S A S I

Volume 26 Nomor 4, Oktober - Desember 2020 : h. 527 - 539    

p-ISSN: 1693-0061 | e-ISSN: 2614-2961

Jurnal Terakreditasi Nasional, SK. No. 28/E/KPT/2019

This is open access article under the CC-BY-NC 4.0 International License

Mengurai Kewarganegaraan Ganda (Dual Citizenship) Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Negara Kesejahteraan

Supriyadi A Arief

 

Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia

E-mail: supriyadi18001@mail.unpad.ac.id

 

Dikirim: 19/02/2020

Direvisi: 15/10/2020

Dipublikasi: 30/12/2020

Info Artikel

 

Abstract

 

Keywords:

Dual Citizenship; Human Rights; Welfare State.

 

 

 

The state is obliged to fulfill and protect the rights of its citizens, including the right to citizenship status. This status will facilitate citizens in living their lives, both in the country that grants citizenship status and in other countries. The high mobility of citizens results in boundaries between countries no longer limited by distance and time. As a result, a person's citizenship status can change, either because of personal needs or obligations of the second country which requires citizens to have citizenship status of the country. The problem in this research is to what extent dual citizenship in the perspective of human rights can realize a welfare system ?. This research is a normative study using a statutory approach, historical approach, and case approach. The results of the study indicate that the guarantee of the right to citizenship status is an inseparable part of the concept of human rights as contained in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. However, with the rapid flow of global developments causing dual citizenship accommodation in Indonesian citizenship law is something that can be applied in the future. Recognition of dual citizenship can be seen as part of the efforts of the state to bring prosperity to all citizens and protect the citizens' rights to citizenship status.

 

 

Abstrak

 

Kata Kunci:

Kewarganegaraan ganda; Hak Asasi manusia; Negara kesejahteraan.

 

Negara wajib untuk memenuhi serta melindungi hak warga negaranya, termasuk hak atas status kewarganegaraan. Status tersebut akan mempermudah warga negara dalam menjalani kehidupannya, baik di negara yang memberikannya status kewarganegaraan maupun di negara lain. Tingginya mobilitas warga negara berakibat pada sekat antar negara tidak lagi terbatas jarak dan waktu. Akibatnya, status kewarganegaraan seseorang dapat berubah, baik karena kebutuhan pribadi atau kewajiban negara kedua yang mengharuskan warga negara untuk memiliki status kewarganegaraan negara tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah sejauh mana kewarganegaraan ganda dalam perspektif HAM dapat mewujudkan suatu sistem kesejahteraan?.Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah serta pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaminan terhadap hak atas status kewarganegaraan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari konsepsi hak asasi manusia yang tertuang dalam konstitusi UUD NRI 1945. Akan tetapi, dengan pesatnya arus perkembangan global menyebabkan akomodasi kewarganegaraan ganda dalam hukum kewarganegaraan Indonesia merupakan hal yang dapat diterapkan untuk kedepannya. Adanya pengakuan terhadap kewarganegaraan ganda dapat dipandang sebagai bagian dari upaya negara untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara dan melindungi hak asasi warga negara terhadap status kewarganegaraannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DOI:

10.47268/sasi.v26i4.269

 

 

 

 

A.      PENDAHULUAN

Pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) bukan hanya tanggung jawab penyelenggara negara dan pemerintahan tersebut, tetapi juga semua orang dan warga negara.[1] Secara filosofis HAM dimaksudkan untuk melindungi individu sebagai kodrat manusia dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak penguasa.[2] Pada umumnya Konstitusi disuatu negara berisi tiga hal pokok, yakni:[3] Pertama, adanya jaminan hak asasi manusia (HAM) dan warga negara. Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental. Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Tanpa mengesampingkan betapa pentingnya dua hal pokok lain, adanya jaminan hak asasi manusia dan warga negara merupakan hal yang mendasar dan mutlak dalam terbentuknya suatu negara. Hal ini dikarenakan negara dan warga negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam proses pembentukan dan kehidupan bernegara.

Tiga hal pokok tersebut juga termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara khusus, pengaturan konstitusional mengenai warga negara dapat terlihat dalam Bab X UUD 1945 tentang Warga Negara dan Penduduk. Adanya jaminan tersebut juga didukung oleh pengaturan tentang Hak Asasi Manusia dalam BAB XA. Rumusan pasal-pasal dalam kedua bab tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari apa yang dimaksudkan dalam pembukaan UUD NRI 1945 Alinea ke empat yang menyatakan bahwa “...untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Amanat konstitusional tersebut menjadikan negara berkewajiban untuk memenuhi, menjaga, serta melindungi hak-hak warga negaranya dengan seluruh daya upaya yang dimiliki oleh negara. Hak warga negara yang dimaksud meliputi hak untuk hidup, melangsungkan kehidupannya, termasuk pula hak atas status kewarganegaraan. Alasan hak atas status kewarganegaraan merupakan hak warga negara adalah dengan adanya status kewarganegaraan yang melekat pada seseorang maka akan melahirkan hak-hak lain yang dapat diterimanya dari negara.

Masifnya arus perkembangan dan perubahan dunia secara tidak langsung membawa dampak adanya mobilitas tinggi seorang warga negara dalam melakukan pekerjaan, mengembangkan skill atau kemampuannya, menempuh pendidikan atau bahkan untuk memenuhi status kehidupannya dalam membangun rumah tangga. Sekat dan jarak antar suatu negara dengan negara lain kini tidak lagi terbatas ruang dan waktu. Hal ini juga berakibat pada status kewarganegaraan seseorang yang dapat berubah, baik karena kebutuhan pribadi atau bahkan kewajiban negara yang mengharuskan seorang warga negara untuk memiliki status kewarganegaraan negara tersebut.

Tidak akan menjadi masalah yang berarti apabila negara asal dan negara tujuan kedua menganut prinsip dwi kewarganegaraan/kewarganegaraan ganda (dual citizenship/bipatride) yang dapat dimiliki oleh seseorang. Akan tetapi, hal tersebut akan menjadi problematis apabila salah satu negara tidak menganut prinsip kewarganegaraan ganda, atau bahkan kedua negara tidak menganut dual citizenship. Hal ini mengakibatkan seseorang menjadi dilematis, dimana satu sisi harus mempertahankan kewarganegaraan aslinya, namun disisi lain terdapat tuntutan untuk menyesuaikan dengan hukum kewarganegaraan yang ada dinegara tertentu.

Kompleksitas ini dapat terlihat pada kasus yang sempat menghebohkan Indonesia pada tahun 2015. Kasus pertama adalah dilantiknya Archandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) oleh Presiden Joko Widodo. Setelah beberapa saat menjabat sebagai menteri ESDM, Archandra Tahar diketahui ternyata memiliki Paspor Amerika Serikat. Hal ini tentu berakibat pada status Archandra yang memiliki status kewarganegaraaan Indonesia sekaligus memiliki status kewarganegaraan Amerika Serikat. Padahal dalam Pasal Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara secara jelas menyatakan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Menteri, seseorang harus memenuhi berbagai persyaratan, salah satunya adalah sebagai warga negara Indonesia.

Status Archandra yang memiliki paspor Amerika ini secara langsung menjadikan Archandra kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Hal ini disebabkan karena dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan tidak menganut prinsip kewarganegaraan ganda kepada seseorang yang bukan hasil perkawinan campuran dan batas usia dibawah 18 tahun. Melihat rekam jejak Archandra Tahar, dalam segi keilmuan dan keberhasilannya membangun serta mengembangkan perusahaan energi di Amerika maka layak baginya untuk menempati posisi tersebut. Akan tetapi, apabila dikaji dalam perspektif hukum kewarganegaraan, maka terdapat kekeliruan yang fatal dalam penempatannya sebagai menteri ESDM.

Kasus kedua adalah tidak diizinkannya seorang siswa SMA yang bernama Gloria Natapraja Hamel sebagai pasukan pengibar bendera karena memiliki status kewarganegaraan Perancis yang mengikuti ayahnya. Hal ini juga semakin rumit dengan ketidapekaan orang tua yang memandang status kewarganegaraan Gloria yang tidak memilih kewarganegaraan Indonesia. Dalam pandangan penulis, hal tersebut berdampak pada aspek sosiologis dan kebatinan seorang anak yang harus dipaksa oleh persoalan administratif untuk tidak melakukan impinnya sebagai pasukan pengibar bendera pusaka.

Kedua kasus tersebut hanya merupakan segelintir contoh kasus yang diakibatkan oleh persoalan pewarganegaraan yang tidak tuntas diselesaikan oleh hukum kewarganegaraan Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa warga negara yang memiliki kewarganegaraan ganda adalah orang-orang terbaik dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Berkat hal tersebut, seseorang warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki kewarganegaraan ganda dapat memperoleh penghasilan dan penghidupan yang lebih dibandingkan dengan apa yang ada di Indonesia.

Dwi kewarganegaraan memang menjadi hal yang diimpikan para diaspora[4] Indonesia di berbagai negara, mengingat banyaknya WNI diaspora dengan status kewarganegaraan tunggal (apatride) yang dimiliki kerap mengalami berbagai kendala dan keterbatasan terutama dalam hal perlakuan yang sama dan setara dengan warga negara setempat dalam mengakses berbagai peluang dan kesempatan yang ada.[5]

Wacana perlunya pengaturan kewarganegaraan ganda yang tidak terbatas semakin mengemuka dan menjadi isu yang terus diperjuangkan para diaspora Indonesia di berbagai negara di belahan dunia. Wacana ini sempat digemakan terutama pada saat Kongres Diaspora pertama di Los Angeles pada tahun 2012, kemudian disusul dengan acara serupa di Wisma Indonesia, Sydney dengan mengusung tema “Forum Dual Citizenship”. Acara tersebut bertujuan untuk mengawal aspirasi petisi Diaspora Indonesia tahun sebelumnya setelah diserahkannya 6000 nama dan tanda tangan di Los Angeles. Penting dicatat bahwa saat ini diperkirakan lebih dari sekitar 8 juta warga negara Indonesia tersebar di 5 (lima) benua, dan mereka berdomisili di kurang lebih sekitar 90 negara dan sebanyak 4,6 juta dari antara mereka tetap mempertahankan Kewarganegaraan Indonesia.[6]

Status kewarganegaraan dari suatu negara maju merupakan suatu daya tarik tersendiri bagi para WNI yang berada di luar negeri. Hal ini disebabkan dengan adanya status kewarganegaraan tersebut maka berbagai kemudahan akan dimiliki, misalnya dalam hal pekerjaan, tempat tinggal, penghasilan, dan lain sebagainya. Berbagai kemudahan tersebut merupakan bentuk nyata dari negara maju dalam mewujudkan suatu welfare system di negaranya. Status awal sebagai WNI yang kemudian menempati suatu wilayah dinegara tertentu akan ‘diiming-imingi’ ruang untuk mendapatkan hak untuk menetap dalam jangka waktu yang panjang hingga berwujud pada dimilikinya status kewarganegaraan negara tersebut. Hal ini membuka praktik lahirnya kewarganegaraan ganda bagi para diaspora Indonesia.

Berkenaan dengan hal tersebut, akan menjadi dilematis bagi Indonesia ketika kehilangan warga negaranya yang memiliki kemampuan serta profesionalitas yang mumpuni dibidangnya masing-masing. Disisi lain, politik hukum kewarganegaraan di Indonesia saat ini tidak mengenal adanya kewarganegaraan ganda kecuali kepada anak hasil perkawinan campuran. Sementara itu, hak untuk mendapatkan status kewarganegaraan dapat dikategorikan sebagai hak asasi seseorang, karena dengan adanya status tersebut maka yang bersangkutan dapat menerima hak-hak yang lain guna melangsungkan kehidupannya. Berangkat dari hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji secara lebih komprehensif adanya status kewarganegaraan ganda bagi WNI dalam perspektif hak asasi manusia yang dapat mendukung terwujudnya suatu kesejahteraan, baik kesejahteraan untuk negara maupun untuk warga negara.

 

B.       METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah serta pendekatan kasus. Berangkat dari tiga pendekatan tersebut diharapkan dapat terlihat seberapa jauh penerapan kewarganegaraan ganda dapat mewujudkan suatu sistem kesejahtaraan di suatu negara dalam kerangka hak asasi manusia.

 

C.      PEMBAHASAN

1.        Kewarganegaraan dan Negara Kesejahteraan

Awal mula lahirnya konsep negara kesejahteraan adalah pada masa setelah berakhirnya Perang Dunia II, akibat sistem politik dan ekonomi kapitalis yang berpijak pada gagasan negara hukum liberal mengalami kegagalan. Utrecht menjelaskan tipe negara liberal berperan dan bertindak sebagai suatu negara penjaga malam (nachtwakkerstaat).[7] Hal tersebut memberikan pengaruh pada berubahnya konsep bernegara saat itu dimana pemerintahan hanya bertugas membuat dan mempertahankan hukum, berubah menjadi konsep negara yang mengatur perekonomian masyarakat. Berubahnya pandangan tentang konsep negara liberal tersebut, melahirkan suatu konsep baru tentang tipe negara kesejahteraan yang lebih dikenal dengan konsep welfare state (welvaarstaat), yang pada akhir abad ke 19 dan memasuki paruh awal abad ke 20 berkembang pesat di Eropa.[8]

Konsepsi Indonesia sebagai negara kesejahteraan diwujudkan secara mutlak pada pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat yang menyatakan bahwa Pemerintahan negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahrteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan sosial. Lebih lanjut dalam batang tubuh konstitusi kesejahteraan secara ekplisit dijamin dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 31 ayat (5), dan bahkan terdapat bab tersendiri pada konstitusi yakni Bab XIV mengenai Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum yang menganut paham negara kesejahteraan.[9]

Peranan negara dalam memenuhi setiap tuntutan kebutuhan hidup warga negaranya yang semakin meningkat, akan lebih diperlukan guna memberikan keadilan kesejahteraan bagi seluruh elemen negara. Dalam perkembangan pemikiran mengenai negara hukum, dikenal dua kelompok negara hukum, yakni negara hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum materiil ini dikenal juga dalam istilah welfare state atau negara kesejahteraan. Dalam perspektif teoritis, negara hukum modern harus mampu memberikan kontribusi maksimal dalam mencapai kesejahteraan hidup lapisan masyarakat.

Dengan masuknya perihal kesejahteraan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Jimly Asshidiqie konstitusi Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi (economic constitution) dan bahkan konstitusi sosial (social constitution) sebagaimana juga terlihat dalam konstitusi Negara Rusia, Bulgaria, Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia, Iran, Suriah dan Hongaria. Selanjutnya menurut Jimly, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur dalam UUD 1945, nampak dipengaruhi oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada Negara-negara sosialis.[10]

Pembukaan UUD 1945 telah merefleksikan konsep negara hukum kesejahteraan. Cita dan tujuan bangsa dalam frasa kalimat memajukan kesejahteraan umum adalah bentuk nyata konstitusi tertulis Indonesia mendukung terwujudnya negara kesejahteraan. Dalam perjalananya, cita dan tujuan ini diimplementasikan dengan diberikannya status warga negara kepada seseorang. Hal ini dimaksudkan sebagai jalan bahwa adanya status kewarganegaraan merupakan pintu masuk bagi lahirnya hak-hak yang lain bagi warga negara. Lahirnya hak-hak tersebut tentu akan memberikan dampak bagi penghidupan seorang warga negara.

Pada dasarnya setiap negara menghendaki adanya sistem kesejahteraan yang dibangun akan menempatkan warga negaranya dalam posisi menikmati kesejahteraan tersebut. Oleh karenanya, pemberian status kewarganegaraan harus dipandang sebagai upaya negara untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Apabila negara belum sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan bagi setiap warga negaranya, maka hal yang dapat terjadi adalah adanya tindakan warga negara yang berusaha mencari kesejahteraan dinegara lain.

Upaya negara dalam mewujudkan kesejateraan bagi setiap warga negara dapat terlihat dalam rumusan sila kelima Pancasila dimana ditegaskan bahwa “keadilan sosial bagi seluruh masyarakat”. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan negara untuk menghadirkan kesejahteraan kepada masyarakat harus diberikan secara keseluruhan kepada warga negara tanpa memandang latar belakang dan statusnya. Bentuk nyata kesejahteraan sosial akan terwujud apabila negara mengakui seseorang sebagai warga negaranya. Berbanding terbalik apabila negara tidak mengakui status kewarganegarannya, maka tujuan menciptakan kesejahteraan bagi setiap individu tidak akan dilaksanakan secara paripurna oleh negara.

Pengakuan terhadap status kewarganegaraan seseorang haruslah dipandang sebagai wujud nyata negara dalam menjamin dan mewujudkan hak-hak individu seseorang sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi. Oleh sebab itu, adanya pemberian status kewargenagaraan merupakan hak, yang wajib diberikan oleh negara sebagai amanat dari konstitusi UUD NRI 1945 sekaligus sebagai bentuk untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.

 

2.        Politik Hukum Kewarganegaraan Ganda di Indonesia

Merujuk pada politik hukum kewarganegaraan di Indonesia saat ini, dipastikan bahwa Indonesia menganut prinsip kewarganegaraan tunggal (apatride). Hal ini dapat terlihat dalam perjalanan sejarah pengaturan tentang kewarganegaraan di Indonesia. Secara runut, prinsip kewarganegaraan tunggal telah dianut bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang lahir pada fase awal kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, prinsip tersebut dapat terlihat dari lahirnya Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang kemudian terakhir diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan PP Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Prinsip kewarganegaraan tunggal yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan di Indonesia dapat dilihat sebagai suatu proses yang menekankan adanya hubungan lahiriyah antar setiap warga negara dan negara asalnya. Hal ini tentu akan melahirkan hubungan dan keterkaitan yang erat antar sesama warga negara. Dimana segala hal yang lahir dari masyarakat maka masyarakatpun akan menerima setiap hak yang timbul dari setiap hal tersebut.

Proses lahirnya suatu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan nilai-nilai HAM adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jaminan negara terhadap hak setiap warga negaranya. Oleh sebab itu, suatu peraturan perundang-undangan sebagai bentuk dari hasil legislasi memiliki posisi penting dalam mewujudkan pemenuhan dan perlindungan HAM. Korelasi antara pembentukan UU dan HAM terlahir dengan bentuk sebuah norma yang diharapkan mempunyai validitas formal dan efektifitas materiil. Maksudnya, undang-undang yang dilahirkan oleh proses legislasi secara jelas mempunyai sifat berlaku secara umum dan mengikat umum. Adapun keberlakuan norma didalam Undang-Undang terletak kepada kesesuaian kebutuhan norma dan HAM sebagai kewajiban Negara.[11]

Pada dasarnya, setiap Undang-undang yang lahir (termasuk UU Kewarganegaraan) merupakan bentuk pengejawantahan dari negara untuk menjamin, melindungi serta mengakomodir kepentingan seluruh elemen bangsa. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi selurah warga negara Indonesia. Berkenaan dengan kewarganegaraan ganda, sebenarnya pihak yang paling intens menyuarakan hal tersebut untuk dianut di Indonesia adalah kalangan diaspora indonesia.

Kewarganegaraan ganda secara konseptual dapat dimaknai secara sempit dan luas. Dalam ari sempit, kewarganegaraan ganda mengacu konsep “dwi kewarganegaraan” (dual citizenship/ nationality) pada status seseorang yang memiliki dua kewarganegaraan dari dua negara yang berbeda. Dalam arti luas, kewarganegaraan ganda diperluas tidak hanya terbatas pada dwi kewarganegaraan, namun juga lebih dari banyak kewarganegaraan (plural / multiple citizenship/ nationality).[12] Dwi kewarganegaraan secara umum dapat muncul karena penerapan asas-asas kewarganegaraan dari segi kelahiran secara timbal balik (interplay), antara asas ius sanguinis dan ius soli atau naturalisasi seorang warga negara suatu negara ke negara lain.[13]

Terkait dengan penerapan asas-asas kewarganegaraan terdapat beberapa asas-asas umum kewarganegaraan yang sekiranya selalu dianut dalam hukum kewarganegaraan diberbagai negara. Menurut Bagir Manan, asas-asas umum kewarganegaraan terdiri atas:[14]

a.       Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.

b.       Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang kewarganegaraan.

c.       Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang kewarganegaraan.

 

Pilihan atas asas apa yang diterapkan dalam hukum kewarganegaraan dalam suatu negara berimplikasi pada prinsip apa yang dianut oleh negara tersebut, apakah kewarganegaraan tunggal, kewarganegaraan ganda, atau kewarganegaraan ganda terbatas seperti dalam pemaknaan Bagir Manan. Dalam Pandangan Jimlly Asshidiqie,[15] Bipatride membawa ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara tertentu atau bagi yang bersangkutan, misalnya yang bersangkutan wajib membayar pajak di kedua negara. Di negara-negara yang sudah makmur dengan rakyat berpenghasilan tinggi, tidak dirasakan adanya kerugian bagi negara untuk mengakui status dwi kewarganegaraan, sebaliknya bipatride sangat merugikan negara-negara berkembang.

Sementara itu, penerapan kewarganegaraan tunggal sejatinya dapat membatasi pergaulan seorang warga negara dalam era moderniasasi saat ini. Olehnya itu, penting kiranya menimbang penerapan kewarganegaraan ganda (bukan kewarganegaraan ganda terbatas) di Indonesia. Hal ini sejalan dengan argumentasi bahwa perlunya kewarganegaraan ganda tidak semata-mata didasari oleh romantisme kultural yang terbalut dengan identitas politik Indonesia. Usulan pentingnya kewarganegaraan ganda juga didorong oleh keinginan untuk menumbuhkembangkan jaringan Indonesia diberbagai belahan dunia.[16]

Berkenaan dengan hal tersebut, merujuk UU Kewarganegaraan yang saat ini ada di Indonesia, dikenal penerapan asas kewarganegaraan ganda terbatas. Hal ini dapat terlhat pada rumusan Pasal 6 UU Kewarganegaraan yang berbunyi “Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya”

Secara runtut, apa yang dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

Pasal 4

a)         anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;

b)        anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;

c)         anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;

d)        anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;

 

Pasal 5

(1)     Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.

(2)     Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.

 

Apabila ditafsirkan, masih terdapat beberapa permasalahan yang belum sepenuhnya diatur dalam asas kewarganegaraan terbatas yang dianut dalam Pasal 6 UU Kewarganegaraan tersebut. Diantaranya adalah dalam tidak ada akibat yang secara jelas dapat diterima sang anak apabila tidak melaksanakan kewajiban tersebut. Selain itu, kriteria tentang maksud ‘sudah kawin’ juga masih sangat luas untuk dapat ditafsirkan. Semestinya hal-hal tersebut diatur dalam UU Kewarganegaraan ini.[17]

Penerapan asas kewarganegaraan ganda terbatas tidak terlepas dari upaya memberikan perlindungan bagi anak-anak dari hasil perkawinan campuran. Pada akhirnya status kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak di atas harus berakhir ketika anak tersebut telah menginjak umur 18 tahun untuk memiliki salah satu kewarganegaraan. Dengan demikian, penerapan prinsip kewarganegaraan tunggal tetap merupakan prinisip yang lebih dominan dibandingkan dengan prinisip kewargangaraan ganda terbatas.[18]

 

3.        Kewarganegaraan Ganda Dalam Perspektif HAM

Konsepsi tentang Hak Asasi manusia (HAM) dapat dimaknai sebagai seperangkat hak yang melekat pada setiap individu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kedudukannya sebagai mahluk ciptaan tuhan yang maha esa. Pembahasan hak asasi manusia akan selalu terkait dengan status dan kedudukannya sebagai lahir dan batin sebagai seorang manusia. Oleh sebab itu, hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang akan terus ada sepanjang manusia tersebut itu hidup dan melangsungkan kehidupannya.

Pada dasarnya, konsep HAM itu sampai sekarang belum pernah berubah. Hanya terjadi pergeseran penekanannya saja seiring dengan perkembangan waktu, perkembangan negara dan pergaulan masyarakat internasional.[19] Perkembangan pemikiran tentang konsep HAM bukanlah sesuatu yang statis, melainkan konsep yang dinamis. Konsep HAM berkembang seiring dengan perkembangan manusia, khususnya dalam konteks kehidupan bernegara. Bahkan, HAM sering dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat peradaban, tingkat demokrasi, dan tingkat kemajuan suatu negara.[20]

Salah satu bentuk hak asasi manusia yang mengalami perkembangan adalah hak atas kepemilikan status kewarganegaraan. Pada awalnya, status kewarganegaraan diberbagai negara menganut asas kewarganegaraan tunggal. Hal ini didasarkan pada konsepsi awal pemberian status kewarganegaraan beranjak dari prinsip kesetiaan (aligiance) utama terhadap negaranya. Hal ini sejalan dengan apa pendapat Susi Dwi Harijanti yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sejatinya secara filosofis merupakan ikatan kesetiaan sesuai dengan doktrin “kesetiaan abadi” (perpetual allegiance) dan kewajiban rakyat kepada negara.[21] Akan tetapi, adanya perkembangan zaman, sebagian besar negara, utamanya negara-negara maju mulai beranjak menganut asas kewarganegaraan ganda.

Perkembangan atas status kewarganegaraan ganda ini pula telah berkembang di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Memang pada saat ini, asas kewarganegaraan ganda telah dikenal dalam UU Kewarganegaraan Indonesia. Akan tetapi, asas tersebut hanya bersifat terbatas pada anak hasil perkawinan campuran. Hingga kini arus dorongan untuk dianutnya asas kewarganegaraan ganda oleh Indonesia terus disuarakan oleh para diaspora indonesia yang berada diluar negeri.

Diaspora merupakan salah satu pihak yang dapat diuntungkan apabila asas kewarganegaraan ganda ini diterapkan dalam hukum kewarganegaraan Indonesia. Hal ini didasarkan pada seorang diaspora akan memperoleh dua keuntungan sekaligus. Pertama, seorang diaspora akan mendapatkan penghidupan yang jaminan kesejahteraan yang layak dari negara maju yang menjadi tempat bermukimnya. Kedua, seorang dispora akan tetap terikat pada tanah leluhur negara asalnya yang memiliki satu kesatuan ikatan batin dan sosiologis. Adapun definisi diaspora menurut Global Forum for Migration and Development adalah: Emigran dan para keturunannya yang tinggal di luar negara kelahiran atau leluhurnya, baik itu secara temporer atau permanen, tetapi masih memelihara hubungan emosional dan material dengan negara asal.[22]

Perihal jaminan hak asasi manusia dan hukum kewarganegaraan sebenarnya terdapat satu hubungan yang sangat kuat. Hal ini dapat ditemukan pada dianutnya jaminan terhadap hak asasi manusia dalam UU kewarganegaraan Indonesia. Salah satu asas kewarganegaraan yang bersifat khusus yang menjadi dasar penyusunan UU ini adalah asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Penjelasan Umum UU Kewarganegaraan menjelaskan bahwa “Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam segala hak ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya”.

Dwi kewarganegaraan bagi diaspora memang memiliki urgensi yang sangat strategis kendati masih menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Dwi kewarganegaraan di samping menjadi media untuk menyuarakan aspirasi komunitas diaspora di negara tersebut, sebenarnya juga dapat dijadikan upaya untuk merekatkan hubungan di antara kedua negara. Selain itu, pengaturan dwi kwarganegaraan di samping memiliki fungsi sebagai “connecting the dots”, juga diharapkan akan memberikan peluang bagi warga negara Indonesia untuk dapat memiliki peranan penting di luar negeri.[23]

Diaspora Indonesia yang terdapat di berbagai negara pada saat ini berjumlah sekitar 8-10 juta orang; dimana sekitar 4,6 juta masih berstatus WNI dan sisanya merupakan eks WNI beserta keturunannya.[24] Diaspora juga merupakan salah satu elemen penopang perekonomian di Indonesia, dimana setiap tahunnya mereka rutin mengirimkan uang kepada sanak keluarganya di Indoneisa (remitansi). Berdasarkan data Bank Indonesia, remitansi sepanjang tahun 2018 mencapai US$ 10,971 miliar atau setara Rp 153,6 triliun.[25]

Diaspora tidak hanya berpotensi untuk membawa remitansi, namun juga berpotensi untuk membawa aset dalam berbagai bentuk seperti human capital, skill, wealth, dan networks yang diharapkan dapat memperkuat perekonomian nasional. Telah ada setidaknya 56 negara di dunia yang telah menyesuaikan kebijakan imigrasi dan kewarganegaraannya untuk mengakomodasi diaspora. Sementara itu, setidaknya 44 negara telah menerapkan kebijakan dwi kewarganegaraan dalam konteks seseorang tidak kehilangan kewarganegaraan negara asalnya jika ia mengambil kewarganegaraan negara lain.[26] Sedangkan dalam bentuk human capital, diaspora dapat mentransfer keahlian dan pengetahuan, membawa pulang pengalaman bekerja dan bersaing di luar negeri, tingkat pendidikan, kontak di luar negeri, dan tabungan mereka ke tanah air.[27]

Melihat berbagai keuntungan yang bisa saja diperoleh dari kehadiran diaspora ini maka wacana pengaturan status kewarganegaraan ganda dalam hukum kewarganegaraan di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan yang dapat diwujudkan sebagai bentuk jaminan terhadap hak-hak warga negara dalam kerangka hak asasi manusia sekaligus dapat mendukung terwujudnya kesejahteraan bagi negara dan warga negara.

Secara umum, pengaturan dwi kewarganegaraan dalam hukum kewarganegaraan Indonesia menjadi penting untuk diakomodasi. Bahkan dari perspektif hak asasi manusia dalam hukum nasional, dwi kewarganegaraan di Indonesia mendapatkan ruang pengaturan yang lebih luas, mengingat jaminan hak atas kewarganegaraan dalam UUD 1945 Perubahan, tidak dibatasi pada klaim atas “satu kewarganegaraan”, namun hak untuk memilih kewarganegaraan. Artinya, pilihan satu atau dua kewarganegaraan, sangat berkaitan politik hukum nasional kita untuk merespon globalisasi, melindungi hak asasi manusia, termasuk mengantisipasi implikasi dari migrasi internasional, sekaligus memberdayakan sumber daya manusia Indonesia di luar negeri untuk kepentingan nasional.[28]

Rumusan HAM dalam UUD 1945 begitu terbuka dan mengikuti prinsip yang berlaku universal. Hak (individu) yang diatur dalam UUD 1945 sama dengan hak yang diatur dan  dipersepsikan oleh dunia. Salah satu Hak yang dapat dikategorikan sebagai hak individu yang diatur dalam UUD 1945 adalah hak atas setiap orang yang berhak atas status kewarganegaraan.[29]

Akomodasi dwi kewarganegaraan dalam hukum kewarganegaraan Indonesia, dapat dilakukan sepanjang pengakuan tersebut memiliki kualifikasi. Kualifikasi yang dimaksud terkait dengan kriteria subjek yang diakui memiliki kewarganegaraan Indonesia dan secara simultan memiliki kewarganegaraan asing.[30] Penegasan kualifikasi di atas menjadi penting, untuk menghindari upaya-upaya penyelundupan hukum bagi orang asing yang memiliki maksud terselubung tertentu, sekaligus juga penting untuk mencegah negara menjadikan status WNI sebagai komoditas.[31]

Pengaturan dwi kewarganegaraan dalam hukum kewarganegaraan di Indonesia dapat diupayakan apabila merujuk berdasarkan urgensi yang dialami oleh para diaspora Indonesia serta berdasarkan alasan filosofis bahwa hak atas kewarganegaraan termasuk hak atas kewarganegaraan ganda dikategorikan sebagai konsepsi hak asasi manusia yang telah diatur dan dijamin dalam UUD NRI 1945. Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang wajib dilindungi, ditegakkan, dan dipenuhi oleh negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28I ayat (4) yang berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Tanggung jawab tersebut dapat diimplementasikan dengan akomodasi kewarganegaraan ganda dalam hukum kewarganegaraan Indonesia

 

D.      P E N U T U P

Jaminan terhadap hak atas status kewarganegaraan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari konsepsi hak asasi manusia yang tertuang dalam konstitusi UUD NRI 1945. Status kewarganegaraan merupakan jalan untuk didapatkannya hak-hak lain seorang warga negara dalam melangsungkan kehidupannya. Amanat konstitusi terhadap pemenuhan hak atas kewarganegaraan melahirkan tanggung jawab negara untuk mewujudkan setiap hak warga negara guna memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Apabila hal tersebut kurang terpenuhi maka ruang bagi warga negara untuk mencari kesejahteraan dinegara lain dapat saja terjadi dan akan berimplikasi pada perpindahan warga negara yang akan bermukim dinegara lain.

Bermukimnya warga negara Indonesia di luar negeri dalam waktu yang lama tentu akan memberikan dampak bagi status kewarganegaraannya. Hal yang pasti terjadi adalah lahirnya status kewarganegaraan ganda yang akan dimiliki oleh seorang WNI. Kewarganegaraan ganda saat ini hanya diterapkan secara terbatas pada anak hasil perkawinan campuran. Akan tetapi, dengan arus modernisasi dan perkembangan global yang semakin pesat maka akomodasi kewarganegaraan ganda dalam hukum kewarganegaraan Indonesia merupakan hal yang dapat diterapkan dengan adanya landasan filosofis dan berbagai keuntungan yang dapat diterima oleh Indonesia dari adanya kewarganegaraan ganda yang biasanya dimiliki oleh para diaspora Indonesia yang bermukin di luar negeri. Adanya pengakuan terhadap kewarganegaraan ganda kedepan dapat dipandang sebagai bagian dari upaya negara untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara dan melindungi hak asasi warga negara terhadap status kewarganegaraannya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Jurnal

[1]     Charity, May Lim. (2016). Urgensi Pengaturan Kewarganegaraan Ganda Bagi Diaspora Indonesia. Jurnal Konstitusi, 13 (4).

[2]     Cerdas, Felani Ahmad dan Afandi, Hernadi. (2019), “Jaminan Perlindungan Hak Pilih dan Kewajiban Negara Melindungi Hak Pilih Warga Negara dalam Konstitusi (Kajian Kritis Pemilu Serentak 2019)”, SASI, 25 (1): 72-83. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v25i1.142.

[3]     Isra, Saldi. (2014). Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 11 (3).

[4]     Ilyasa, Raden Muhammad Arvy. (2020). “Prinsip Pembangunan Infrastruktur yang Berlandaskan Hak Asasi Manusia Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia”. SASI, 26 (3): 380-391. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.296

[5]     Rajab, Achmadudin. (2017). Peran Perubahan Undang-Undang Kewarganegaraan Dalam Mengakomodir Diaspora Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Jurnal Konstitusi, 14 (3).

[6]     Spiro, J Peter. (2010). Dual Citizenship As Human Right, International Journal of Constitutional Law, 8 (1).

[7]     Utomo, Aji Nurrahman. (2016). Mengurai Kerangka Legislasi Sebagai Instrumen Perwujudan Hak Asasi Manusia. Jurnal Konstitusi, 13 (4).

 

 

Buku

[8]     Asshiddiqie, Jimly. (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.

[9]     Asshiddiqie, Jimly. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

[10] Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. (2011). Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

[11] Manan, Bagir. (2009). Hukum Kewarganegaraan Indonesia dalam UU No. 12 Tahun 2006. Yogyakarta: FH UII Press

[12] Soemantri, Sri. (2006). Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni.

[13] Utrecht. (1960). Pengantar Hukum Adminitsrasi Negara Indonesia. Bandung: Fakultas Hukum dan Masyarakat UNPAD.

 

Online/World Wide Web dan Lain-Lain

[14] Arinanto, Satya. (2016). Dwi Kewarganegaraan Dan Rencana Penyusunan Naskah Akademik RUU untuk Membentuk UU Baru atau Perubahan UU yang Mengatur Mengenai Hal Tersebut, Disampaikan dalam Workshop Badan Keahlian DPR RI pada tanggal 1 September di Jakarta.

[15] Harijanti, Susi Dwi. (2007). Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia. Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

[16] Harijanti, Susi Dwi. (2014). Dwi Kewarganegaraan dan Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia, makalah yang disampaikan dalam Diskusi Penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Kewarganegaraan Ganda, di Jakarta, 23 Oktober.

[17] Harijanti, Susi Dwi. (2016). Dwi Kewarganegaraan dan Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia, Workshop Kewarganegaraan Ganda dan Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006, Jakarta: Badan Keahlian DPR RI, 1 September.

[18] Katadata. Remitansi Tenaga Kerja Indonesia Surplus US$7,5 Miliar Tahun 2018, diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/04/08/remitansi- tenaga-kerja-indonesia-surplus-us-75-miliar-pada-2018.

[19] Marijan, Kacung. Menimbang Kewarganegaraan Ganda. Harian Kompas Edisi 19 Agustus 2016, Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2016/08/19/ 16573431/menimbang.kewarganegaraan.ganda?page=all.



[1] Cerdas, Felani Ahmad dan Afandi, Hernadi. (2019), “Jaminan Perlindungan Hak Pilih dan Kewajiban Negara Melindungi Hak Pilih Warga Negara dalam Konstitusi (Kajian Kritis Pemilu Serentak 2019)”, SASI, 25 (1): 72-83. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v25i1.142. h. 73

[2] Ilyasa, Raden Muhammad Arvy. (2020). “Prinsip Pembangunan Infrastruktur yang Berlandaskan Hak Asasi Manusia Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia”. SASI, 26 (3): 380-391. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.296, h. 387

[3] Sri, Soemantri. (2006). Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni, h. 60.

[4] Dispora dapat dimaknai sebagai suatu kelompok warga negara yang bertempat tinggal di negara lain (diluar negara asalnya).

[5] Charity, May Lim. (2016). Urgensi Pengaturan Kewarganegaraan Ganda Bagi Diaspora Indonesia. Jurnal Konstitusi, 13 (4), h. 811.

[6] Ibid.

[7] Utrecht. (1960). Pengantar Hukum Adminitsrasi Negara Indonesia. Bandung: Fakultas Hukum dan Masyarakat UNPAD, h. 21.  

[8] Idem, h. 22.

[9] Idem, h. 21

[10] Asshiddiqie, Jimly. (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, h. 124.

[11] Utomo, Aji Nurrahman. (2016). Mengurai Kerangka Legislasi Sebagai Instrumen Perwujudan Hak Asasi Manusia. Jurnal Konstitusi, 13 (4), h. 888.

[12] Spiro, J Peter. (2010). Dual Citizenship As Human Right, International Journal of Constitutional Law, 8 (1), h. 111.

[13] Harijanti, Susi Dwi. (2016). Dwi Kewarganegaraan dan Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia, Workshop Kewarganegaraan Ganda dan Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006, Jakarta: Badan Keahlian DPR RI, 1 September, h. 4.

[14] Manan, Bagir. (2009). Hukum Kewarganegaraan Indonesia dalam UU No. 12 Tahun 2006. Yogyakarta: FH UII Press, h. 9-10.

[15] Asshidiqie, Jimly. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, h. 139.

[16] Marijan, Kacung. Menimbang Kewarganegaraan Ganda. Harian Kompas Edisi 19 Agustus 2016. Dari https://nasional.kompas.com/read/2016/08/19/16573431/menimbang.kewarganegaraan.ganda? page=all. (diakses tanggal 20 Juli 2019)

[17] Manan, Bagir. Op.cit, h. 84-85.

[18] Harijanti, Susi Dwi, Et.al. (2007). Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia. Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, h. 121.

[19] Isra, Saldi. (2014). Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 11 (3), h. 411.

[20] Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. (2011). Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, h. 166.

[21] Harijanti, Susi Dwi. (2014). Dwi Kewarganegaraan dan Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia,  makalah yang disampaikan dalam Diskusi Penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Kewarganegaraan Ganda, di Jakarta, 23 Oktober., h. 14.

[22] Rajab, Achmadudin. (2017). Peran Perubahan Undang-Undang Kewarganegaraan Dalam Mengakomodir Diaspora Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Jurnal Konstitusi, 14 (3), h. 543.

[23] Charity, May Lim, Op.cit. h. 811-812

[24] Arinanto, Satya. (2016). Dwi Kewarganegaraan dan Rencana Penyusunan Naskah Akademik RUU untuk Membentuk UU Baru atau Perubahan UU yang Mengatur Mengenai Hal Tersebut, Disampaikan dalam Workshop Badan Keahlian DPR RI pada tanggal 1 September di Jakarta.

[25] Katadata. Remitansi Tenaga Kerja Indonesia Surplus US$7,5 Miliar Tahun 2018, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/04/08/remitansi-tenaga-kerja-indonesia-surplus-us-75-miliar-pada-2018, diakses tanggal 4 Agustus 2019.

[26] Rajab, Achmadudin. Op.cit. h. 544.

[27] Idem. h. 545.

[28] Harijanti, Dwi Susi, Dwi Kewarganegaraan, Op.cit. h. 12-13.

[29] Pasal 28D ayat (4) UUD 1945.

[30] Harijanti, Dwi Susi, Dwi Kewarganegaraan, Loc.cit. h. 13.

[31] Ibid, h.13-14.



Copyright (c) 2020 Supriyadi A Arief

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.

 

Cited-By:

 

1. Kekerasan Berbasis Gender Di Media Sosial
Jihan Risya Cahyani Prameswari, Deassy Jacomina Anthoneta Hehanussa, Yonna Beatrix Salamor
PAMALI: Pattimura Magister Law Review  vol: 1  issue: 1  first page: 55  year: 2021  
Type: Journal [View Source]