasi sebagaimana dimaksudkan dalam Undang Undang Nomor 23
Tahun 2014 tersebut diatas dimaknai dalam kaitan dengan “penyerahan urusan
pemerintahan”. Hal ini berbeda dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
merumuskan konsep desentralisasi sebagai “pelimpahan wewenang, dimana dalam
ketentuan Pasal 1 angka (7) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004,
menyebutkan bahwa “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara
Pemerintah dengan pemerintahan
daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan
pemerintahan. Dalam
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008, dijelaskan bahwa
Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan
susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah. Dengan demikian dalam setiap bidang urusan
pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang
menjadi kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan
daerah kabupaten/kota
Dengan demikian, dalam setiap bidang
urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat urusan yang
menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama, sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1)
dan
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
(Provinsi dan Kabupaten/Kota) terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan sebagaimna dimaksud dalam ketentuan Pasal 11 dan Pasal
12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Pola pembagian urusan pemerintahan
dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, model pembagian urusan pemerintahan
terjadi pergeseran berdasarkan murni “ultra vires doctrine” sehingga tidak “compatible” dengan sistem Jerman, sehingga berakibat
terhadap penerapan kebijakan desentralisasi. Pembagian urusan pemerintahan
antara pusat dan daerah pada undang-undang ini semakin condong pada sistem
otonomi materil. Selain condong pada sistem otonomi materil, status sebagai
perwakilan pemerintah pusat yang pada undang-undang sebelumnya dalam Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 hanya diemban oleh Gubernur, kini juga diemban oleh Kepala
Daerah Kabupaten/Kota. Artinya, setiap satuan pemerintahan, baik pada tingkat
provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota, merupakan objek dekonsentrasi. Kondisi
ini mengakibatkan dipertanyakannya politik hukum otonomi daerah yang terkandung
di dalam Undang Undang 23 Tahun 2014 yang seolah semakin mengarah pada sistem
sentralistik. Padahal, amanat UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 18 adalah
menjalankan otonomi seluasluasnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Berangkat dari apa yang diuraikan
diatas, dapat dikatakan bahwa pola pengaturan urusan pemerintahan yang
berkarakter desentraliktik pada hakekatnya bertumpuh pada pembagian kekuasaan
(kewenangan) dan siapa yang berwenang mengurus dan mengatur urusan tersebut.
Selanjutnya, berkaitan dengan pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah
serta seberapa besar kewenangan yang dilimpahkan atau diserahkan kepada daerah
dalam mengurus dan mengatur pelaksanaan pemerintahan di daerah.Dengan kata
lain, pola pengaturan terhadap urusan pemerintahan dalam konsep desentralisasi
dilihat dari hubungan pusat dan daerah yang mengacu pada UUD NRI Tahun 1945,
tidak dimaknai secara simetris (seragam) namun dapat berbeda-beda antara satu
daerah dengan daerah yang lain (asimetris) sesuai dengan karaterisk wilayah dan
potensi daerah (kekhususan) dalam kerangka NKRI.
Secara teroritik ada beberapa cara (metode)
dalam menentukan pembagian/penyerahan urusan pemerintahan kepada Pemerintah
Daerah. Pertama, cara yang menganut kepada ajaran penyerahan formil
(Formele Huishoudingsleer). Gadjong Agussalim
Andi[15].,
mengemukakan bahwa:
“ Dalam
model ini, kewenangan/urusan tidak diperinci secana normatif, dalam arti
tidak dtetapkan satu per satu, melainkan ditentukan dalam suatu ”rumusan
umum”. Dalam model atau cara ini, hanya ditentukan prinsip-prinsipnya saja,
batasnya tidak ditentukan secara a priori, tergantung kepada keadaan,
waktu, dan tempat. Pembagian kewenangan/urusan melalui model ini, dapat lebih
memberikan keleluasaan kepada untuk mengambil prakarsa, memilih alternatif, dan
mengambil keputusan sesaui dengan kepentingan daerah, sepanjang tidak atau
belum diatur dengan Undang-undang atau peratran yang lebih tinggi. Model ini
sering juga disebut sebagai”General Competence” (Open end arrangement). Kedua, model atau
ajaran yang disebut”Ajaran Kerumahtangaan Materiil” (Materiele Huishoudingsleer”). Disini terdapat
pembagian kewenangan/urusan yang berbeda sifatnya diantara tingkat-tingkat
pemerintahan”
Secara normatif kewenangan/urusan
daerah diperinci satu per satu dengan tegas dan ditentukan dalam undang-undang
pembentukannnya. Dalam hal ini, Ari Dwipayana[16],
mengemukakan bahwa:
“ Model
ini sering disebut juga model ”Ultra Vires”. Di antara tingkatan
pemerintahan Pusat, Daerah Provinsi, dan Derah Kabupaten/Kota memiliki
kewenangan yang sama dengan sifat dan proporsi yang berbeda (Ini berasal dari
teori kontinental yang disebut”De drie kringensleer”. Dalam model ini,
sering terjadi duplikasi kewenangan antara tingkat-tingkat pemerintahanan,
sering terjadi sharing ratio dalam membagi kewenangan membias keatas, sehingga
terjadi ”piramid terbalik”. Kejumbuhan (overlapping) dan
vacuum-pemerintahan juga sering tgerjadi, karena timbulnya tarik-menarik
kepentingan (conflict of interest) atau sebaliknya saling mengela
terhadap tugas (jurisdictie-positief dan jurisdictie negatief). Ketiga, model
yang disebut ”Ajaran Kerumah-tanggaan Rieel” ”Riele Huishoudingsleer”. Dalam
model ini pada prinsipnya pembagian kewenangan/urusan didasarkan kepada
faktor-faktor yang nyata (rieel) untuk mecapai keserasian antara tugas
dan kemampuan/kekuatan Daerah”.
Apabila dikaji lebih lanjut, disini
yang menjadi pertimbangan adalah penyesuaian dengan ”keanekaragaman” (heterogeneous)
dari masing-masing daerah yang bersangkutan, guna menyesuaikan pelaksanaan
otonomi daerah dengan keadaan daerah masing-masing, dimana keadaan khusus (local
specific) sangat diutamakan. Karenanya, dalam model ini mengandung
fleksibilitas, anpa mengurangi ”kepastian”, sehingga Daerah bebas berprakarsa,
memperhatikan pemerataan dan keseimbangan laju pertumbuhan antar Daerah,
sehingga ”kesenjangan” (disparity) antar Daerah dapat dikurangi[17].
Salah satu hal penting dalam kaitan
dengan wewenang pengelolaan SDA di wilayah laut bagi daerah-daerah yang
berkarakter kepulauan atau gugus pulau sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29. Namun demikian, dalam ketentuan Pasal 30
disebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan Daerah provinsi di
laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Daerah Provinsi yang Berciri
Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 diatur dengan
peraturan pemerintah”. Pada bagian ini, muncul pertanyaan, apakah konsep
pembagian kewenangan bersifat regular (-simetris seragam) ataukah non regular
(asimetris- tidak seragam)? Pertanyaan ini penting untuk dikedepankan karena
kondisi Indonesia yang beragam (tidak simetris) dari sisi konteks sejarah,
sosi-kultural, ekonomi dan politik. Apakah keragaman tersebut dijawab dengan
rumus yang simetris ataukah asimetris. Kalau simetris maka konsep pembagian
kewenangan diterapkan seragam di semua daerah. Apalabila konsep pembagian
kewenangan adalah asimetris maka dimungkinkan perbedaan cara pembagian
kewenangan antar daerah, atau bahkan secara teoritik sudah dikenal konsep
desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional
Terhadap hal tersebut diatas, terdapat
beberapa permasalahan yang muncul berkenaan dengan konsep pola pembagian urusan
pemerintahan yakni Pertama, dalam kaitan dengan konsep kekuasaaan pemerintahan,
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD dengan
Pasal 18 (1), (2) dan (5) dimana Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten
mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Bagi yang
menggunakan pasal 4 maka penyerahan urusan pemerintahan itu berasal dari
kekuasaan ekekusetif (Presiden). Sedangkan yang menggunakan Pasal 18
menggunakan sumber kewenangan itu dari UUD NRI Tahun 1945 dan undang-undang.
Pembagian
urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah kabupaten/kota
walaupun urusan pemerintahannya sama, perbedaannya akan nampak dari
skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan
masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan
antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam
pelaksanaannya dengan mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria
(NSPK) yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Kewenangan pemerintah kabupaten
/ kota yang tersebar dalam urusan pemerintahan bersamaan yang menjadi
sebelumnya kewenangan kabupaten / kota dipindahkan ke kewengan pemerintah provinsi.
Transisi dari kewenangan seperti di bidang izin pertambangan dan pendidikan
menengah yang setara. Peralihan kewenangan tentu membawa konsekuensinya
sendiri. Oleh karena itu menarik untuk dibaca menggunakan konsep dekonstruksi
Derrida Jacques.[18]
Kewenangan
pemerintah kabupaten / kota yang tersebar dalam urusan pemerintahan bersamaan yang
menjadi sebelumnya kewenangan kabupaten / kota dipindahkan ke kewengan
pemerintah provinsi. Transisi dari kewenangan seperti di bidang izin
pertambangan dan pendidikan menengah yang setara. Peralihan kewenangan tentu
membawa konsekuensinya sendiri. Oleh karena itu menarik untuk dibaca
menggunakan konsep dekonstruksi Derrida Jacques
Konsep dekosentrasi dan tugas
pembantuan seyogyanya dikembalikan kepada konsep sebagaimana diatur dalam Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pelembagaan konsep otonomi luas harus diperjelas lagi,
terutama berkaitan dengan urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib
meliputi urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Sedangkan urusan pilihan
merupakan urusan yang secara nyata ada dan berpotensi dijalankan oleh daerah.
Daerah juga dimungkinkan mengusulkan urusan pemerintahan menjadi kekhususannya,
baik dalam skala provinsi atau wilayah. Oleh karena itu, diperlukan untuk
mengembangkan desentralisasi fungsional yang diterapkan selama Hindia Belanda
pada tahun 1920 dengan perkembangan Waterchappen
mengenai perkembangan masalah perkotaan dan juga terkait dengan pengembangan
distribusi masalah irigasi. Pengenalan desentralisasi fungsional membutuhkan
perubahan pada Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945.
Keuda, koherensi antara konsep
desentralisasi melalui otonomi seluas-luasnya dengan regulasi sektoral?
Pertanyaan ini penting karena konsep otonomi seluas-luasnya tereduksi oleh
regulasi sektoral yang masih memberikan kewenangan pada departemen sektoral.
Salah satu contohnya adalah potensi konflik kewenangan antara Undang Undang
Otsus Aceh dan Papua dengan Undang Undang atau kebijakan Sektoral. Misalnya, Undang
Undang Nomor 27/2007 dengan Undang Undang Nomor 11/2006. Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 memberikan kewenangan yang besar bagi Pemerintah Aceh yang salah
satunya mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecilnya. Sedangkan Undang
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
memberikan kewenangan yang besar bagi Menteri Kelautan dan Perikanan.
Ketiag, dalam praktek berbagai regulasi yang telah dikeluarkan tetap
menimbulkan persoalan. Hal ini bisa dilihat dari masih terjadinya: (1) konflik
kewenangan antara Pusat dengan Daerah, baik Provinsi maupun Kebupaten/ Kota;
(2). Konflik kewenangan antara Provinsi ddengan Kabupaten/ Kota. (3), Konflik
kewenangan antar kabupaten/ kota. (4). dapat terjadi tarik menarik wewenang
dalam bidang urusan tertentu antara kabupaten/ kota dengan pengelola kawasan
khusus. Meskipun terdapat kriteria pembagian urusan, namun tetap timbul persoalan
karena regulasi tidak mendorong daerah otonom mengembangkan urusan pilihan
berdasarkan kekhusus daerahnya. Dengan aturan pilihan yang ditentukan secara
rigid maka daerah cenderung tidak memilih karena dianggap sebagai cost
centre. Dalam hal ini Ari Dwipayana[19],
menyatakan bahwa:
“ Kalaupun
daerah ber-kreasi seringkali harus berhadapan dengan berbagai aturan Pemerintah
pusat. Daerah juga kesulitan menentukan apakah suatu pengembangan urusan kelak
di kemudian hari di luar yang ditentukan dalam lampiran termasuk dalam urusan
Sisa atau Urusan Pilihan, dan dalam prakteknya, cara berpikir daerah menganggap
semua urusan itu harus dijalankan, tanpa melihat dari sisi kebutuhan dan
kemampuan. Tidak semua jenis urusan itu dibutuhkan dan tidak semua daerah mampu.
Sistem yang dipakai belum membuka ruang bagi dinamika dalam penyelenggaraan
urusan”.
Sejalan dengan pemikiran tersebut
diatas, apabila dikaitkan dengan kewenangan pembentukan Peraturan Daerah
(Perda) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (4) Undang Undang Nomor 23
Tahun 2014, yang menggunakan nomenklatur “muatan lokal” tanpa menjelaskan lebih
lanjut mengenai makna “lokal” akan menimbulkan kekaburan terhadap makna lokal,
apakah sama dengan “ciri khas” dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini
juga akan berdampak pada parameter pengawasan Perda yang berciri khas daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun
2014. Kesulitas yang muncul adalah berhubungan dengan materi muatan Peraturan
Daerah yang dibentuk tidak menjabarkan lebih lanjut ketentuan
perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi materi muatan Peraturan Daerah
tersebut merupakan ciri khas daerah, dapat dikatakan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
D.
P E N U T U P
Berangkat dari
uraian dan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya terkait dengan pertama,
pembagian urusan pemerintahan dan
kedua terkait dengan model pembagian urusan pemerintahan yang berkarakter desentralistik,
dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemerintahan
didaerah tidak saja memiliki justifikasi yuridis (normatif), namun juga
memiliki landasan filosofis yang tercermin dalam konstitusi negara. oleh karena
itu, penguatan otonomi dalam pelaksanaan desentralisasi haruslah mencerminkan
keseimbangan antara penyerahan atau pelimpahan kewenangan disertai pula dengan
penguatan terhadap pengawasan penyelenggaraan pemerintahan (pusat maupun
daerah) dalam keutuhan kehidupan NKRI. Pengawasan ini menjadi sarana dalam
menciptakan check and balances system penyelenggaraan
pemerintahan. Pengaturan desentralisasi melalui penyelenggaraan otonomi daerah
masih memiliki kecendrungan menggrogoti pendelegasian kewenangan ke daerah yang
kecendrungannya penguatan aspek desentralisasi direduksi dengan pola pengaturan
urusan pemerintahan dan kelembaan yang cendrung mengarah kepada
re-sentralisasi. Hal ini menimbulkan penafsiran dan penerapan yang berbeda
antara daerah yang cendrung menimbulkan konflik dan ego sektoral.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
[1] Aritonang, Dinoroy Marganda. (2016). “Pola Distribusi
Urusan Pemerintahan Daerah Pasca Berlakunya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal
Legislasi Indonesia, 13 (1): 41-41.
[2] Asgar, Sukitman. (2018).
“Analisis Yuridis Pasal 18 UUD Tahun 1945 Junto UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah”, Jurnal HIBUALAMO,
2 (1): 58-68.
[3] Aridhayandi,
M. Rendi. (2018). “Peran Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Yang
Baik (Good Governance) Dibidang
Pembinan dan Pengawasan Indikasi Geografis”, Jurnal Hukum & Pembangunan, 48 (4): 883-902.
[4] Budiyono.,Muhtadi.,
Firmansyah, Ade Arif. (2015). “Dekonstruksi Urusan Pemeritahan Konkuren Dalam
Undang Undang Pemerintahan Daerah”, Kanun:
Jurnal Ilmu Hukum, 17 (3): 419-432.
[5] Djambar.,
Nahar, M Yasin., Tavip, Muhammad. (2017). “Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Bidang Pertambangan Dalam Prespektif Otonomi Daerah”, eJurnal Katalogis, 5 (2): 26-35.
[6] Hasrul, Muh., (2017). “Penataan Hubungan Kelembagaan Antara
Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota”, Perspektif, 22 (1): 1-20.
[7] Matitaputty,
Merlien I. (2012). “Desentralisasi dan Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di
Indonesia (Problem dan Tantangan)”, SASI,
18 (1): 21-28.
[8] Suryanto.
(2015). “Urusan Pemerintahan Daerah, Kemungkinan Problematika Implementasi
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014”, Jurnal
Desentralisasi, 13 (2): 133-146.
[9]
Said, Abdul Rauf
Alauddin. (2015), “Pembagian Kewenangan Pemerintahaan Pusat – Pemerintahan
Daerah Dalam Otonomi Seluas Luasnya Menurut UUD1945”, Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, 9 (4): 577-602.
Buku
[10] Andi, Gadjong Agussalim. (2007),
Pemerintahan Daerah-Kajian Politik dan Hukum, Jakarta: Ghalia Inodnesia.
[11] Hadjon, Phlipus M et al. (1993).
Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
[12] Hadjon, Philipus M. dan Sridjatmiati, Tatiek. (2005). Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gadja
Mada University Press.
[13] Huda, Ni’matul. (2007), Pengawasan
Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FH UII Press.
[14] Marzuki, Peter M. (2005). Penelitian Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media Group
[15] Strong, C. F. (1960). Modern
Political Constitutions an Introduction to the Comparative Study of their
History and Existing Form, London: Fith Printed, Sidwick & Jackson
Limited.
Lain-Lain
[16] Hadjon, Philipus M. (1997). Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah, Pelatihan Metode Penelitian
Hukum Normatif, Surabaya: Universitas Airlangga
[17] Hadjon, Philipus M. (2004),
Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan, disampaikan dalam Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945 diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I. Bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga
dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Provinsi Jawa
Timur, Surabaya.
[18] Kertapradja, E. Koswara. (2007). Pokok-pokok
Pikiran dalam Permasalahan Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat,
Makalah dipersiapkan untuk bahan masukan pembahasan Revisi UU No. 32 Tahun
2004, Roundtable Meeting.
[19] Manan, Bagir. (1994). Hubungan
Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
[20] Manan, Bagir. (2004), Menyongsong
Fajar Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Faluktas Hukum Universitas Islam
Indonesia.
[21] Maksum, Irfan Ridwan. (2009). Perbandingan Sistem Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah
Pusat Dan Daerah Otonom, _Laporan DSF Bank Dunia.
[1] Asgar, Sukitman,. (2018). “Analisis Yuridis Pasal 18 UUD Tahun 1945 Junto UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal HIBUALAMO, 2 (1): 58-68, h. 61
[2] Huda,
Ni’matul. (2007),
Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FH UII Press, h. 50.
Lihat juga, Said, Abdul Rauf Alauddin. (2015), “Pembagian Kewenangan
Pemerintahaan Pusat – Pemerintahan Daerah Dalam Otonomi Seluas Luasnya Menurut
UUD1945”, Fiat Justisia: Jurnal Ilmu
Hukum, 9 (4): 577-602, h.579
[3] Hadjon, Philipus M. (2004), Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem
Pemerintahan, disampaikan dalam Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945 diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I. Bekerjasama dengan Fakultas Hukum
Universitas Airlangga dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Provinsi Jawa Timur, Surabaya, h. 1-3.
[4] Matitaputty, Merlien I. (2012). “Desentralisasi dan Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia (Problem dan Tantangan)”, SASI, 18 (1): 21-28, h. 27
[5] Manan, Bagir. (2004), Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi
Hukum Faluktas Hukum Universitas Islam
Indonesia, h. 8
[6] Strong, C. F. (1960). Modern Political Constitutions an Introduction
to the Comparative Study of their History and Existing Form, London: Fith
Printed, Sidwick & Jackson Limited, h. 80
[7] Hasrul, Muh., (2017). “Penataan Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota”, Perspektif, 22 (1): 1-20, h.7
[8] Maksum, Irfan Ridwan. (2009). Perbandingan Sistem Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat Dan
Daerah Otonom, _Laporan DSF Bank Dunia, h.10-12
[9] Hadjon, Philipus M.
(1997). Pengkajian Ilmu Hukum,
Makalah, Pelatihan Metode Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Universitas
Airlangga, h. 20. Lihat juga Marzuki, Peter M. (2005). Penelitian Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 35.
[10] Hadjon, Philipus M. dan Sridjatmiati,
Tatiek. (2005). Argumentasi Hukum, Yogyakarta:
Gadja Mada University Press, h. 44
[11] Manan, Bagir. (1994). Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD
1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, h. 18.
[12] Aridhayandi, M. Rendi. (2018). “Peran
Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) Dibidang Pembinan dan
Pengawasan Indikasi Geografis”, Jurnal
Hukum & Pembangunan, 48 (4): 883-902, h.888.
[13] Aritonang, Dinoroy
Marganda. (2016). “Pola Distribusi Urusan Pemerintahan Daerah Pasca Berlakunya
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal Legislasi Indonesia, 13 (1): 41-41,
h.42-43
[14] Hadjon,
Phlipus M et al. (1993). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadja Mada University Press, h. 4.
[15] Andi, Gadjong Agussalim. (2007), Pemerintahan Daerah-Kajian Politik dan Hukum, Jakarta: Ghalia
Inodnesia,
h. 54.
[16] Suryanto.
(2015). “Urusan Pemerintahan Daerah, Kemungkinan Problematika Implementasi
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014”, Jurnal
Desentralisasi, 13 (2): 133-146, h.142-144
[17] Djambar., Nahar, M Yasin.,
Tavip, Muhammad. (2017). “Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang
Pertambangan Dalam Prespektif Otonomi Daerah”, eJurnal Katalogis, 5 (2): 26-35, h. 32
[18] Budiyono., Muhtadi.,
Firmansyah, Ade Arif. (2015). “Dekonstruksi Urusan Pemeritahan Konkuren Dalam
Undang Undang Pemerintahan Daerah”, Kanun:
Jurnal Ilmu Hukum, 17 (3): 419-432, h.426-427
[19]
Dwipayana, Ari. Rekonseptualisasi
Pembagian Kewenangan Antar Susunan Pemerintahan, h. 6. dalam Kertapradja,
E. Koswara. (2007). Pokok-pokok
Pikiran dalam Permasalahan Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat,
Makalah dipersiapkan untuk bahan masukan pembahasan Revisi UU No. 32 Tahun
2004, Roundtable Meeting