Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Produk Kesehatan Ilegal di Era Pandemik Covid-19 Di Kota Ambon

Theresia Louize Pesulima1, *; Jenny Kristiana Matuankotta2, ; Sarah Selfina Kuahaty3,

Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon
Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon
Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon

Correspondence: E-mail:


Abstract

This study swapped to know and analyze the protection of the law against consumen over the illicit circulation of health products in the covid-19 pandemic in the city of Ambon and the takes of the territory of the illegal health products in the covid -19 pandemic in the city of Ambon. The study was a sociolegal research. Which is the combination of research methods of doctrinal law research and empirical law research methods. The study was conducted in the municipal administration of Ambon, in the city of Ambon health services, in the industry and commerce of the province of Maluku and in the large hall of the Maluku drug and food centers. This type of data is primer data and seconder data through literature studies and interviews shown by the study shows that quality monitoring in done by both preventive and repressive governments in the pandemic covid-19 of Ambon, it is a legal protection for consumers against illegal health products that are unqualified and consumer helath standards and health that are circulated on the market according to prevailing legislation regulations

Keywords: Consumer Protection; Illegal Health Products; Covid-19.

Published: 2021 Jun 4; 27(2): 160 - 171
doi: 10.47268/sasi.v27i2.453

Copyright © 2021, Theresia Louize Pesulima, Jenny Kristiana Matuankotta, Sarah Selfina Kuahaty
This article is distributed under the terms of the Creative Commons Attribution Attribution-NonCommercial 4.0 International License, which permits unrestricted use and redistribution provided that the original author and source are credited.

Self URI: Download PDF Version


A. PENDAHULUAN

Pembinaan dan pengembangan hukum di bidang kesehatan, bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum, memperlancar pembangunan dibidang kesehatan

Labetubun, M. A. H. (2020). Aspek Hukum Perdata dalam Kesehatan. In Etika Profesi & Aspek Hukum Bidang Kesehatan (pp. 180–211). Bandung: Widina Bhakti Persada Bandung, h. 181.

. Kesehatan saat ini merupakan salah satu kebutuhan primer selain sandang, pangan, dan papan.

Hariandja, T. R. (2013). Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Kesehatan di Kabupaten Jember. JURNAL RECHTENS2(2), 91-102, h. 92.

Salah satu komponen kesehatan yang sangat penting selain obat-obatan adalah tersedianya produk kesehatan sebagai bagian dari pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan karena produk kesehatan dapat digunakan untuk membantu menyelamatkan jiwa, memulihkan atau memelihara kesehatan.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) menyebutkan hak-hak konsumen dalam kaitan dengan perlindungan konsumen atas peredaran produk kesehatan adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam memperoleh atau menggunakan produk kesehatan tersebut. Konsumen produk kesehatan memiliki hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang serta konsumen juga berhak untuk didengarkan pendapatnya atas pemakaian produk kesehatan.

Wabah Covid-19 ditemukan pertama kali di Wuhan, Hubei, Tiongkok pada Bulan Desember 2019. Wabah ini utamanya menyerang saluran pernapasan seseorang yang dapat mengakibatkan sindrom pernapasan hingga kasus kematian. Pada bulan Februari 2020, World Trade Organization (WHO) mengumumkan bahwa nama virus ini adalah covid-19 yaitu kependekan dari Coronavirus Desease 2019. Menurut WHO, Covid-19 dapat menular melalui orang yang telah terinfeksi virus tersebut. Kemudian pada bulan Maret 2020, WHO menetapkan secara resmi bahwa kasus covid-19 ini dikategorikan ke dalam penyakit pandemi yang berarti kejadian atau fenomena luar biasa yang penyebaran infeksinya dapat terjadi di antara masyarakat bahkan mampu melintasi beberapa negara (global) sehingga menyebabkan kematian.

Saputri, O. B., & Huda, N. (2020). Pengaruh Informasi Covid-19 Melalui Media Sosial Terhadap Perilaku Konsumen. HUMAN FALAH: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam2(7), h. 190-191.

Covid-19 sebagai bencana yang melanda masyarakat Dunia, pemerintah Indonesia telah menetapkan Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat

Kunarso, K., & Sumaryanto, A. D. (2020). Eksistensi Perjanjian Ditengah Pandemi Covid-19. Batulis Civil Law Review1(1), 33-46. DOI: https://doi.org/10.47268/ballrev.v1i1.423, h. 40.

, hal ini memperlihatkan fakta bahwa penyebaran Covid-19 sangat agresif, dalam masa kritis pandemic Covid-19

Pesulima, T. L., & Hetharie, Y. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan Kerja Bagi Tenaga Kesehatan Akibat Pandemi Covid-19. Sasi26(2), 280-285. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v26i2.307, h. 281.

. Wabah Pandemi covid-19 telah membuka peluang yang lebih besar bagi para pelaku usaha untuk menghasilkan uang tunai dengan cepat, salah satunya melalui produksi produk-produk kesehatan yang nantinya dijual kepada masyarakat guna mengantisipasi penularan dan penyebaran covid-19.

Di Indonesia, wabah covid-19 telah memicu panic buying dan penimbunan produk-produk kesehatan seperti masker bedah dan pembersih tangan (handsanitizer). Kelangkaan dan meningkatnya harga produk-produk kesehatan tersebut tak terhindarkan di tengah naiknya permintaan konsumen. Imbas kepanikan di tengah masyarakat, harga produk kesehatan tersebut naik tidak wajar. Dilihat di online shop atau toko online, harga pembersih tangan itu naik berkali-kali lipat dari harga normalnya. Harga sejumlah merek hand sanitizer melambung tinggi di beberapa platform e-commerce seperti Lazada, Bukalapak, Blibli, Shopee dan Tokopedia. Contohnya harga handsanitizer seperti merek Dettol dan Nuvo kemasan 50ml yang biasanya dijual belasan ribu rupiah di warung, kini di tempat pusat pembelanjaan maupun di online shop mematok harga yang sangat tidak wajar. Sekarang sudah di banderol seharga Rp.49.000 sampai Rp.70.000.

Pedagang hand sanitizer di e-commerce itu juga rata-rata sudah memiliki bintang lima yang artinya reputasi penjualan mereka sudah dikenal baik alias bukan pedagang produk kesehatan dadakan. Seperti diketahui, selain han sanitizer, produk kesehatan lain yang mengalami lonjakan harga yaitu masker. Imbas kepanikan di tengah masyarakat, masker sudah sulit ditemukan di pasaran. Selain itu, kalaupun tersedia harganya meroket berkali-kali lipat. Harga masker yang dijual di beberapa platform e-commerce itu sudah melonjak lebih dari 10 kali lipat dari harga dalam kondisi normal.

Agustina, M. (2020). Persaingan Usaha Tidak Sehat Antar Online Shop Dalam Kondisi Covid-19 Terhadap Kebijakan Yang Dikeluarkan Oleh Presiden. Res Judicata3(1), 15-25, DOI: http://dx.doi.org/10.29406/rj.v3i1.2059, h.16.

Pada akhir Februari 2020, polisi menggerebek pabrik dan gudang ilegal di Cakung, Jakarta Utara. Pabrik bisa mendapat untung hingga 250 juta Rupiah dari penjualan produk ilegal mereka. Penggerebekan lainnya dilakukan di sebuah gudang di Tangerang dan mengakibatkan penyitaan 600.000 masker muka ilegal. Pelaku usaha ini mendistribusikan dan menjual masker palsu yang tidak memenuhi standar kesehatan melalui pasar online dan offline. Situasi ini telah menguntungkan pelaku usaha untuk menjual produk ilegal mereka.

Peredaran produk kesehatan palsu telah menyebabkan masalah kesehatan yang lebih besar kepada konsumen di tengah wabah pandemik Covid-19 ketika kesehatan masyarakat membutuhkan perhatian utama. Pemalsuan tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan konsumen, tetapi juga berdampak buruk dengan semakin besar penyebaran wabah pandemic Covid-19 akibat penggunaan produk kesehatan ilegal yang tentu saja tidak mampu mencegah penyebaran virus covid-19.

Kota Ambon sebagai Ibukota Provinsi Maluku dan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang terdampak pandemik covid-19 tentunya banyak ditemukan peredaran produk kesehatan seperti masker bedah dan pembersih tangan yang semakin banyak diperjualbelikan oleh pelaku usaha dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, jika tidak ada pengawasan dari pemerintah dapat menimbulkan peredaran produk kesehatan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan.

B. METODE PENELITIAN

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian sosio-legal

Irianto, S. (2009). Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya” dalam Sulistiyowati Irianto dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor, h. 308.

(sosiolegal research), yakni metode penelitian kombinasi antara metode penelitian Hukum doktrinal dan metode penelitian Hukum empiris. Penelitian ini dilakukan di Kota Ambon dengan pertimbangan bahwa Kota Ambon merupakan Ibukota Provinsi Maluku yang masuk dalam zona merah penyebaran wabah pandemik covid-19. Jenis data penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi lapangan. Seluruh data telah dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder, dipelajari dan dianalisis secara mendalam sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang utuh dan mendalam kemudian diidentifikasi lalu dikelompokkan, ditelaah serta diuraikan menurut hirarkhinya.

C. PEMBAHASAN

1. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Peredaran Produk Kesehatan Ilegal Pada Masa Pandemik Covid-19 Di Kota Ambon

Dunia saat ini tengah waspada dengan penyebaran sebuah virus yang dikenal dengan virus corona. Coronaviruses (CoV) merupakan bagian dari keluarga virus yang menyebabkan penyakit mulai dari flu hingga penyakit yang lebih berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) and Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Penyakit yang disebabkan oleh virus corona atau dikenal dengan Covid-19 adalah jenis baru yang ditemukan pada tahun 2019 dan belum pernah diidentifikasi menyerang manusia sebelumnya.

Covid-19 mula-mula mewabah di Wuhan, Cina, menjelang akhir Desember 2019 kemudian mewabah hebat di Provinsi dan membuat Cina melakukan lockdown dimana hampir semua provinsi dikarantina. Dalam waktu kurang dari dua bulan, coronavirus telah menimbulkan 80 ribu kasus dan 3.000 kematian. Mulai pekan ketiga Januari 2020, Covid kemudian menyeberang ke sejumlah negara di Asia. Amerika, Eropa, Australia dan Afrika. Karena penularan virus ini sangat cepat, maka Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan virus corona sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Status pandemi atau epidemi global menandakan bahwa penyebaran covid-19 berlangsung sangat cepat hingga hampir tak ada negara di dunia yang dapat memastikan diri terhindar dari virus corona.

Akibat penyebaran virus corona yang amat pesat, tenaga medis tentu saja membutuhkan penyokong produk kesehatan untuk mengahadapi virus corona seperti masker yang lebih memadai, alat pelindung diri (APD) dan obat-obatan. Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kesehatan dan kebersihan juga semakin meningkat. Hal ini terbukti dari 44% konsumen mengaku menjadi lebih sering mengkonsumsi produk kesehatan dan 37% lebih sering mengkonsumsi minuman bervitamin.

Suryahadi, A. (2020). Ini perubahan perilaku konsumen Indonesia saat pandemi corona. KONTAN.CO.ID. https://nasional.kontan.co.id/news/ini-perubahan-perilaku-konsumen-indonesia-saat-pandemi-corona.

(Suryahadi, 2020)

Bebasnya peredaran produk kesehatan di pasaran maupun secara online ternyata banyak diminati oleh konsumen. Ini disebabkan karena produk-produk kesehatan tersebut mudah didapatkan. Dengan adanya peningkatan pembelian alat kesehatan tentu menjadi kesempatan bagi pelaku usaha untuk memproduksi alat kesehatan karena dengan tingginya permintaan pelaku usaha bisa mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Pelaku usaha yang tidak memiliki kemampuan untuk bersaing dengan pelaku usaha yang kuat, kerap kali berpikiran pendek dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak benar walaupun dengan mengorbankan konsumen.

Peredaran produk kesehatan yang tidak memenuhi standar dan tidak memiliki izin edar tentunya melanggar hak-hak konsumen yang tertuang dalam Pasal 4 huruf a UUPK yaitu hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

Disadari bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat pendidikan dan kesadaran konsumen akan hak-haknya masih sangat rendah, sehingga pelaku usaha dengan mudah dapat mengelabui konsumen secara leluasa atau bebas memproduksi atau menghasilkan produk barang dan/atau jasa, terlepas apakah produk tersebut sesuai dengan harapan atau kepentingan konsumen terutama dari segi kualitasnya.

Perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah pada prinsipnya selalu dikaitkan dengan perlindungan terhadap hak-haknya. Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen di bidang kesehatan, maka yang menjadi subjek hukumnya adalah para konsumen, sedangkan yang menjadi objek perlindungannya adalah hak-hak konsumen atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi/menggunakan alat-alat kesehatan.

Perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap hak dan kewajiban manusia. Perlindungan hukum bagi konsumen diperuntukkan bagi konsumen untuk menjaga hak-haknya

Pande, N. P. J. (2017). Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Kosmetik Impor Yang Tidak Terdaftar Di BBPOM Denpasar. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal)6(1), 13-22, h.18.

.

Di dalam peraturan perundang-undangan telah ditentukan bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada masyarakat (termasuk konsumen) yang berada pada posisi yang lemah baik secara ekonomi maupun lemah dari aspek yuridisnya atas adanya kesewenang-wenangan dari pihak lainnya, baik itu penguasa, pengusaha maupun orang-orang yang mempunyai kedudukan ekonomi yang lebih tinggi dari masyarakat. Sejalan dengan itu, Maria Theresia Geme

Geme, M. T. (2012). Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Hukum Adat Dalam Pengelolaan Cagar Alam Watu Ata Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, h. 262.

memberikan pengertian perlindungan hukum adalah berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan (memberlakukan hukum negara secara ekslusif) dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau kelompok orang.

Secara teoretis, bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu perlindungan yang bersifat preventif dan perlindungan yang bersifat represif. Teori ini dipelopori oleh Phillipus M. Hadjon. Menurutnya perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.

Philipus, M. H. (1987). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, h. 2.

Dengan kata lain, perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. Sedangkan perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum.

Ibid., h.30

Sebagai bentuk perlindungan hukum dalam hal pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah maka dapat diartikan pengawasan Menurut Hadari Nawawi

Hadari, N. (1995). Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur Pemerintah. Jakarta: Erlangga, h. 95.

bahwa pada dasarnya kegiatan pengawasan bukanlah dimaksudkan untuk mencari-cari kesalahan, akan tetapi lebih dititikberatkan pada pengendalian agar fungsi manajemen secara keseluruhan berlangsung efektif dan efisien bagi pencapaian tujuan. Pengawasan akan kehilangan maknanya apabila dari hasil yang diperoleh terdapat berbagai penyimpangan, pelanggaran dan lain-lain, namun tidak diambil tindakan. Dengan kata lain, pengawasan akan berfungsi jika dari hasil atau temuannya dilakukan tindak lanjut.

Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan bahwa pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya. Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna sebagai pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya.

Terkait dengan fungsi pengawasan yang dilakukan, maka berdasarkan informasi yang didapatkan dari hasil penelitian di lapangan terhadap peredaran produk kesehatan ilegal di masa pandemik covid-19 di Kota Ambon, masih terdapat produk/alat kesehatan (masker dan hand sanitizer) yang beredar di pasaran yang tidak memenuhi syarat/standar kesehatan yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia/WHO.

Wawancara dengan Kepala Seksi Farmasi dan Alat Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kota Ambon, pada tanggal 17 September 2020

Hal ini disebabkan oleh karena produsen/penjual sendiri belum memahami dengan baik tentang cara pembuatan alat kesehatan yang baik sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2017, maka fungsi pengawasan sebagai bentuk dari perlindungan hukum bagi konsumen yang seharusnya dilakukan oleh Dinas Kesehatan kota Ambon dalam hal pengawasan preventif dan represif terhadap peredaran produk alat kesehatan di era pandemik covid-19 perlu ditingkatkan efektivitas pengawasan secara komprehensif dan terpadu sehingga terwujud hak-hak konsumen atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam penggunaan produk. Disamping itu perlu memberikan edukasi kepada masyarakat/konsumen dalam hal pembuatan dan penggunaan masker dan hand sanitizer yang baik dan aman. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Cranstort

Abbas, N. (2002). Tanggung Jawab Produk Terhadap Konsumen dan Implementasinya Pada Produk Pangan. Makasar: Unversitas Hasanuddin, h. 183.

bahwa perlindungan terbaik bagi konsumen adalah pengawasan dari pemerintah, sedangkan teknik-teknik lainnya hanya mempunyai efek yang terbatas.

Selain Dinas Kesehatan Kota Ambon, terdapat beberapa instansi pemerintah yang juga bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan kepada konsumen terhadap peredaran ilegal produk/alat kesehatan, meliputi:

  1. Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Provinsi Maluku

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara hukum telah memiliki kedudukan yang kuat dalam membuat suatu kebijakan di bidang obat-obatan dan makanan dalam rangka pelaksanaan pengawasan obat dan makanan yang beredar di wilayah Indonesia. Pemerintah dalam kasus peredaran obat dan makanan tanpa izin edar adalah otoritas yang berwenang menangani masalah obat dan makanan yaitu Badan POM.

Zuhaid, M. A. N., Turisno, B. E., & Suharto, R. (2016). Perlindungan konsumen terhadap peredaran obat tanpa izin edar yang dijual secara online di Indonesia. Diponegoro Law Journal5(3), 1-12, h.7.

BPOM mempunyai posisi yang strategis berkaitan dengan tugas utama pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat di bidang obat-obatan dan makanan termasuk alat kesehatan (masker, handsanitizer dan suplemen kesehatan). Produk-produk ini merupakan kebutuhan dasar manusia tetapi sekaligus juga beresiko memberikan dampak buruk bagi kesehatan dan keselamatan konsumen apabila tidak dikelola dengan benar, digunakan secara tidak tepat atau disalahgunakan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengaturan dan pengawasan yang baik agar keamanan, mutu dan manfaat produk-produk tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Salundik,. & Mentayani, I. (2021). Peredaran Obat Tradisional Tanpa Ijin Edar Dalam Perspektif Hukum Pidana. Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai6(1), 39-55, h.52.

Waktu pengawasan oleh petugas Badan POM dilakukan secara berkala yang pelaksanaannya bisa sekali atau lebih dalam tiap bulan. Biasanya Balai POM di tiap daerah provinsi mempunyai data/peta/daftar sarana distribusi dari toko kecil (kios) hingga ritel-ritel besar seperti Carrefour, Hypermart atau Giant, kemudian dibuat perencanaan dalam suatu skala, misalnya sarana distribusi mana saja yang menjadi target untuk pemeriksaan.

Nurhayati, I. (2009). Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap Peredaran Produk Pangan Olahan Impor dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen. Mimbar Hukum21(2), 203-222. DOI:  https://doi.org/10.22146/jmh.16265, h. 210.

Praktik pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM RI dikenal istilah pre market dan post market. Pre market adalah pengawasan yang dilakukan serta penilaian dan pengujian atas mutu keamanan sebelum obat-obatan dan makanan diedarkan. Post market adalah pengawasan yang dilakukan setelah produk diedarkan di masyarakat, antara lain inspeksi sarana produksi dan distribusi, monitoring efek samping, sampling dan uji laboratorium, penilaian dan pengawasan iklan atau promosi, serta penyebaran informasi melalui edukasi masyarakat dan public warning. Sistem pengawasan Obat dan Makanan yang diselenggarakan olah BPOM merupakan suatu proses yang komprehensif, mencakup pengawasan pre-market dan post market. Sistem itu terdiri dari: (1) Standarisasi yang merupakan fungsi penyusunan standar, regulasi, dan kebijakan terkait dengan pengawasan Obat dan Makanan. (2) Penilaian (pre-market evaluation) yang merupakan evaluasi produk sebelum memperoleh nomor izin edar dan akhirnya dapat diproduksi dan diedarkan kepada konsumen. Penilaian dilakukan terpusat dimaksudkan agar produk yang memiliki izin edar berlaku secara nasional. (3) Pengawasan setelah beredar (post market control) untuk melihat konsistensi mutu produk, keamanan dan informasi produk yang dilakukan dengan melakukan sampling terhadap obat dan makanan yang beredar, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat dan makanan serta pengawasan label dan iklan. (4) Pengujian Laboratorium. Produk yang disampling berdasarkan risiko kemudian diuji melalui laboratorium guna mengetahui apakah obat dan makanan tersebut telah memenuhi syarat keamanan, manfaat dan mutu. Hasil uji laboratorium ini merupakan dasar ilmiah yang digunakan untuk menetapkan produk tidak memenuhi syarat yang digunakan untukk ditarik dari peredaran. (5) Penegakan Hukum di bidang pengawasan Obat dan Makanan. Pentingnya izin edar produk kesehatan di era pandemik covid-19, yaitu melegalkan produk kesehatan yang diedarkan di pasaran dan produk yang sudah legal akan mendapatkan kepercayaan konsumen dan pasar. Sementara itu, manfaatnya bagi konsumen yaitu memberikan rasa aman dan nyaman dalam mengkonsumsi produk kesehatan, konsumen dapat memperoleh informasi tentang produk dan terhindar dari segala bentuk kerugian. Dengan demikian instrumen peraturan izin edar produk kesehatan ditujukan sebagai sarana pengawasan untuk setiap produk yang beredar di pasaran dan menjadi sarana untuk memberikan perlindungan kepada konsumen oleh pemerintah. Adapun tindak lanjut yang dilakukan oleh Balai Besar POM Maluku terhadap produsen/penjual produk/alat kesehatan tanpa izin edar yaitu memberikan pembinaan kepada produsen/penjual yang bersangkutan. Hasilnya kemudian dipantau lagi dengan cara membeli produk mereka di swalayan atau toko-toko modern. Jika ternyata masih ada produk tanpa izin edar yang dijual meskipun sudah diperingati, maka akan diberikan peringatan keras karena produk tanpa izin edar berarti belum melalui proses pemeriksaan dan evaluasi dari BPOM sehingga belum dapat dijamin keamanan dan mutu produknya untuk diedarkan.

Hasil Wawancara dengan Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Balai Besar POM Maluku, pada tanggal 16 September 2020.

  1. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku

Berdasarkan hasil wawancara terkait dengan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku Khususnya di bidang perlindungan konsumen dan kemetrologian terhadap produk/alat kesehatan yang beredar di Ambon pada masa pandemik covid-19, maka menurut Kepala Seksi Pengawas Barang dan Jasa Beredar menyatakan bahwa pengawasan oleh Dinas Perdagangan adalah terkait dengan ketersediaan barang. Mekanisme pengawasannya dengan melakukan pemeriksaan berkala di lapangan/tempat produk/alat kesehatan (masker dan hand sanitizer) diperdagangkan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Dinas Perdagangan hanya sebatas pemeriksaan keadaan fisik dari produk kesehatan beredar di pasaran, seperti misalnya pemeriksaan kode registrasi, izin edar, label serta kadaluwarsa yang terdapat pada kemasan produk.

Wawancara dengan Kepala Seksi pengawas barang dan jasa beredar Kota Ambon pada tanggal 18 September 2020.

Dijelaskan pula bahwa untuk keadaan tertentu, Dinas Perdagangan dapat memohon uji laboratorium.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi optimalisasi pengawasan adalah tingkat koordinasi antar lembaga/lnstitusi pengawasan. Dalam penyelenggaran perlindungan konsumen telah diatur perihal dimungkinkannya dilakukan koordinasi antar lembaga yang mendapatkan kewenangan untuk melaksanakan pengawasan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 30 UUPK, bahwa Pengawasan terhadap penyeIenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Untuk pengawasan yang diselenggarakan oleh pemerintah dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait.

Terkait dengan penelitian ini, maka pada prinsipnya kegiatan pengawasan terhadap pelaku usaha tidaklah dimaksudkan untuk mematikan kegiatan usaha dari pelaku usaha, akan tetapi pengawasan dimaksudkan untuk memastikan apakah pelaku usaha dalam menghasilkan dan mendistribusikan produk barang dan/atau jasa telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, konsumen senantiasa terlindungi dari bahaya penggunaan produk barang dan/atau jasa yang ilegal.

2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Peredaran Produk Kesehatan Ilegal di Masa Pandemic Covid-19 di Kota Ambon

Perlindungan Konsumen bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga pelaku usaha ikut andil dalam melindungi konsumen. Disini pemerintah berperan dalam membentuk peraturan dan penegakan hukum melalui berbagai aktivitas pengawasan barang. Namun pelaku usaha juga berperan penting untuk berkomitmen pada aturan perlindungan konsumen. UUPK tidak dapat berjalan hanya dengan mengandalkan peran pemerintah tetapi saatnya pelaku usaha sebagai “sahabat” pemerintah mampu berperan serta dalam menegakkan perlindungan konsumen.

Hijawati, H. (2020). Peredaran Obat Illegal Ditinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen. Solusi18(3), 394-406, h.397.

Seiring dengan perkembangan masyarakat, maka terjadi pula perubahan dalam sikap produsen/pelaku usaha. Oleh karena kualitas konsumen makin meningkat, maka produsen mengubah strategi bisnisnya dan bukan lagi pada product-oriented policy, tetapi menjadi consumer-oriented policy, yaitu kebijakan pemasaran yang didasarkan pada pertimbangan bahwa apa yang dihasilkan oleh produsen harus sesuai dengan tuntutan, kriteria dan kepentingan konsumen. Adagium yang berlaku sekarang bukan lagi caveat emptor, tetapi menjadi caveat venditor atau let the producer beware. Akibatnya ialah dunia bisnis mulai mengenal lembaga product liability yang menganggap produsen langsung bersalah (presumption of fault). Dan berkewajiban memberi ganti rugi kepada konsumen dalam kasus produk cacat (defective product). Berdasarkan prinsip presumption of fault ini, mulailah beban pembuktian dibalik, yaitu tergugatlah yang harus membuktikan tidak ada kesalahan padanya. Namun penggungat masih harus membuktikan adanya perbuatan melanggar hukum dari tergugat, adanya kerugian yang diderita karena perbuatan melanggar hukum itu serta adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melanggar hukum yang dilakukan tergugat dan kerugian yang ditimbulkannya.

Jika dikaitkan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini sehubungan dengan peredaran produk kesehatan ilegal yang tidak memenuhi syarat dan standar yang ditentukan, tidak melalui prosedur yang seharusnya dalam hal perizinan dan memenuhi ketentuan/syarat keamanan, mutu dan kualitas, maka konsumen kesulitan untuk menghadirkan bukti-bukti guna memperkuat gugatannya. Hal ini disebabkan oleh karena produk tersebut adalah produk kesehatan dengan berbagai keunggulannya (secara ekonomis, sosial dan psikologis) di samping kendala untuk membuktikan kesalahan produsen karena ketidaktahuan konsumen terhadap proses produksi mulai dari tahap pembuatan produk sampai pada produk tersebut berada di tangan konsumen. Dengan demikian untuk menjamin keamanan produk kesehatan yang beredar di masa pandemik covid-19 merupakan kewajiban dari pelaku usaha/produsen untuk lebih berhati-hati di dalam memproduksi produk kesehatan.

Hal ini sejalan dengan prinsip due care. Prinsip ini menjelaskan tentang kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan pada gagasan, bahwa karena produsen berada dalam posisi yang lebih menguntungkan, mereka berkewajiban untuk menjamin bahwa kepentingan konsumen tidak dirugikan oleh produk yang mereka tawarkan. Prinsip ini menegaskan bahwa karena konsumen harus bergantung pada keahlian produsen, maka produsen tidak hanya berkewajiban memberikan produk yang sesuai dengan klaim yang dibuatnya, namun juga wajib berhati-hati untuk mencegah agar orang lain tidak terluka oleh produk yang dihasilkan. Prinsip kehati-hatian juga harus dimasukkan dalam desain produk, proses pembuatan, proses kendali mutu yang dipakai untuk menguji dan mengawasi produksi, serta peringatan, label dan instruksi yang ditempelkan pada suatu produk. Pada semua aspek tersebut, menurut prinsip ini, pihak perusahaan (produsen) yang dalam hal ini lebih ahli dan lebih mengetahui produk mereka, memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa produk mereka aman saat keluar pabrik, dan konsumen mempunyai hak untuk memperoleh jaminan ini.

Pieris, J., & Widiarty, W. S. (2007). Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen. Jakarta: Pelangi Cendekia, h.54-55.

Sejak pandemi Covid-19 menjalar ke berbagai negara dunia pada akhir tahun 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan salah satu cara efektif mengatasi penyebaran virus corona adalah dengan memakai masker. Mulanya WHO menyarankan masker hanya dipakai untuk orang sakit. Namun lambat laun seiring perkembangan kasus dan temuan mengenai virus corona, anjuran kebijakan diperbarui. Penggunaan masker kemudian dianjurkan ketika seseorang berada di ruang terbuka atau ruang publik. Hal ini yang memberikan peluang bagi produsen untuk menghasilkan masker dan kemudian diedarkan/dijual bahkan dengan harga yang tidak wajar (tinggi) dan tidak memperhatikan syarat standar keamanan terhadap kesehatan konsumen.

Dalam hal ini, ada saja pelaku usaha yang melakukan tindakan kurang baik dalam usahanya seperti melakukan penimbunan masker, dimana oknum-oknum ini dengan sengaja membeli masker yang banyak sehingga terjadi kelangkaan masker di sekitar, lalu dijual kembali dengan harga yang tinggi. Tindakan ini tentunya melanggar hak-hak konsumen untuk mendapatkan produk dengan harga yang wajar. Karena masker saat ini sangat diperlukan oleh masyarakat untuk digunakan sebagai pencegahan terhadap virus corona, maka barang ini juga dapat dikategorikan sebagai barang yang penting, sehinga masker seharusnya tidak ditimbun oleh oknum-oknum pelaku usaha yang jahat, apalagi saat ini sudah terjadi kelangkaan barang yang mengakibatkan harga melonjak naik. Ada beberapa masker yang memang dijual murah tetapi tidak memenuhi standar kesehatannya, seperti masker kain yang hanya terdapat 1 (satu) lapisan saja, sedangkan pemerintah meminta kepada masyarakat untuk menggunakan masker yang lapisannya ada 3 (tiga) supaya lebih aman dan terlindungi dari paparan virus covid-19.

Dengan adanya hal ini membuat masyarakat berbondong-bondong mencari masker dan membeli sebanyak-banyaknya sehingga menimbulkan panic buying. Akibatnya dengan terpaksa masyarakat harus membeli masker dengan harga yang mahal, tetapi ada juga masyarakat yang kurang mampu tidak bisa membeli. Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen sebagaimana yang telah dituangkan dalam Pasal 4 UUPK.

Anggarani, C. D., & Tampi, M. M. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Harga Masker Yang Melonjak Tinggi Disaat Pandemi Covid-19 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Jurnal Hukum Adigama3(2), 992-1018. h.1014.

Hingga kini di Indonesia sendiri belum ditemukan standar khusus mengenai masker yang efektif dan aman. Satu-satunya panduan mengenai masker medis dan non-medis ini diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan diperbarui pada 5 Juni 2020. Salah satu ketentuan mengenai standar masker non-medis, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Satgas Covid-19 merekomendasikan kain tiga lapis yakni lapisan dalam yang menyerap, lapisan tengah untuk menyaring, dan lapisan luar yang terbuat dari bahan seperti poliester. Penelitian dari Universitas Illinois menemukan tiga lapis kain 100 persen katun sama protektifnya seperti masker bedah atau medis.

CNN Indonesia. (2020). Larangan Masker Scuba Karena Bahan Tipis dan Rawan Longgar. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200918101311-255-547978/larangan-masker-scuba-karena-bahan-tipis-dan-rawan-longgar.

Disamping masker sebagai alat kesehatan untuk mencegah penyebaran covid-19, handsanitizer pun sangat dianjurkan untuk dipakai oleh masyarakat/konsumen ketika beraktifitas di luar rumah. Hand sanitizer mengandung alkohol jenis ethyl alcohol yang berfungsi layaknya antiseptik. Menurut penelitian, kuman di tangan lebih efektif dibasmi dengan hand sanitizer yang memiliki kandungan alkohol sebesar 60-95%.

Noya, A. B. L. (2018). Cuci Tangan: Pakai Air dan Sabun atau Hand Sanitizer?. Alodokter. https://www.alodokter.com/cuci-tangan-pakai-air-dan-sabun-atau-hand-sanitizer.

Sama halnya seperti masker, produk hand sanitizer pun mengalami kelangkaan dan kenaikan harga di pasaran. Melihat fenomena ini, maka Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun membagikan formulasi berbasis alkohol khusus yang bias digunakan untuk meracik hand sanitizer sendiri untuk membunuh kuman atau mikroorganisme berbahaya yang menempel pada tangan. Formulasi hand sanitizer yang dibagikan WHO juga merupakan upaya dalam membantu negara dan semua fasilitas kesehatan guna mencapai perubahan sistem dan mengadpsi hanrub berbasis alkohol sebagai standar kebersihan tangan dalam perawatan kesehatan.

Formulasi pertama untuk menghasilkan hand sanitizer dengan konsentrasi akhir ethanol 80% v/v, gliserol 1,45% v/v, hydrogen peroksida (H2O2) 0,125% v/v. cara pembuatannya yaitu tuangkan etanol 96% v/v sebanyak 833,3 mililiter, H2O2 3% sebanyak 41,7 mililiter, gliserol 98% sebanyak 14,5 mililite ke dalam labu ukur berukuran 1.000 mililiter kemudan isilah labu ukur hingga tepat 1000 mililiter dengan air suling, atau air yang telah direbus dan didinginkan setelah itu kocok labu ukur secara perlahan, hingga semua komponen tercampur rata. Selanjutnya, formulasi kedua untuk menghasilkan konsentrasi akhir isopropil alkohol 75% v / v, gliserol 1,45% v / v, hidrogen peroksida 0,125% v / v. Cara pembuatannya adalah tuangkan : isopropyl alkohol (dengan kemurnian 99,8%) sebanyak 751,5 mililiter, H2O2 3% sebanyak 41,7 mililiter, gliserol 98% sebanyak 14,5 mililiter ke dalam labu ukur berukuran 1.000 mililiter kemudian isi labu ukur hingga tepat 1.000 mililiter dengan air suling atau air yang telah direbus dan didinginkan setelah itu kocok labu secara perlahan, hingga semua komponen tercampur.

Fadly, R. (2020). Begini cara buat hand sanitizer sendiri sesuai formulasi WHO. Halodoc. https://www.halodoc.com/artikel/begini-cara-buat-hand-sanitizer-sendiri-sesuai-formulasi-who.

Jika masyarakat mengikuti dengan benar formulasi dari WHO (termasuk takaran dan peralatan yang dipakai), hand sanitizer buatan sendiri bisa saja cukup efektif untuk digunakan. Namun permasalahannya, sekarang ini banyak juga formula-formula lain yang bertebaran secara daring (online) yang tidak jelas apakah telah lulus uji klinis dan memenuhi standar keamanan atau tidak yang kemudian dipakai sebagai peluang bagi pelaku usaha untuk dijual/diedarkan di pasaran yang bisa saja memberikan dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan pengguna (konsumen).

Tindakan atau perbuatan tersebut diatas memberikan sanksi kepada pelaku usaha terhadap peredaran produk kesehatan Illegal di masa pandemi covid 19 diatur dalam Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu sebagaimana diatur dalam Pasal 98 Ayat 2 dan Ayat 3 dipidana dengan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Disamping itu juga melanggar Pasal 62 Ayat 1 Jo. Pasal 8 Ayat 1 huruf d dan e UUPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

D. P E N U T U P

Hak konsumen atas Kesehatan sebagai salah satu hak yang paling mendasar, karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidup manusia, baik dipandang dari segi kuantitas dan kualitasnya. Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan produk/alat kesehatan yang cukup, aman, bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat selaku konsumen sebagai bentuk perlindungan hukum. BPOM, Dinkes dan Disperindag dalam melakukan perlindungan terhadap peredaran alat kesehatan ini telah melakukan tugas dan fungsi pengawasan mulai dari sebelum beredar sampai dengan beredarnya di pasaran. Namun perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah ini tidak akan terwujud, apabila masyarakat dalam hal ini konsumen alat kesehatan tidak mematuhi saran-saran yang dipatuhi oleh pemerintah yaitu dengan mengecek kemasan dan izin edar sebelum membeli alat-alat kesehatan (masker dan handsanitizer) tersebut. Disamping itu produsen/penjual juga bertanggung jawab terhadap produk kesehatan ilegal yang tidak memenuhi syarat dan standar keamanan dan kesehatan konsumen yang beredar di pasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

  1. Agustina, M. (2020). Persaingan Usaha Tidak Sehat Antar Online Shop Dalam Kondisi Covid-19 Terhadap Kebijakan Yang Dikeluarkan Oleh Presiden. Res Judicata3(1), 15-25, DOI: http://dx.doi.org/10.29406/rj.v3i1.2059.
  2. Anggarani, C. D., & Tampi, M. M. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Harga Masker Yang Melonjak Tinggi Disaat Pandemi Covid-19 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Jurnal Hukum Adigama3(2), 992-1018.
  3. Hariandja, T. R. (2013). Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Kesehatan di Kabupaten Jember. JURNAL RECHTENS2(2), 91-102.
  4. Hijawati, H. (2020). Peredaran Obat Illegal Ditinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen. Solusi18(3), 394-406.
  5. Kunarso, K., & Sumaryanto, A. D. (2020). Eksistensi Perjanjian Ditengah Pandemi Covid-19. Batulis Civil Law Review1(1), 33-46. DOI: https://doi.org/10.47268/ballrev.v1i1.423.
  6. Nurhayati, I. (2009). Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap Peredaran Produk Pangan Olahan Impor dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen. Mimbar Hukum21(2), 203-222. DOI:  https://doi.org/10.22146/jmh.16265.
  7. Pande, N. P. J. (2017). Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Kosmetik Impor Yang Tidak Terdaftar Di BBPOM Denpasar. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal)6(1), 13-22.
  8. Pesulima, T. L., & Hetharie, Y. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan Kerja Bagi Tenaga Kesehatan Akibat Pandemi Covid-19. Sasi26(2), 280-285. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v26i2.307.
  9. Salundik,. & Mentayani, I. (2021). Peredaran Obat Tradisional Tanpa Ijin Edar Dalam Perspektif Hukum Pidana. Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai6(1), 39-55.
  10. Saputri, O. B., & Huda, N. (2020). Pengaruh Informasi Covid-19 Melalui Media Sosial Terhadap Perilaku Konsumen. HUMAN FALAH: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam2(7).
  11. Zuhaid, M. A. N., Turisno, B. E., & Suharto, R. (2016). Perlindungan konsumen terhadap peredaran obat tanpa izin edar yang dijual secara online di Indonesia. Diponegoro Law Journal5(3), 1-12.

Buku

  1. Hadari, N. (1995). Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur Pemerintah. Jakarta: Erlangga.
  2. Irianto, S. (2009). Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya” dalam Sulistiyowati Irianto dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor.
  3. Labetubun, M. A. H. (2020). Aspek Hukum Perdata dalam Kesehatan. In Etika Profesi & Aspek Hukum Bidang Kesehatan (pp. 180–211). Bandung: Widina Bhakti Persada Bandung.
  4. Philipus, M. H. (1987). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.
  5. Pieris, J., & Widiarty, W. S. (2007). Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen. Jakarta: Pelangi Cendekia.

Skripsi, Tesis, Disertasi dan Lain-Lain

  1. Abbas, N. (2002). Tanggung Jawab Produk Terhadap Konsumen dan Implementasinya Pada Produk Pangan. Makasar: Unversitas Hasanuddin.
  2. Geme, M. T. (2012). Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Hukum Adat Dalam Pengelolaan Cagar Alam Watu Ata Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.

Online/World Wide Web

  1. CNN Indonesia. (2020). Larangan Masker Scuba Karena Bahan Tipis dan Rawan Longgar. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200918101311-255-547978/larangan-masker-scuba-karena-bahan-tipis-dan-rawan-longgar.
  2. Fadly, R. (2020). Begini cara buat hand sanitizer sendiri sesuai formulasi WHO. Halodoc. https://www.halodoc.com/artikel/begini-cara-buat-hand-sanitizer-sendiri-sesuai-formulasi-who.
  3. Noya, A. B. L. (2018). Cuci Tangan: Pakai Air dan Sabun atau Hand Sanitizer?. Alodokter. https://www.alodokter.com/cuci-tangan-pakai-air-dan-sabun-atau-hand-sanitizer.
  4. Suryahadi, A. (2020). Ini perubahan perilaku konsumen Indonesia saat pandemi corona. KONTAN.CO.ID. https://nasional.kontan.co.id/news/ini-perubahan-perilaku-konsumen-indonesia-saat-pandemi-corona.

Competing interests
Conflicts

conf1The author declare that no competing interests exist.

References


Copyright (c) 2021 Theresia Louize Pesulima, Jenny Kristiana Matuankotta, Sarah Selfina Kuahaty

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.

 

Cited-By:

 

1. The Agreement of Personal Shopping Service through E-Commerce Platforms: A Case Study of Consumer Protection
Agussalim A. Gadjong
SIGn Jurnal Hukum  vol: 4  issue: 2  first page: 388  year: 2023  
Type: Journal [View Source]

 

2. Perlindungan Hukum terhadap Hak Kepemilikan Objek Jaminan Fidusia yang telah dialihkan Tanpa sepengetahuan Kreditur
Semuel Willem Simaela, Jenny Kristiana Matuankotta, Sarah Selfina Kuahaty
TATOHI: Jurnal Ilmu Hukum  vol: 3  issue: 2  first page: 140  year: 2023  
Type: Journal [View Source]

 

3. Perlindungan Konsumen Terkait Keterlambatan Pembayaran Tagihan Listrik Di Masa Pandemi Covid-19
Sarmila Walalayo, Merry Tjoanda, Muchtar Anshary Hamid Labetubun
TATOHI: Jurnal Ilmu Hukum  vol: 3  issue: 8  first page: 794  year: 2023  
Type: Journal [View Source]