|
S A S I Volume 26
Nomor 4, Oktober -
Desember
2020 : h.
514
- 526 p-ISSN: 1693-0061 | e-ISSN: 2614-2961 Jurnal Terakreditasi Nasional, SK. No. 28/E/KPT/2019 This is open access article under the CC-BY-NC 4.0 International License |
Kewenangan Uji Material (Judicial
Review) terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat oleh Mahkamah Konstitusi
Lintang Galih Pratiwi
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
E-mail: lintangglhprtw@gmail.com
Dikirim: 17/02/2020 |
Direvisi: 20/11/2020 |
Dipublikasi: 30/12/2020 |
||
Info Artikel |
|
Abstract |
||
Keywords: MPR’S Provision; Judicial Review; Constitutional Court. |
|
The re-enters of People’s
Consultative Assembly’s Provision (MPR’S Provision) in the regulations of law
hierarchy in Indonesia legal system, certainly has its own impact. One of
them is the authority of the Constitutional Court in conducting judicial
review. The problem is whether the Constitutional Court can review the MPR’S
Provision or not. The research method used in this research was
normative-juridical method. The research finding shows that: first, the
Constitutional Court in its verdict stated that it has no power to be
competent to review the MPR’S Provision. Second, the implication of that
verdict is the causing the legal vacuum and the absence of the institution
that is authorized to do a trial towards the MPR’s provisions. Third, to
answer that problem, MPR’S Provision should be equalized with the Law (Act),
so the authority to review People’s Consultative Assembly’s adjudication
belongs to the Constitutional Court. |
||
|
|
Abstrak |
||
Kata
Kunci: Ketetapan MPR; Pengujian undang-undang;
Mahkamah Kosntitusi. |
|
Pengembalian
Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undang dalam sistem hukum
negara Indonesia tentunya membawa dampaknya tersendiri. Salah satunya adalah
terhadap kewenangan Mahakamah Konstitusi dalam melakukan pengujian
undang-undang. Permasalahanya adalah dapatkah Mahkamah Konstitusi melakukan
pengujian terhadap Ketetapan MPR. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil dari penelitian menunjukan
bahwa: pertama, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan
ketidakwenangannya untuk melakukan pengujian Ketetapan MPR. Kedua, implikasi
dari putusan tersebut adalah terjadinya kekosongan hukum serta tidak adanya
lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Ketetapan MPR,
inilah yang dinamakan tetraa incognita. Ketiga, untuk menjawab
permasalah tersebut seharusnya Ketetapan MPR disetarakan dengan
undang-undang, dengan demikian kewenagan pengujian Ketetapan MPR menjadi
milik Mahkamah Konstitusi. |
||
DOI: |
|
|||
A. PENDAHULUAN
Menurut Adolf Merkl sebagaimana dikutip oleh Maria Farida, suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya.[1] Pendapat Merkl tersebut, terilhami dari Hans Kelsen dengan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Korelasi dari adanya sebuah norma berjenjang ialah adanya sebuah pengujian norma yang lebih rendah terhadap norma di atasnya.
Konsep pengujian norma melalui lembaga yudisial dikenal juga dengan judicial review. Istilah judicial review berasal dari negara-negara penganut prinsip supremasi konstitusi, yang dapat diartikan sebagai wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi. Menurut Soepomo, di negara Belanda tidak dikenal istilah judicial review, melainkan hak menguji (toetsingensrecht). Judicial review pun dapat diartikan sebagai sebuah mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim, atas suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi.[2]
Salah satu tuntutan reformasi adalah menyangkut reformasi di bidang peradilan yakni adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari intervensi maupun pengaruh kekuasaan lain, termasuk dalam hal organisasi, administrasi dan keuangan,[3] terdapat dua lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di Negara Indonesia, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kewenangan pengujian peraturan perundangan-undangan oleh MA diatur dalam pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang mengatur bahwa MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Saat ini dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR/S) dikembalikan ke dalam hirarki peraturan perundangan-undangan. Dimana, menurut Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, Ketetapan MPR/S diletakan di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Apabila melihat pada kewenangan yang dimiliki oleh kedua lembaga yudikatif di atas terkait dengan judicial review, tidak terdapat pasal yang mengatur mengenai kewenangan untuk melakukan pengujian Ketetapan MPR/S. Dengan kedudukan Ketetapan MPR/S yang tidak sejajar dengan Undang-Undang, maka secara gramatikal, Ketetapan MPR/S bukanlah objek pengujian bagi MK maupun MA dan bukan pula batu uji bagi MA.
Jika mendasarkan pada teori hierarki norma dari Hans Kelsen yang menyatakan bahwa norma hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Jika peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka dapat dilakukan pengujian, namun pengujian yang ada di Indonesia hanya dikenal adanya dua pengujian yaitu undang-undang terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh MK dan pengujian peraturan dibawah undang-undang terhadap UU yang dilakukan oleh MA. Jika melihat dalam pengujian ini maka semakin menegaskan kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan menjadi tidak jelas dan tidak sesuai dengan teori hierarki norma dari Hans Kelsen.[4]
Menurut Jimly Asshiddiqie, MK berfungsi sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution) dan penafsir konstitusi (The Interpreter of Constitution).[5] Dalam menjalankan fungsinya, MK diberikan kewenangan secara atributif oleh UUD 1945 melalui isi dari Pasal 24C UUD 1945. Dalam ketentuan UUD 1945 tersebut, disediakan mekanisme agar norma-norma hukum dasar yang terkandung di dalamnya dapat dijalankan diawasi pelaksanaannya oleh MK.[6] Akan tetapi pada kenyataannya, dalam kewenangan yang dimiliki oleh MK, tidak terdapat kewenangan bagi MK untuk melakukan pengujian terhadap Ketetapan MPR/S. Ketetapan MPR/S sebagai peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945, tentu dapat saja bertentangan dengan UUD 1945. Melihat penjabaran diatas, tampak bahwa tidak terdapat peraturan yang mengatur mengenai bagaimana prosedur yang dapat temput apabila Ketetapan MPR/S bertentangan dengan norma yang lebih tinggi yakni UUD 1945. Maka, penulis pada kesempatan kali ini akan melakukan kajian secara yuridis normatif mengenai pengujian Ketetapan MPR/S oleh MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia untuk menjawab permasalahan tersebut. Penelitian yang dilakukan didasarkan pada rumusan masalah: “Dapatkah MK menguji Ketetapan MPR/S terhadap UUD 1945? Atau Dapatkah MK menjadikan Ketetapan MPR/S menjadi batu uji bagi pengujian dari suatu UU?”
Penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini adalah dilakukan oleh Tomi Agustian dengan fokus penilitan terhadap implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 75/PUU-XII/2014 dalam pengujian Ketetapan MPR/S. Meirina Fajarwati dengan fokus penelitian pada konstitusionalitas Ketetapan MPR/S dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Serta, penelitian yang dilakukan oleh Dian Agung Wicaksono yang berfokus pada Implikasi kembalinya Ketetapan MPR/S pada Hierarki Peraturan Perundang-Undangan dalam kaitannya dengan Jaminan Atas Kepastian Hukum yang Adil di Indonesia. Walaupun penelitian saat ini dan sebelumnya sama-sama terkait dengan Ketetapan MPR/S namun, fokus penelitian ini adalah mengenai kewenangan MK dalam melakukan judicial review terhadap Ketetapan MPR/S, baik Ketetapan MPR/S tersebut sebagai objek pengujian atau batu uji. Di mana, dalam pembahasan penelitian ini akan dibahas mengenai politik hukum kedudukan Ketetapan MPR/S pada hirarki peraturan perundang-undangan serta pro dan kontra dari kewenangan judicial review Ketetapan MPR/S yang dilakukan oleh MK.
B.
METODE
PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif yaitu penelitian yang dalam pendekatannya dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka untuk memahami adanya hubungan antara ilmu-ilmu hukum dengan hukum positif serta penelaahan terhadap unsur-unsur hukum.[7]Metode penelitian yuridis-normatif yang dilakukan dalam penelitian adalah analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan judicial review dan kedudukan Ketetapan MPR/S dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Di mana peraturan perundang-undangan tersebut adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian ini. Lalu, sumber hukum lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer yang dapat diperoleh dari studi kepustakaan seperti buku-buku, doktrin, karya ilmiah para sarjana, makalah, surat kabar, artikel, bulletin, dan/atau jurnal-jurnal serta bahan hukum tersier yaitu bahan yang menjadi penunjang dari kedua bahan sebelumnya.
Tipologi penelitian ini dilihat dari sudut sifatnya adalah penelitian eksplanatoris yakni penelitian yang dimaksudkan untuk menguji hipotesa-hipotesa tertentu.[8] Diantaranya adalah hipotesa mengenai pemberian kewenagan kepada MK untuk menjadi lembaga yang dapat memeriksa pengujian materil Ketetapan MPR/S dan hipotesa mengenai Ketetapan MPR/S yang menajdi batu uji bagi MK dalam melakukan pengujian materil. Sedangkan dilihat dari sudut bentuknya, tipologi penelitian ini berupa penelitian preskriptif yakni penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu,[9] yang mana permasalahan yang akan diteliti telah disebutkan dalam rumusan masalah.
Data-data yang telah diperoleh disusun secara
sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara deduktif kualitatif. Analisis
kualitatif terhadapat data yang diperoleh silakukan sesuai dengan jenis datanya
yakni mencari makna berdasarkan data yang telah dikumpulkan didasarkan atas
persepsi penulis. Analisa kualitatif dilakukan untuk menganalisis dan
mengevaluasi data yang diperoleh secara mendalam dan menyuluruh untuk menjawab
permasalahan dan memperoleh kejelasan terhadap pokok permasalahan dalam
penilitian ini. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menyajikan penelitian
dalam bentuk preskriptif-analitis dengan menekankan pada aspek pemberian solusi
terhadap kedudukan dari Ketetapan MPR/S dan mekanisme pengujiannya.
C.
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukannya amendemen terhadap UUD 1945, kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 naskah asli UUD 1945 dinyatakan bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” MPR dikonstruksikan sebagai wadah penjelamaan seluruh rakyat yang berdaulat, tempat kemana Presiden harus tunduk dan mempertanggungjawab segala pelaksanaan tugas-tugas konstitusionalnya. Dari konstruksi tersebut, maka MPR dipahami sebagai lembaga tertinggi negara di mana kedaulatan seluruh rakyat Indonesia terjelma. Oleh karena itu, segala ketetapan yang dikeluarkannya mempunyai kedudukan lebih tinggi dari produk hukum yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga tinggi negara lain, seperti Presiden, DPR ataupun Mahkamah Agung. Dengan demikian, Ketetapan MPR/S lebih tinggi kedudukan hirarkinya daripada undang-undang ataupun bentuk-bentuk peraturan lainya.[10]
Pada masa lalu MPR menerbitkan berbagai produk Ketetapan. Untuk pendisiplinan penyebutkan nama Ketetapan MPR baru muncul dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan Republik Indonesia. Diakuinya Ketetapan MPR ini sebagai bentuk implied power (kekuasaan yang tersirat) dari konstitusi, bahwa sebagai lembaga negara MPR berwenang membuat keputusan hukum.[11] Pilihan bentuk putusan hukum Ketetapan MPR merupakan konvensi hukum yang sudah dimulai sejak sidang pertama MPRS tahun 1960.[12] Konvensi Ketatanegaran sebagai sumber hukum sangat penting artinya dalam melengkapi atau mendinamisasikan kaidahkaidah hukum di bawahnya. Mengingat muatan Undang-Undang Dasar 1945(UUD 1945) sebelum perubahan hanya memuat aturan pokok. Oleh karena itu dalam perkembangannya muncul muatan Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang beragam, terutama dalam menterjemahkan ruang lingkup Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara serta kedudukan MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat.[13]
Menurut Jimly Asshiddiqie, sehungguhnya ketetapan-ketetapan MPR/S yang bersifat mengatur itu pun mempunyai kedudukan sebagai hukum konstitusi, karena dibuat dan ditetapkan oleh lembaga yang sama dengan yang menetapkan undang-undang dasar. Ketetapan MPR/S sebagai produk hukum yang mengatur (regeling) merupakan bentuk penafsiran MPR atas UUD 1945 yang dikenal sangat ringkas. Dengan perkataan lain, Ketetapan MPR/S mempunyai nilai konstitusi atau setidaknya sebagai bentuk penafsiran atas UUD 1945 atau bahkan merupakan perubahan undang-undang dasar dalam bentuk yang tidak resmi menurut ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Namun karena prosedur pembahasan dan pengambilan keputusannya berbeda dari penyusunan atau perubahan undang-undang dasar menurut ketentuan Pasal 37 UUD 1945, maka kedudukannya dianggap tidak sederajat. Undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi tetap memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada Ketetapan MPR/S.[14] Selain itu, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara pun diberikan kewenangan untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, untuk memberi pedoman kerja dan panduan penyusunan program kerja bagi Presiden dalam melaksanakan tugasnya. Garis-garis besar daripada haluan negara tersebut diperlukan karena pedoman atau haluan-haluan kebijakan bernegara yang ditentukan dalam UUD 1945 terlalu ringkas dan sederhana. Oleh karena itu, diperlukan penjelasan lebih lanjut dari haluan-haluan tersebut yang dituangkan dalam bentuk ketetapan-ketetapan yang mengatur dengan daya ikat yang efektif.[15]
Dalam perkembangannya, kewenangan MPR untuk mengeluarkan Ketetapan MPR/S dihapuskan. Penghapusan wewenang untuk membentuk Ketetapan MPR/S tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 3 UUD 1945 setelah perubahan. Pasal tersebut tidak mengakomodir kewenangan MPR untuk membentuk suatu ketetapan. Kewenangan MPR dalam pasal tersebut hanyalah untuk: mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar; melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa kewenangan pembentukan Ketetapan MPR yang bersifat regeling sudah dihapus dalam sub-sistem peraturan perundang-undangan. Jikapun MPR akan mempertahankan bentuk keputusan yang dibuatnya dengan sebutan ketetapan, maka sifat dari ketetapan versi baru semacam itu tidak lagi mengandung norma hukum yang bersifat mengatur (regeling).[16]
Dengan dihapusnya kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan MPR yang bersifat regeling tersebut, kemudian MPR diberikan tugas untuk melakukan peninjauan terhadap Ketetapan MPR/S yang diperintahkan oleh Pasal I Aturan Peralihan amendemen keempat UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.” Hasil dari peninjauan tersebut dituangkan dalam Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Ketetapan MPR/S Sejak Tahun1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Upaya peninjauan kembali tersebut dilakukan setelah disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 pada tahun 2002, yang menyebabkan tidak dikenalnya lagi produk Ketetapan MPR yang bersifat pengaturan (regeling) dalam sistem konstitusi negara Indonesia.[17]
Secara sekilas perlu diketahui bahwa Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002 merupakan perwujudan dari amanat Pasal I Aturan Tambahan UUD
NRI Tahun 1945.[18]
Tap MPR a quo merupakan bentuk evaluasi materi dan status hukum Tap
MPR/S yang ada sejak tahun 1960 sampai tahun 2002. Ketetapan ini sering disebut
sebagai TAP MPR “sapu jagat”, karena TAP MPR ini menentukan kedudukan serta
status hukum seluruh TAP MPR/S yang pernah dikeluarkan oleh MPR/S sebelumnya.
Ketetapan ini juga merupakan TAP MPR terakhir yang bersifat regeling yang
dikeluarkan oleh MPR. Berdasarkan TAP MPR tersebut, TAP MPR/S Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002.[19]
Di dalam Tap MPR a quo terdiri dari 6 pasal yang masing-masing
mengelompokkan Tap MPR/S menurut status keberlakuannya, yaitu:[20]
1)
Pasal 1 (8 Ketetapan)
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
2)
Pasal 2 (3 Ketetapan)
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini dinyatakan tetap
berlaku dengan ketentuan masing-masing sebagai berikut.
3)
Pasal 3 (8 Ketetapan)
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah
ini tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum
tahun 2004.
4)
Pasal 4 (11 Ketetapan)
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini tetap berlaku
sampai dengan terbentuknya undang-undang.
5)
Pasal 5 (5 Ketetapan)
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Peraturan Tata Tertib
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah
ini dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib
yang baru oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hasil
pemilihan umum tahun 2004.
6)
Pasal 6 (104 Ketetapan)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang
disebutkan di bawah ini merupakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang
tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig
(final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.
Setelah dihilangkannya kewenangan untuk membentuk ketetapan tersebut, maka Ketetapan MPR/S pun dihapuskan dari hierarki peraturan perundang-undang yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa yang dimaksud dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan meliputi:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c) Peraturan Pemerintah;
d) Peraturan Presiden;
e) Peraturan Daerah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak mencantumkan Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan, ketika Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dibentuk, MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan pelaksana penuh kedaulatan rakyat. MPR tidak berwenang mengeluarkan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur. Produk hukum MPR yang bersifat pengaturan adalah ketika MPR melakukan perubahan terhadap UUD 1945.[21]
Akan tetapi, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terdapat pergeseran dalam status hukum Ketetapan MPR/S. Menurut Undang-Undang ini, Ketetapan MPR/S merupakan bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang ditempatkan di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Hal tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan meliputi:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d) Peraturan Pemerintah;
e) Peraturan Presiden;
f) Peraturan Daerah Provinsi;
g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pencantuman Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah upaya memberikan kepastian hukum bagi Ketetapan MPR yang masih berlaku, meski secara kelembagaan MPR sudah tidak mempunyai wewenang untuk membuat Ketetapan MPR yang bersifat regeling. Konsep ini terlihat dari pendapat Menteri Hukum dan HAM RI pada waktu itu, Patrialis Akbar yang menuturkan bahwa dimasukkannya Ketetapan MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang hanya untuk memperkuat kekuatan hukum Ketetapan MPR yang sudah diterbitkan sejak dahulu, yakni Ketetapan MPR No.I/MPR/2003.[22] Namun, dengan dimasukkannya Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak serta merta memperjelas status hukum dari Ketetapan MPR itu sendiri. Melaikan, implikasi dimasukkannya Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan dapat memunculkan beberapa permasalahan hukum lainnya.
Salah satu implikasi yang membuat penempatan Ketetapan MPR/S dalam hierarki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini menjadi dilematis adalah potensi pertentangan Ketetapan MPR dengan UUD 1945 dan/atau Undang-Undang di bawahnya. Dengan adanya perubahan status hukum dan kedudukan Ketetapan MPR/S yang awalnya tidak menjadi bagian dari jenis dan tata urutan peraturan perundangundangan menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tersebut, maka salah satu implikasi yuridisnya adalah bagaimana jika Ketetapan MPR/S tersebut dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau tidak menutup kemungkinan akan terdapat pengujian Ketetapan MPR/S oleh warga negara yang memiliki legal standing dimana Ketetapan MPR/S yang masih berlaku tersebut dianggap melanggar hakhak konstitusional mereka yang dilindungi oleh konstitusi.[23] Adapun beberapa yang muncul akibat pertentangan ini padahal UUD 1945 menjadi dasar berpijak dalam segala ketentuan perundang-undangan di Indonesia dan Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai solusi untuk lebih mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang sesungguhnya, yaitu segala sesuatu bentuk pergaulan dalam hidup bermasyarakat berdasar atas hukum dan hukum dibentuk dengan berdasarkan pada aturan dasar filosofi bernegara, yaitu konstitusi.[24]
Penempatan Ketetapan MPR/S setingkat di bawah UUD 1945 dalam tata urutan peraturan perundang-undangan membawa konsekuensi bahwa Ketetapan MPR harus selaras dengan UUD 1945. Ketetapan MPR/S tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, dan apabila bertentangan maka Ketetapan MPR/S itu kehilangan keabsahannya. Dalam hal muatan materi MPRS dan MPR bertentangan dengan UUD NRI 1945, seharusnya ketetapan tersebut dapat di uji terhadap UUD 1945 (uji konstitusional). Sebaliknya, Ketetapan MPR/S menjadi sumber dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya pun apakah dapat menjadi batu uji bagi peraturan perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu, untuk menjaga kesatuan sistem tata hukum dalam negara perlu dilakukan pengujian apakah satu kaidah hukum tidak berlawanan dengan kaidah hukum lain, dan terutama apakah suatu kaidah hukum tidak ingkar dari atau bersifat menyisihkan kaidah hukum yang lebih penting dan lebih tinggi derajatnya.[25] Dalam hal ini, perngujian tersebut dilakukan terhadap Ketetapan MPR/S baik menjadi objek yang diujikan atau sebagai batu uji bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Sebagaimana diketahui bahwa Ketetapan MPR/S telah diajukan permohonan judicial review beberapa kali ke Mahkamah Konstitusi, tetapi permohonan para pemohon dianggap kabur dan tidak dapat diterima oleh sidang Majelis Mahkamah Konstitusi. Contoh yang pertama, atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-XI/2013 tentang Pengujian UU Nomor 12 Tahun 2011. Dalam materi yang diujikan Pasal 7 ayat (1) hurup b ditempatkan Ketetapan MPR/S dalam susunan hierarki perundang-undangan dan tidak ada lembaga negara yang berwenang mengujinya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum pengujian Ketetapan MPR/S ini, dan Mahkamah Konstitusi mengadili dan dan memutuskan tidak menerima permohonan yang diajukan oleh Viktor dan kawan-kawan.[26]
Putusan yang kedua, Nomor 75/PUU- XII/2014 tentang Pengujian Ketetapan MPR No. I/MPR/2013 terhadap Undang Undang Dasar NRI 1945, dengan materi yang diujikan Pasal 6 angka (30) Pengujian TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasan pemerintahan dari Presiden Soekarno.[27] Mahkamah Konstitusi mengadili dan tidak menerima permohonan yang diajukan oleh Murnanda Utama dan kawan-kawan dari Yayasan Maharya Pati, karena permohonan pemohon dianggap kabur dan pengujian mengenai Tap MPR Nomor I/MPR/2003 terhadap Undang Undang Dasar NRI 1945, dengan materi yang diujikan Pasal 6 angka (30) Pengujian Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasan pemerintahan dari Presiden Soekarno ini, adalah yang kedua kalinya dilakukan permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya pernah diajukan judicial review oleh Rahmawati Soekarno Putri - putri dari mantan Presiden Ir. Soekarno bersama Yayasan Universitas Bung Karno dengan risalah Sidang Nomor 24/PUU-XI/2013 dengan Putusan yang sama yaitu Mahkamah Konstitusi mengadili dan tidak menerima permohonan tersebut.[28]
Dalam Pertimbangannya untuk memutuskan perkara-perkara tersebut, MK mempertimbangkan kewenagannya untuk mengadili permohonan serta kedudukan hukum (legal standing) dari pemohon. Di mana, terhadap hal-hal tersebut MK berbendapat bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan konstitusional MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar. Oleh kerana Ketetapan MPR/S mempunyai kedudukan yang secara hierarkis berada di atas Undang-Undang maka berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 maka menurut MK pengujian terhdap Ketetapan MPR/S tidaklah termasuk dalam kewenangan MK.[29] Lalu dalam putusannya pun, MK berpendapat bahwa karena MK tidak berwenang mengadili permohonan pengujian Ketetapan MPR/S maka keudukan hukum pemohon dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan.[30]
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili dan tidak menerima beberapa kali permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi berdampak kepada keberadaan Ketetapan MPR di dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak ditemukan aturan atau mekanisme pengujian TAP MPR yang menyebabkan terjadinya kekosongan hukum serta tidak adanya lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Ketetapan MPR, atau keadaan tersebut dapat pula dinamakan sebagai tetra incognita.[31] Karena itu, muncullah pandangan mengenai dapatkah Ketetapan MPR dijadikan batu uji bagi ketentuan yang berada di bawahnya, mengingat kedudukan Ketetapan MPR yang berada tepat di bawah UUD 1945.
Hamdan Zoelva sekalu mantan Ketua Mahkamah Konstuitusi Perioden 2013-2015 berpandangan bahwa Ketetapan MPR yang masih berlaku harus merujuk pada ketentuan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003. Dengan adanya keberadaan Ketetapan MPR tersebut yang telah menentukan Ketetapan MPR mana saja yang berlaku, maka Ketetapan MPR masih mengandung norma hukum. Meski dalam putusannya MK menyebutkan bahwa pengujian terhdap Ketetapan MPR/S tidaklah termasuk dalam kewenangannya, MK pun tidak menafikan bahwa Ketetapan MPR No. I/MPR 2003 dapat menjadi batu penguji.[32] Namun, atas pendapat tersebut pun masih dapat diperdebatkan kembali.
Perlu diingat bahwa dasar pertimbangan dimasukkannya kembali Ketetapan MPR/S R dalam hierarki peraturan perundang-undangan menurut penjelasan DPR dan pemerintah adalah sebagai suatu konsekuensi hukum atas beberapa Ketetapan MPR/S yang masih berlaku dengan demikian keberadaan Ketetapan MPR/S hanya mempertahankan “status quo”. Dengan demikian ketentuan ini tidak memberikan dinamika dan membuat stagnansi perundang-undangan.[33] Selain itu, hakikat Ketetapan MPR di masa-masa pasca tahun 2004, haruslah dipahami berbeda dengan pengertian Ketetapan MPR/S di masa lalu yang berisi normah hukum yang bersifat ‘regeling’. Sebab, MPR hasil Pemilu 2004 dan seterusnya merupakan lemaga negara yang mempunyai status kelembagaan yang bereda kewenagan konstitusionalnya dibandingkan MPR sebelumnya. Ketetapan MPR “baru” tersebut hanya berisi norma hukum yang bersifat administratif (beschikking). Sedangkan, Ketetapan MPR yang bersifat mengatur hanya yang sepanjang menyangkut ketentuan Tata Tertib MPR yang berlaku ke dalam.[34]
Jimly Asshiddiqie, yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, berbendapat bahwa seharusnya MK berwenangan untuk menguji Ketetapan MPR berdasarkan Ketetapan No. I/MPR2003. Karena dengan lahirnya Ketetapan tersebut, Ketetapan MPR/S yang masih berlaku dapat disetarakan dengan undang-undang, bukan dengan undang-undang dasar. Sejak Ketetapan No. I/MPR2003, MPR sendiri telah menurunkan status huikum ketetapan-ketetapan MPR warisan lama ke dalam derajat yang setara dengan undang-undang bukan undang-undang dasasr. Ketetapan No. I/MPR2003 menempatkan beberapa Ketetapan MPR/S yang masih terus berlaku sampai materinya diatur dengan undang-undang. Dengan diaturnya hal-hal dalam Ketetapan MPR/S itu oleh undang-undang, maka Ketetapan MPR/S tersebut tidak lagi berlaku sebagai peraturan. Pengaitan Ketetapan MPR/S dengan undang-undang menunjukkan bahwa secara materiel, kandungan materi ketetapan-ketetapan MPR/S warisan masa lalu itu dianggap cukup diatur dengan undang-undang saja. Bedasarkan pertimbangan yang bersifat praktis tersebut, Jimly menyimpulkan maka dapat dikatakan bahwa Ketetapan MPR/S yang tersisa yang keberlakuan berlanjut sampai sekarang, dapat disetarakan dengan undang-undang, bukan dengan undang-undang dasar.[35]
Lebih lanjut lagi, Jimly menjelaskan bahwa apabila status hukum Ketetapan MPR tersebut disetarakan dengan undang-undang dasar akan menimbulkan risiko yang lebih buruk daripada jika Ketetapan MPR tersebut ditafsirkan sederajat dengan undang-undang. Berkaitan dengan proses pembentukkannya, Ketetapan MPR tersebut dibentuk dengan mekanisme suara terbanyak sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UUD 1945. Akan tetapi, jika statusnya dianggap setara dengan undang-undang dasar, maka untuk mengubah atau mencabutnya diperlukan persyaratan dukungan suara yang lebih sulit sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Padahal, bila ditinjau dari segi isinya, Ketetapan MPR yang masih berlaku tersebut lebih memerlukan sifat keterbukaan dan fleksibilitas dibandingan dengan materi undang-undang dasar, sehingga memerlukan mekanisme perubahan yang lebih sederhana dibandingan dengan materin UUD 1945.[36]
Dalam hal ini, penulis setuju dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie. Status hukum dari Ketetapan MPR yang masih berlaku haruslah disetarakan dengan undang-undang, karena MPR bukanlah merupakan lembaga tertinggi negara seperti masa lalu. MPR adalah lembaga negara yang setara dengan Presiden dan DPR, oleh karena itu produk hukumnya yaitu Ketetapan MPR pun lebih tetap untuk disetarakan dengan undang-undang yang merupakan produk hukum dari Presiden dan DPR, yang merupakan lembaga negara yang setara pula dengan MPR. Kewenangan MPR untuk mengubah dan menetapkan undang-undang dasar tidak menjadikannya menjadi lembaga negara yang lebih tinggi dari lembaga negara lainnya. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pertanyaan kewenagan dalam melakukan pengujian terhadap Ketetapan MPR diberikan kepada siapa. Penulis akan menjawabnya dengan menggunakan pendapat dari Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Perlihan Undang-Undang.
Lembaga negara yang dapat menilai kembali (review) Ketetapan MPR/S yang masih berlaku tersebut ada 4 (empat), yaitu (i) DPR, (ii) Presiden, (iii) DPD, dan (iv) Mahkamah Konstitusi. Dalam hal Ketetapan MPR/S yang dimaksud dinilai telah menimbulkan kerugian hak kosntitusional pihak-pihak tertentu, maka, dengan memperluas pengertian undang-undang yang dapat diuji oleh MK, pihak yang bersangkutan dapat saja mengajukannya sebagai perkara pengujian konstitusional di MK. Dalam hal ini mekanisme yang ditempuh adalah mekanisme “judicial review” sebagaimana yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, seharusnya MK sebagai lembaga yang berfungsi menjadi pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution) dan penafsir konstitusi (The Interpreter of Constitution), seharusnya menerima perkara dengan objek pengujian Ketetapan MPR/S yang masih berlaku apabila dianggap telah menimbulkan kerugian hak konstitusional pihak-pihak tertentu. Hal ini sejalan dengan peran MK sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights) dan pelindung hak-hak asasi manusia (the protector of human rights). Hal ini sejalan dengan tujuan Republik ini. Hal ini sejalan dengan tujuan Republik ini didirikan seperti yang tercantum di dalam alenia ke empat Pembukaan UUD 1945, yaitu “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”.[37] Selain itu, sejak dilakukan amandemen ketiga UUD NRI 1945 tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi MPR sekarang berkedudukan sejajar dengan lembaga negara lainya. Oleh karena inilah produk hukumnya pun dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, dengan disetarakan Ketetapan MPR/S dengan
undang-undang maka, Ketetapan MPR/S yang berlaku tidaklah dapat menjadi batu
uji pengujian undang-undang yang dilakukan oleh MK. Mengingat, bahwa setelah
pasca amendemen UUD 1945 diberlakukan lembaga negara yang berwenang untuk
melakukan penafsiran terhadap UUD 1945 adalah MK, sehinggap Ketetapan MPR/S
tersebut bukanlah suatu penafsiran dari UUD 1945 sebagaimana pada masa dahulu
D.
P E N U T U P
Dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Ketetapan MPR, Mahkamah berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak berwenangan untuk menguji Ketetapan MPR, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar. Akan tetapi, dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili dan tidak menerima permohonan judicial review adalah dengan keberadaan Ketetapan MPR/S di dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak tersedia aturan atau mekanisme pengujian Ketetapan MPR/S yang menyebabkan terjadinya kekosongan hukum serta tidak adanya lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Ketetapan MPR/S.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalah tersebut, alangkah lebih baiknya apabila Ketetapan MPR/S yang masih berlaku hingga saat ini disetarakan dengan undang-undang. MPR telah menurunkan status hukum ketetapan-ketetapan MPR warisan lama ke dalam derajat yang setara dengan undang-undang, dengan demikian, maka kewenangan pengujian terhadap Ketetapan MPR/S tersebut menjadi milik Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berfungsi menjadi pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution) dan penafsir konstitusi (The Interpreter of Constitution).
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
[1] Achmad,
Mulyanto. (2013). “Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
(Judicial Review) Pada Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi”. Jurnal
Yustisia 2 (1).
[2]
Agustian,
T. (2016). “Implikasi Pengujian Ketetapan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 75/PUU-XII/2014”. Jurnal Lex Renaissance, 1 (1).
[3]
Fajarwati,
M. (2018). “Konstitusionalitas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan”.
Jurnal Hukum & Pembangunan, 48
(1).
[4] Hajri,
Wira Atma dan Rahdiansyah. (2018). “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia: Persoalan Dan Jalan Keluarnya”. UIR
Law Review, 02 (01).
[5] Kurniawan,
Tyan Adi dan Wilda Prihatiningtyas. (2012). “Problematika Kedudukan Tap Mpr
Dalam Uu No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”. Yuridika,
27 (2).
[6] Mahardika,
Ahmad Gelora. (2019). “Politik Hukum Hierarki Tap Mpr Melalui Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945”. Jurnal
Legislasi Indonesia, 16 (3).
[7] Marthasari,
Niken Eka. (2017). “Kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Terhadap Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Lembaga Negara
Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”.
Diponegoro Law Journal, 6 (2).
[8] Sihombing,
Rudi Heriyanto. (2016). “Gagasan Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Dalam Sistem Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”. JOM Fakultas Hukum, 3 (2).
[9] Suparto, (2020), “Kontroversi Putusan Mahkamah
Konstitusi Membatalkan Kewenangan Komisi Yudisial Melakukan Rekrutmen terhadap Hakim”, SASI, 26 (2): 266-279. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v26i2.252.
[10] Wicaksono, D.A. (2013). “Implikasi Re-eksistensi Tap MPR dalam
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Terhadap Jaminan Atas Kepastian Hukum
yang Adil di Indonesia”. Jurnal
Konstitusi, 10 (1).
[11] Widayati,
Absori dan Aidul Fitriciada Azhari. (2014). “Rekonstruksi Kedudukan Ketetapan
Mpr Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Jurnal
Media Hukum, 21 (2).
Buku
[12] Asshiddie, J. (2006). Perihal
Undang-Undang. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan.
[13] Asshiddie, J. (2008), Menuju
Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
[14] Huda, N. (2014) Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan
& Gagasan Penyempurnaan. Yogyakarta: FH UII Press.
[15] Indrati, M.F. (2011). Ilmu
Perundang-udangan 1: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisus.
[16] Ranggawidjaja, R. (1986). Perkembangan Hak Menguji Material di Indonesia.
[17] Soekanto, S. (1986). Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
[18] Soekanto, S. dan Mamudji, S. (2000). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajarafindo.
Online/World Wide Web dan Lain-Lain
[19] Asshiddiqie, J. (2005). Sambutan dalam rangka Temuwicara
Mahkamah Konstitusi dengan Pejabat Pemerintah Daerah se-Indonesia tentang
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Jakarta, 7-9 April 2005.
[20] Hidayat, R. Mereposisi Status Tap MPR dalam Sistem Hukum Indonesia. Available form https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b7802cb9fcf1/mereposisi-status-tap-mpr-dalam-sistem-hukum-indonesia.
[1] Indrati, M. F. (2011). Ilmu Perundang-udangan 1: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan.
Yogyakarta: Kanisus, h. 41-42.
[2] Achmad, Mulyanto. (2013), “Problematika Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan (Judicial
Review) pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Yustisia, 2 (1), h. 58.
[3] Suparto, (2020), “Kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi Membatalkan Kewenangan Komisi Yudisial Melakukan Rekrutmen terhadap Hakim”, SASI, 26 (2): 266-279, DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v26i2.252. h. 269.
[4] Fajarwati, M. (2018). “Konstitusionalitas Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan”. Jurnal
Hukum & Pembangunan, 48 (1), h. 75.
[5] Asshiddiqie, J. (2008), Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, h. 495.
[6] Asshiddiqie, J. (2005). Sambutan dalam rangka Temuwicara
Mahkamah Konstitusi dengan Pejabat Pemerintah Daerah se-Indonesia tentang
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Jakarta, 7-9 April 2005.
[7] Soekanto, S. dan Mamudji, S. (2000). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Rajarafindo, h. 14.
[8] Soekanto, S. (1986). Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, h. 10.
[9] Soekanto, Ibid.
[10] Asshiddiqie, J. (2006). Perihal Undang-Undang. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, h. 49.
[11] Manan, Bagir dalam Marthasari, Niken Eka. (2017). “Kedudukan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Terhadap Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sebagai Lembaga Negara Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”. Diponegoro
Law Journal, 6 (2). h. 2.
[12] Mathasari, Ibid.
[13] Mathasari, Ibid.
[14] Asshiddiqie, h. 50.
[15] Asshiddiqie, h.49.
[16] Asshiddiqie, h. 53.
[17] Asshiddiqie, h. 58.
[18] Indonesia. Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[19] Kurniawan, Tyan Adi dan Wilda Prihatiningtyas. (2012). “Problematika
Kedudukan Tap Mpr Dalam Uu No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan”. Yuridika, 27 (2), h. 124.
[20] Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
[21] Widayati, Absori dan Azhari, Aidul Fitriciada. (2014). “Rekonstruksi
Kedudukan Ketetapan Mpr Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Jurnal Media Hukum 21 (2), h. 270
[22] Mahardika, Ahmad Gelora. (2019). “Politik Hukum Hierarki
Tap Mpr Melalui Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”. Jurnal Legislasi Indonesia, 16 (3): 344-352, h. 347
[23] Sihombing, Rudi Heriyanto. (2016). “Gagasan Pengujian Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia:. JOM: Fakultas Hukum, 3 (2), h. 11.
[24] Wicaksono, D.A. (2013). “Implikasi Re-eksistensi Tap MPR
dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Terhadap Jaminan Atas Kepastian
Hukum yang Adil di Indonesia”. Jurnal
Konstitusi, 10 (1), h. 168.
[25] Huda, N. (2014). Perkembangan
Hukum Tata Negara Perdebatan & Gagasan Penyempurnaan. Yogyakarta: FH
UII Press, h. 25.
[26] Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-XI/2013
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
[27] Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
75/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Ketetapan MPR No. I/MPR/2013 terhadap
Undang-Undang Dasar NRI 1945.
[28] Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
24/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
[29] Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
24/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, h. 32.
[30] Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
75/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Ketetapan MPR No. I/MPR/2013 terhadap Undang
Undang Dasar NRI 1945, h. 38.
[31] Agustian, T. (2016). “Implikasi Pengujian Ketetapan MPR
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 75/PUU-XII/2014”. Jurnal
Lex Renaissance 1 (1), h. 11.
[32] Hidayat, R. Mereposisi Status Tap MPR dalam Sistem Hukum
Indonesia. Available form https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b7802cb9fcf1/mereposisi-status-tap-mpr-dalam-sistem-hukum-indonesia. (Diakses 22
April 2019)
[33] Ranggawidjaja, R. (1986). Perkembangan Hak Menguji Material di Indonesia. Bandung: Cita
Bhakti Akademi, h. 99.
[34] Asshiddiqie, Perihal
Undang-Undang, h. 55.
[35]Asshiddiqie, Perihal
Undang-Undang, h. 74-75.
[36]Asshiddiqie, Perihal
Undang-Undang, h. 77-78.
[37] Hajri, Wira Atma dan Rahdiansyah. (2018). Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia: Persoalan Dan Jalan Keluarnya. UIR Law Review 02 (01), April 2018, h. 238
Copyright (c) 2020 Lintang Galih Pratiwi
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
Cited-By:
1. Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Mahkamah Agung ( Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 65 P/HUM/2018)
Suparto Suparto
SASI vol: 27 issue: 1 first page: 61 year: 2021
Type: Journal [View Source]