|
S A S I Volume 26
Nomor 4, Oktober -
Desember
2020 : h.
540
- 556 p-ISSN: 1693-0061 | e-ISSN: 2614-2961 Jurnal Terakreditasi Nasional, SK. No. 28/E/KPT/2019 This is open access article under the CC-BY-NC 4.0 International License |
Penegakan Yurisdiksi Internasional Criminal Court atas Kejahatan
Agresi Pasca Kampala Amendements Diadopsi dalam Rome Statute
Apripari Irham
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia
E-mail: apripari18001@mail.unpad.ac.id
Dikirim: 19/02/2020 |
Direvisi: 15/10/2020 |
Dipublikasi: 30/12/2020 |
||
Info Artikel |
|
Abstract |
||
Keywords: Jurisdiction of Internasional Criminal Court; Crimes of
Aggeession; Kampala Amendments. |
|
Until the entry into force of the Rome Statute, the definition of the
crime of aggression was not also found in it. This leaves the International
Criminal Court (ICC) without jurisdiction over crimes of aggression. The
absence of ICC jurisdiction over crimes of aggression has resulted in
military aggression that has not been processed by the ICC during the time
when the proxy war / cold war was initiated. This means that the violation of
delicto jus gentium juice is allowed even after the ICC has been established.
This study aims: (1) to identify and identify the definition, limitations,
and jurisdiction of the ICC for crimes of aggression; and (2) to determine
the enforcement of ICC jurisdiction over crimes of aggression after the
Kampala Amendments were adopted into the Rome Statute. The research method
uses a type of normative research with a statutory approach and a historical
approach. The results show that the ICC's definition, limitations, and
jurisdiction over the crime of aggression have existed in the Rome Statute
since Kampala Amendments were adopted into the Rome Statute. However, until
now the enforcement of the ICC's jurisdiction over crimes of aggression has
not been carried out concretely. |
||
|
|
Abstrak |
||
Kata
Kunci: Yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional; Kejahatan Agresi; Amandemen Kampala. |
|
Hingga berlakunya Statuta Roma, definisi kejahatan
agresi tidak juga ditemukan di dalamnya. Hal ini menyebabkan International
Criminal Court (ICC) tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan agresi.
Tidak adanya yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi telah mengakibatkan agresi
militer yang pernah berlangsung dalam kurun waktu dimulainya proxy war
/cold war tidak diproses oleh ICC. Keadaan demikian berarti
pelanggaran terhadap delicto jus gentium dibiarkan sekalipun ICC telah
dibentuk. Penelitian ini bertujuan: (1) untuk mengetahui dan mengidentifikasi
defenisi, batasan serta yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi; dan (2) untuk
mengetahui penegakan yursidiksi ICC atas kejahatan agresi pasca Kampala
Amendments diadopsi ke dalam Statuta Roma. Metode penelitian menggunakan
jenis penelitian normatif dengan pendekatan statuta dan pendekatan historis.
Hasil penelitian menunjukan definisi, batasan serta yurisdiksi ICC atas
kejahatan agresi telah ada dalam Statuta Roma sejak Kampala Amendments
di adopsi ke dalam Statuta Roma. Namun, hingga saat ini penegakan yurisdiksi
ICC atas kejahatan agresi belum terlaksana secara konkret. |
||
DOI: |
|
|||
A. PENDAHULUAN
Negara
dalam kapasitasnya sebagai salah satu subjek hukum internasional memiliki hak
dan kewajiban yang berkaitan dengan kedaulatan. Negara bebas dan merdeka untuk
menjalankan hak kedaulatannya secara penuh tetapi juga berkewajiban
memperhatikan batas-batasnya untuk tidak menjalankan kedaulatannya di wilayah negara
lain.[1]
Pada masa tahun 1920-an telah tampak adanya upaya
pembentukan Mahkamah Pidana Internasional terutama setelah terbentuknya Liga
Bangsa-Bangsa (LBB). Upaya tersebut berasal dari sejumlah ahli hukum terkemuka
seperti Vespasien Pella, Donnedieu de Vebres, Quintiliano Saldana, Megalos
Ciloyanni dan Rafaele Garofalo. Dukungan atas upaya tersebut juga berdatangan
dari perkumpulan masyarakat internasional seperti, The Internasional Law
Association, The American Society of Internasional Law, dan The
International Parliamentary Union.[2]
Upaya-upaya
dari ahli hukum dan beberapa perkumpulan masyarakat internasional tidak hanya
menjadi sebuah harapan tetapi dapat direalisasikan. Hal tersebut dapat dilihat
dalam kurun waktu 50 tahun terakhir telah dibentuk empat mahkamah internasional
yang bersifat ad hoc, yang terdiri
dari:[3]
Pertama, pembentukan mahkamah kejahatan internasional pasca Perang Dunia Kedua
usai, yaitu International Military
Tribunal (IMT) atau dikenal sebagai Nuremberg
Tribunal pada tahun 1945 dan International
Military Tribunal for the Far East (IMTFE) pada 1946; Kedua, pembentukan
mahkamah kejahatan internasional setelah perang dingin, yaitu International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia (ICTY) dan International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).
Empat
mahkamah ad hoc yang dibentuk
tersebut memberikan dasar yang positif dan negatif bagi terbentuknya Mahkamah
Pidana Internasional yang bersifat permanen (Internasional Criminal Court,
ICC). Dasar-dasar tersebut seperti ditemukannya definisi kejahatan tertentu dan
kritik-kritik dalam pelaksanaan yurisdiksi oleh mahkamah ad hoc. IMT
dikritik sebab tidak mengadili seluruh pelaku kejahatan yang merupakan pimpinan
NAZI pada Perang Dunia II, bahkan kebebasan dari hukuman yang mestinya diterima
oleh mereka tersebut nampak merupakan suatu balas jasa atas apa yang telah
mereka lakukan sehingga mereka mendapatkan pengampunan atas kejahatan mereka
tersebut.[4]
Di samping itu, IMT juga dikritik sebagai Mahkamah bagi pemenang perang (victor’s justice) karena semua jaksa dan
hakim berasal dari sekutu, bukan dari negara netral. Semua terdakwa dan
pembelanya berasal dari Jerman, dan mereka mendapat fasilitas yang sangat
terbatas dalam mempersiapkan kasus-kasus mereka serta mendapatkan pemberitahuan
mengenai bukti-bukti penuntutan.[5]
Namun demikian, IMT sangat berarti bagi penegakkan hak asasi manusia
internasional karena telah meletakkan prinsip-prinsip dasar pertanggungjawaban
pidana secara individu (yang tertuang dalam Piagam Nuremberg/Nuremberg
Principle). Selain itu, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur
dalam Pasal 6(c) Piagam Nuremberg, belum pernah ditemukan dalam
Konvensi-Konvensi sebelumnya. Mahkamah ini juga secara tegas menolak prinsip
‘impunitas kedaulatan negara’ seperti yang tertuang dalam pasal 7 Piagam
Nuremberg.[6]
Tidak
berbeda jauh dengan IMT, IMTF juga dikritik sebagai mahkamah victor’s justice sebab Jepang tidak
diizinkan untuk membawa AS ke hadapan Mahkamah Tokyo atas tindakan pemboman
Hiroshima dan Nagasaki yang dilakukan AS, dan Jepang juga tidak diizinkan untuk
mengadili Uni Soviet atas pelanggarannya terhadap perjanjian kenetralan tanggal
13 April 1941.[7]
Selain itu praktik impunitas juga sangat jelas terjadi dalam Mahkamah ini
ketika Amerika Serikat memutuskan untuk tidak membawa Kaisar Hirohito ke meja
pengadilan, tapi justru melanggengkan kedudukannya dalam Kekaisaran Jepang.[8]
ICTY
dikritik sebab banyak kalangan yang menganggap bahwa mahkamah ini hanyalah
kebetulan belaka mengingat berbagai kegagalan diplomasi dan sanksi serta
penolakan PBB untuk mengorbankan tentara keamanannya melalui intervensi
bersenjata membuat mahkamah terhadap penjahat perang sebagai alat satu-satunya
untuk menyelamatkan muka PBB.[9]
Mahkamah ini juga dikritik mempraktikkan selective
justice (keadilan yang selektif) sebab hanya mendirikan Mahkamah untuk
mengadili kejahatan yang dilakukan di negara-negara tertentu, serta Mahkamah
ini jelas berdasarkan pada anti-Serbian
bias.[10]
Selain itu, Mahkamah ini juga tidak mengadili angkatan bersenjata NATO yang
ikut melakukan pemboman di Negara bekas Yugoslavia. Padahal, sangatlah jelas
serangan udara yang dilakukan NATO terhadap Kosovo seharusnya menuntut
pertanggungjawaban para pemimpin NATO atas pilihan target pemboman yang mereka
lakukan karena jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum perang.[11]
Sama halnya
dengan ICTY, kritikan bahwa Mahkamah mempraktikkan selective justice juga ditujukan kepada PBB ketika Dewan
Keamanannya mendirikan ICTR.[12]
Banyak kalangan menilai, ICTY dan ICTR ini hanyalah Mahkamah Internasional yang
didirikan dengan alasan yang sangat politis, dan berdasarkan prinsip yang
abstrak dan tidak jelas dan itu jauh lebih kejam bila dibandingkan dengan
segala jenis kejahatan yang dituduhkan kepada Milosevic.[13]
Kritikan-kritikan
yang disematkan ke seluruh Mahkamah ad
hoc tersebut merupakan salah satu sebab yang
mendorong harapan untuk segera dibentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang
bersifat permanen dan tentunya untuk dapat meminimalisir praktik-praktik
seperti selective justice. Pada
akhirnya, harapan tersebut tercapai di mana pada tanggal 17 Juli 1998 dengan
120 Negara dalam United Nations
Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an
International Criminal Court sepakat untuk mengesahkan Statuta Roma yang
merupakan statuta dari ICC.
Transnasional
atau lintas negara mengakibatkan timbulnya permasalahan hukum suatu negara
dengan negara lain yang memerlukan penanganan melalui hubungan baik berdasarkan
hukum di masing-masing negara[14]. Pembentukan ICC merupakan perwujudan dari international criminal policy atau suatu
usaha-usaha rasional dari negara-negara di dunia untuk secara bersama-sama
menanggulangi four core crimes yang merupakan pelanggaran terhadap delicto jus gentium. Policy tersebut diperlukan sebab
pelanggaran-pelanggaran tersebut memiliki unsur-unsur (elements), yaitu: pertama, direct
threat to world peace and security (ancaman secara langsung atas perdamaian
dan keamanan di dunia); kedua, indirect
threat to world peace and security (ancaman secara tidak langsung terhadap
perdamaian dan keamanan di dunia); ketiga, “shocking”
to the conscience of humanity
(menggoyahkan perasaan kemanusiaan); keempat, conduct affecting more than one State (tindakan yang memiliki
dampak terhadap lebih dari satu Negara); kelima, conduct including or affecting citizens of more than one state (tindakan
yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga Negara dari lebih satu
Negara); dan keenam, means and methods
transcend national boundaries (sarana dan prasarana serta metode-metode
yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu Negara).[15]
Four core crimes sendiri merupakan empat tindak pidana internasional
yang terdiri dari kejahatan genosida (the crimes of genocide), kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war
crimes) dan kejahatan agresi (the crimes of aggression).[16]
Keempat kejahatan tersebut sering pula disebut sebagai international crimes
stricto sensu.
Dalam usaha
pembentukan ICC, konsep kejahatan agresi merupakan salah satu hal yang dibahas
dalam waktu yang sangat panjang. Hal ini dapat dilihat hingga berlakunya
Statuta Roma, di dalamnya tidak juga ditemukan definisi agresi. Keterlambatan
dalam menuangkan definisi kejahatan agresi telah menyebabkan beberapa masalah. Pertama, tidak seperti kejahatan
internasional substantif lainnya, agresi merupakan suatu kejahatan
‘kepemimpinan’ dan tentu saja harus ditentukan sebagai titik awalnya bahwa
negara tersebut, di mana terdakwa menjadi ‘pemimpin’ dalam kapasitas tertentu,
telah melakukan agresi. Proposisi ini berbeda sepenuhnya dari pendirian tentang
tanggung jawab individu atas genosida, kejahatan perang atau kejahatan terhadap
kemanusiaan. Juga tidak jelas perbedaan apa yang mungkin ada di antara tindakan
agresi negara dan kejahatan agresi individu.
Kedua, Pasal 5 (2) Statuta
Roma menyatakan bahwa syarat pelaksanaan yurisdiksi Pengadilan harus selaras
dengan ketentuan relevan dalam Charter of the United Nations (Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa/Piagam PBB). Seperti diketahui, Dewan Keamanan (DK PBB) memiliki
kompetensi berdasarkan Bab VII Piagam PBB untuk menentukan apakah suatu
tindakan agresi telah terjadi dan berpendapat bahwa perlu ada penentuan oleh
Dewan sebelum pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksi terkait tanggung jawab
individu atas agresi. Hal ini telah menjadi bahan perdebatan. Namun, pertanyaan
tentang hubungan antara kompetensi masing-masing Dewan dan Pengadilan tidak
terjawab. [17]
Benjamin B. Ferenczs[18]
melihat ada empat skenario yang dihadapi oleh masyarakat internasional akibat
tidak dimasukkannya definisi dan batasan-batasan dari kejahatan agresi pada
Statuta Roma. Pertama, melihat tidak
adanya kesepakatan mengenai kejahatan agresi atau aturan dari Dewan Keamanan
PBB maka ICC tidak akan memiliki yurisdiksi atas kejahatan agresi. Kedua, dengan tidak adanya yurisdiksi
ICC, para agresor masih tetap dapat dituntut oleh si pemenang yang dapat
mengalahkan si agresor atau oleh suatu pemerintahan yang baru. Ketiga, suatu Mahkamah Ad-Hoc masih dapat dibentuk oleh Dewan
Keamanan PBB kepada agresor. Terakhir,
ICC dapat menjalankan yurisdiksinya atas kejahatan agresi berdasarkan Statuta
Roma. Dengan demikian, apabila melihat skenario terakhir, tetap ada harapan
yang realistis untuk memasukkan definisi dan batasan-batasan dari kejahatan
agresi sehingga dapat dijangkau oleh yurisdiksi ICC.
Melihat realita pengaturan kejahatan
agresi pada Statuta Roma tersebut, tidak mengherankan apabila tindak kejahatan
agresi yang terjadi di dunia pasca perang dunia dua atau lebih tepatnya dalam
kurun waktu dimulainya proxy war/cold
war tidak diproses oleh ICC. Seperti
agresi militer yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) ke Irak dengan dalih
untuk menangkap Sadam Hussein, Presiden Irak, yang dianggap sebagai penjahat
perang dan anggapan adanya indikasi Irak menyimpan senjata pemusnah masal.[19]
Agresi militer AS terhadap Irak tersebut terjadi pada tahun 2003 di mana
Statuta Roma masih belum memasukkan definisi dan batasan-batasan yang jelas
terkait kejahatan agresi sehingga menjadikan pimpinan AS kala itu tidak diseret
ke ICC atas dasar dugaan telah melakukan kejahatan agresi di Irak.
Sisi kelam
dari realita ini adalah apabila keadaan di mana kejahatan agresi akan tetap
dibiarkan berlangsung tanpa ada sanksi yang tegas kepada individu yang
bertanggung jawab atas agresi tersebut, maka dapat dikatakan usaha-usaha
rasional dari negara-negara di dunia untuk secara bersama-sama menanggulangi four
core crimes atau international criminal stricto sensu tidak
sepenuhnya dapat dilakukan. Dan terlebih lagi bahwa dengan keadaan demikian
berati pelanggaran terhadap delicto jus gentium terus terjadi sekalipun
ICC telah dibentuk. Sementara sisi terangnya, perlu diketahui, bahwa pada tahun
2010, pembahasan mengenai definisi dan batasan-batasan terkait kejahatan agresi
yang dituangkan dalam Kampala Amendments telah diadopsi ke dalam Statuta
Roma. Untuk itu, tulisan ini akan membahas tentang bagaimana definisi,
batasan-batasan serta penegakkan Yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi pasca
adopsi Kampala Amendments ke dalam Statuta Roma dilakukan
B.
METODE
PENELITIAN
Artikel ini disusun dengan menggunakan jenis penelitian
hukum normatif atau disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi
dokumen. Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan statuta (statute
approach) dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan
historis digunakan untuk melihat perkembangan kelembagaan ICC beserta
aturan-aturan terkait dengan kejahatan agresi. Adapun pendekatan pendekatan
statuta digunakan untuk melihat pengaturan aktual kejahatan agresi.
Selanjutnya, pengumulan bahan hukum dalam artikel ini dilkukan dengan studi
kepustakaan. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif.
C.
PEMBAHASAN
1.
Yurisdiksi Internasional Criminal
Court
Pada
dasarnya Yurisdiksi ICC terbagi menjadi empat yang terdiri dari teritorial jursidiction (ratione loci), material jursidiction (rationae materiae),
temporal jurisdiction (ratione temporis), dan personal jursdiciton (ratiionae personae). Territorial jurisdiction berarti yurisdiksi ICC hanya berlaku dalam wilayah
negara pihak, yurisdiksi juga diperluas bagi kapal atau pesawat terbang yang
terdaftar di Negara pihak, dan dalam wilayah bukan Negara Pihak yang mengakui
yurisdiksi ICC berdasarkan deklarasi Ad
Hoc.[20]
Material jurisdiction berarti
kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC terdiri dari kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang, genosida dan kejahatan agresi.[21]
Temporal jurisdiction berarti ICC
baru memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang diatur dalam Statuta setelah
Statuta Roma berlaku yakni 1 Juli 2002.[22]
Personal jurisdiction berarti ICC
memiliki yurisdiksi atas orang (natural
person), di mana pelaku kejahatan dalam yurisdiksi ICC harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individu (individual criminal responsibility), termasuk pejabat pemerintahan,
komandan baik militer maupun sipil.[23]
Terkait
dengan material jurisdiction, Pasal 5
(1) Statuta Roma telah menegaskan, yurisdiksi pengadilan pidana internasional
terbatas pada empat bentuk international
crimes, yaitu: (1) The crime of
genocide (genosida); (2) Crimes
against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan); (3) War crimes (kejahatan perang); dan (4) The crimes of aggresion (kejahatan agresi). Keempat bentuk
kejahatan tersebut merupakan bentuk-bentuk international
crimes dalam pengertian stricto sensu.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, international
crimes stricto sensu adalah kejahatan internasional dalam arti sempit,
yaitu kejahatan-kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari pengadilan pidana
internasional.[24]
Dari
keempat international criminal stricto
sensu, sejak berlaku efektifnya Statuta Roma, hanya tiga di antaranya yang
sudah terdefinisi secara jelas dalam Pasal 6, 7 dan 8 Statuta Roma, yaitu
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Kejahatan
agresi tidak terdefinisi secara jelas di dalam Statuta Roma.
Kejahatan
agresi dirujuk dalam Pasal 5 Statuta ICC, tetapi tidak dalam instrumen lain
semacamnya. Memang, Pasal 5 (2) mengatur bahwa pengadilan tidak dapat
menjalankan yurisdiksi atas kejahatan agresi sampai diadopsi sebuah ketentuan
yang mendefinisikan kejahatan tersebut dan menetapkan kondisi di mana
Pengadilan bisa menjalankan yurisdiksi mengenainya.
Kejahatan
yang menjadi yurisdiksi ICC pertama adalah genosida, yaitu sebagai salah satu
atau lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras atau agama
seperti:[25]
1)
Membunuh
anggota kelompok
2)
Menyebabkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok
3)
Sengaja
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruhnya atau sebagian.
4)
Memaksa
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam suatu kelompok
5)
Memindahkan
secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya.
Selanjutnya
statuta menjelaskan definisi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah
satu atau lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai
bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang langsung ditujukan
terhadap pendudukan sipil, seperti:[26]
1)
Pembunuhan
2)
Pembasmian
3)
Pembudakan
4)
Deportasi
atau pemindahan pendudukan secara paksa
5)
Pengurangan
atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan melanggar
aturan-aturan dasar hukum internasional
6)
Penyiksaan
7)
Pemerkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, sterilisasi
secara paksa atau berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya
8)
Penindasan
terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu kelompok politik, ras,
bangsa, etnis, kebudayaan, agama, jender atau jenis kelamin, sebagaimana
dijelaskan dalam ayat (3) atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara
unibversal tidak diperbolehkan dalam hukum internasional sehubungan perbuatan
yang diatur dalam ayat ini atau tindak pidana dalam yurisdiksi mahkamah
9)
Penghilangan
orang secara paksa
10) Tindak pidana rasial (apartheid)
11)
Perbuatan
tidak manusiawi lainnya yang serupa, yang dengan sengaja mengakibatkan
penderitaan yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik
seseorang.
Selanjutnya,
Tindak pidana internasional yang termasuk dalam kejahatan luar biasa adalah
kejahatan perang di mana merupakan tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari
rencana atau kebijakan atau bagian dari skala besar perintah untuk melakukan
tindakan pidana tersebut. Tindakan pidana ini termasuk:[27]
1)
Pelanggaran-pelanggaran
berat terhadap konvensi-konvensi Jeneva 12 Agustus 1949 yaitu
perbuatan-perbuatan terhadap orang atau harta benda yang dilindungi oleh
ketentuan-ketentuan dari konvensi yang relevan
2)
Pelanggaran-pelanggaran
serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik
bersenjata internasional dalam kerangka hukum internasional
3)
Pelanggaran-pelanggaran
serius terhadap Pasal 13 yang berlaku bagi keempat konvensi Jeneva dalam
sengketa yang bukan bersifat internasional.
2.
Perkembangan Definisi Kejahatan Agresi
Pengertian agresi memang sangatlah krusial dan kompleks. Secara historis,
agresi sudah berulang kali
dirumuskan definisinya secara tepat namun belum juga terlaksana. Tercatat sejak
League of Nations (Liga
Bangsa-Bangsa/LBB) lahir, agresi
sudah menjadi perhatian utama. Hal ini diketahui karena terdapat pula agresi
dalam Kovenan LBB, sebagaimana berikut:[28]
“The Members of the League undertake to
respect and preserve as against external aggression the territorial integrity
and existing political independence of all Members of the League. In case of
any such aggression or in case of any threat or danger of such aggression the
Council shall advise upon the means by which this obligation shall be fulfilled”. (Anggota LBB berusaha untuk menghormati dan
melindungi timbulnya agresi dari luar, keutuhan wilayah dan kemerdekaan politik
dari semua anggota LBB. Jika dalam hal agresi semacam itu terjadi dan dalam hal
terjadinya ancaman bahaya dari agresi tersebut, maka Dewan LBB akan menyarankan
dengan cara-cara di mana kewajiban itu dapat dicapai.)
Namun demikian, definisi agresi dalam kovenan tersebut masih dianggap
sumir. Oleh karena itu dalam perkembangannya, pengertian tentang agresi ini
dibahas pula dalam Perjanjian Briand dan Kallog tahun 1928 atau yang sering
disebut dengan Paris Pact. Akan
tetapi, dalam Paris Pact ini Amerika
Serikat menganggap pemberian definisi ini tidak praktis karena tidak dapat
memasukkan semua elemen dan memungkinkan bagi agresor untuk menggunakan
definisi kepentingannya sendiri. Dari pakta ini terlihat bahwa penolakan
terhadap perang sangatlah penting untuk dilakukan. Pakta tersebut menegaskan
bahwa:[29]
“ ...their
respective peoples that they condemn recourse to war for the solution of
international controversies, and renounce it, as an instrument of national
policy in their relations with one another”. (.... Jalan lain menuju peperangan bagi penyelesaian
perselisihan-perselisihan internasional dan penolakan hal itu sebagai instrumen
dari kebijakan nasional dalam hubungannya dengan yang lain merupakan tindakan
yang dikutuk.)
Definisi agresi selanjutnya terdapat dalam ‘Konvensi tentang Definisi
Agresi’ yang ditandatangani pada tahun 1933 di London yang memberikan definisi
agresi yaitu:[30]
(1) Pernyataan perang terhadap negara lain.
(2) Melakukan invasi dengan kekuatan senjata
bahkan sekalipun tanpa adanya pernyataan perang terhadap wilayah suatu negara
(3) Suatu serangan melalui darat, laut dan udara
terhadap wilayah, kapal laut dan kapal terbang negara lain.
(4) Melakukan blokade laut di pantai atau
pelabuhan negara
(5)
Pemberian
bantuan terhadap gerombolan senjata yang dibentuk di wilayah negara lain.
Pada 26 Juni 1945 di San Fransisco di tandatangani Piagam
PBB. Di dalamnya, “agresi” disebutkan pada Bab VII yang menyatakan bukan saja
agresi tetapi adanya pelanggaran dan ancaman terhadap perdamaian. Namun, Bab
VII sebenarnya berbicara tentang sanksi terhadap suatu negara yang melakukan
agresi (agresor) dan sebelum mengambil tindakan sesuai dengan Pasal 39-51 yang
termuat dalam Bab VII tersebut. Dewan Keamanan pertama-tama haruslah memutuskan
bahwa dalam suatu situasi dan konflik memang terjadi ancaman perdamaian,
pelanggaran perdamaian atau tindak agresi. Sehubungan dengan hal tersebut,
penting sekali bagi Dewan Keamanan untuk mengetahui arti dan definisi dari
agresi.[31]
Berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan memiliki kompetensi untuk
menentukan apakah suatu tindakan agresi telah terjadi dan berpendapat bahwa
perlu ada penentuan oleh Dewan sebelum pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksi
terkait tanggung jawab individu atas agresi. Hal ini telah menjadi bahan
perdebatan. Namun, pertanyaan tentang hubungan antara kompetensi masing-masing
Dewan dan Pengadilan tidak terjawab.[32]
Selanjutnya, dalam the London Agreement tanggal 8 Agustus 1945, yang menjadi dasar
terbentuknya IMT, pada Paragraph a Article
6 atas larangan agresi yang
menimbulkan pertanggung jawaban individual, berbunyi:[33]
“ Crimes against Peace: namely, planning, preparation,
initiation or waging of wars of aggression, or
a war in violation of international treaties, agreements or assurances, or
participation in a common plan or conspiracy for the accomplishment of any of
the foregoing” (Kejahatan terhadap Perdamaian: yaitu,
perencanaan, persiapan, inisiasi atau melancarkan perang agresi, atau perang
yang melanggar perjanjian kesepakatan atau jaminan internasional, atau
partisipasi dalam rencana umum atau konspirasi untuk pemenuhan dari salah satu
di atas).
Setelah perjuangan selama 21 tahun oleh para
ahli hukum dan ahli politik, akhirnya definisi agresi ini mulai menemukan titik
terang. Berawal dari komite khusus yang dibentuk PBB untuk merumuskannya,
tercapailah kesepakatan definisi agresi yang terdiri dari 8 Pasal di mana
definisi ini pada akhirnya disetujui dengan aklamasi oleh Majelis Umum PBB
dalam sidangnya tertanggal 14 Desember 1974 dan dituangkan dalam Resolusi
Majelis Umum 3314 (XXIX).
Pada Pasal
1 menyebutkan bahwasanya “agresi adalah penggunaan pasukan bersenjata oleh
suatu negara terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik
dari negara lain, atau dengan cara-cara lain apa pun yang bertentangan dengan
Piagam PBB.”. Dalam agresi tidak mempersoalkan istilah negara dalam pengakuan
atau apakah negara itu merupakan anggota PBB atau tidak. Syarat negara yang
tercantum dalam Konvensi Montevideo 1933 yakni populasi penduduk, wilayah,
pemerintahan menjadi atribut pokok atau esensial
attribute dalam negara. Namun
persoalan selebihnya yaitu kewenangan berhubungan dengan negara lain.
Pasal 2
berbicara mengenai “penggunaan pasukan bersenjata yang pertama dilakukan oleh
suatu negara, tidak sesuai dengan piagam, akan merupakan bukti prime factie dari suatu tindak agresi,
meskipun Dewan Keamanan menurut Piagam dapat menentukan bahwa suatu tindak
agresi yang dilakukan tidaklah dibenarkan.” Kemudian Pasal 3 membahas mengenai
“setiap tindakan yang tersebut di bawah ini tanpa memandang adanya pernyataan
perang sesuai Pasal 2 di atas dianggap sebagai tindakan agresi:
a)
Invasi
atau serangan yang dilakukan oleh pasukan bersenjata dari suatu negara ke
wilayah negara lainnya atau sebagian dari wilayah itu.
b)
Pemboman
oleh pasukan bersenjata dari suatu negara apa pun oleh suatu negara terhadap
wilayah negara lain
c)
Blokade
di pelabuhan atau negara pantai dari suatu negara oleh pasukan bersenjata dari
negara lain
d)
Suatu
serangan oleh pasukan bersenjata dari suatu negara dengan angkatan darat, laut
dan udara, marine di lapangan terbang negara lain
e)
Penggunaan
pasukan bersenjata dari suatu negara yang berada di wilayah negara lain.
f)
Tindakan
dari suatu negara untuk mengizinkan di wilayahnya atas perintah negara lain,
digunakan oleh negara lain untuk melakukan suatu tindakan agresi terhadap
negara ketiga.
g)
Pengiriman
oleh, atas nama negara suatu negara, kelompok atau gerombolan orang bersenjata,
pasukan sewaan yang melakukan tindak-tindakan dengan kekuatan senjata terhadap
negara lain dengan suatu gravitasi agar dapat memperkuat tindakan-tindakan
seperti tersebut di atas atau keterlibatannya secara substansial di dalamnya.
Pasal 4
menyatakan “tindakan-tindakan yang telah diuraikan di atas belum berarti
mencakup keseluruhannya dan DK-PBB bisa saja menentukan bahwa tindakan-tindakan
lainnya sesuai dengan ketentuan Piagam PBB.” Dan Pasal 5 lebih lanjut
menyatakan “tidak ada pertimbangan mengenai sifat apa pun baik politik, ekonomi,
militer atau lainnya yang dapat dijadikan sebagai alasan pembenar mengenai
agresi. Agresi merupakan kejahatan terhadap perdamaian dunia. Agresi
menyebabkan tanggung jawab internasional dan tidak ada perolehan wilayah atau
keuntungan khusus sebagai hasil dari agresi tersebut akan diakui secara sah”.
Pasal 6
menyebutkan “tidak ada yang dapat ditafsirkan di dalam definisi ini
bagaimanapun juga untuk memperbesar atau mengurangi lingkup piagam termasuk
ketentuan-ketentuannya mengenai kasus-kasus di mana penggunaan kekerasan itu
sah”. Sedang Pasal 7 “tidak ada dalam definisi ini, khususnya Pasal 3
bagaimanapun juga yang dapat merugikan hak penentuan nasib sendiri, kebebasan,
kemerdekaan, sebagaimana tersebut di dalam Piagam, menghilangkan hak
bangsa-bangsa tersebut dengan paksa sebagaimana tersebut juga dalam Deklarasi
tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur hubungan bersahabat
dan kerjasama antar Bangsa-Bangsa sesuai dengan Piagam PBB…”.
Pasal
terakhir Resolusi Majelis Umum PBB ini menyatakan bahwa “Dalam penafsiran dan
penerapan ketentuan-ketentuan tersebut adalah berkaitan dan setiap ketentuan
harus ditafsirkan dalam konteks ketentuan lainnya.”
Sekalipun
pada Akhirnya Majelis Umum PBB (Resolusi MU-PBB) melalui Resolusi menegaskan
definisi dari agresi. Namun demikian, banyak pihak menyayangkan mengapa
definisi ini hanya dikeluarkan melalui Resolusi MU-PBB sehingga kekuatan
hukumnya sangat disangsikan karena resolusi itu bersifat externa corporis, suatu keputusan yang hanya bersifat rekomendasi
dan kurang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Keadaan inilah yang kemudian
mendorong untuk dilakukan amandemen terhadap Statuta Roma dengan lebih
mengkhususkan pada penegasan mengenai agresi di dalam Statuta Roma.
Akhirnya
sejak dibahas pada bulan Mei-Juni 2010 di Review
Conference of Rome Statute yang berlangsung di Kampala, Uganda, tepat pada
tanggal 10-11 Juni 2010, Kampala
Amendments disepakati dan diadopsi. Di dalam amandemen tersebut, diatur
tentang definisi, kondisi aktivasi dan yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi. Di
dalam Statuta Roma di tambahkan Pasal 8 bis
yang memberikan definisi untuk kejahatan agresi sebagai: “Perencanaan,
persiapan, Inisiasi atau pelaksanaan, oleh seseorang dalam posisi secara
efektif untuk menjalankan kendali atas atau mengarahkan tindakan politik atau
militer dari suatu Negara, dari tindakan agresi yang, dengan karakter,
gravitasi dan skala, merupakan pelanggaran nyata dari Piagam PBB. ".
Selain itu ditambahkan pula dalam Statuta Roma Pasal 15 bis dan 15 ter terkait Pelaksanaan Yurisdiksi atas Kejahatan
Agresi. Dengan diadopsinya Kampala
Amandments, maka secara tegas definisi agresi tidak lagi hanya diatur dalam
resolusi MU-PBB yang bersifat externa
corporis akan tetapi sudah dituangkan dalam Statuta Roma yang merupakan
dasar bagi ICC untuk menegakkan yurisdiksinya
3.
Yurisdiksi Internasional Criminal
Court atas Kejahatan Agresi Berdasarkan Kampala Amendments
Pada
rentang waktu 31 Mei sampai dengan 11 Juni 2010 di Kampala, Uganda, telah
diselenggarakan the Review Conference of
the Rome Statute. Tepat pada 11 Juni 2010 para Negara Pihak mengadopsi
amandemen atas kejahatan agresi dalam statuta roma. Amandemen ini kemudian
disebut sebagai Kampala Amendment.
Terdapat
beberapa hal yang berubah dalam substansi Statuta Roma pasca Kampala Amandment diadopsi.
Perubahan-perubahan tersebut yaitu:
1)
Pasal
5 Ayat 2 dihapus
2)
Pasal
8 bis dimasukkan setelah Pasal 8 dan
Pasal 15 bis serta Pasal 15 ter dimasukkan setelah Pasal 15
3)
Ayat 3
bis dimasukkan dalam Pasal 25 setelah
ayat 3
4)
Perubahan
Pasal 9 ayat 1 dan Pasal 20 Ayat 3
Pasal 8 bis berisi definisi dari kejahatan
agresi dan penegasan untuk tidak melanggar ketentuan sebagaimana yang tertuang
dalam Resolusi MU-PBB 3314 (XXIX), 14 Desember 1974. Secara lengkap Pasal 8 bis berbunyi sebagaimana berikut:[34]
1)
For the purpose of this Statute, “crime of
aggression” means the planning, preparation, initiation or execution, by a
person in a position effectively to exercise control over or to direct the
political or military action of a State, of an act of aggression which, by its
character, gravity and scale, constitutes a manifest violation of the Charter
of the United Nations.
(Untuk tujuan Statuta ini, “kejahatan agresi” berarti perencanaan, persiapan,
inisiasi atau eksekusi, oleh seseorang yang berada dalam posisi yang efektif
untuk melakukan kontrol atas atau mengarahkan tindakan politik atau militer
suatu Negara, suatu tindakan agresi yang, berdasarkan karakternya, gravitasi
dan skalanya, merupakan pelanggaran nyata Piagam PBB.)
2)
For the purpose of paragraph 1, “act of
aggression” means the use of armed force by a State against the sovereignty,
territorial integrity or political independence of another State, or in any
other manner inconsistent with the Charter of the United Nations. Any of the
following acts, regardless of a declaration of war, shall, in accordance with
United Nations General Assembly resolution 3314 (XXIX) of 14 December 1974 .... (Untuk tujuan ayat 1, “tindakan agresi”
berarti penggunaan angkatan bersenjata oleh suatu Negara terhadap kedaulatan,
integritas wilayah atau kemerdekaan politik dari Negara lain, atau dengan cara
lain apa pun yang tidak sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap
tindakan berikut, terlepas dari deklarasi perang, harus, sesuai dengan resolusi
Majelis Umum PBB 3314 (XXIX) tanggal 14 Desember 1974 ...)
Selanjutnya,
di dalam Pasal 15 bis mengatur
tentang pelaksanaan yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi khususnya yang
diteruskan oleh suatu Negara Pihak kepada Penuntut Umum dan yang diprakarsai
sendiri oleh Penuntut Umum (proprio motu).
Berdasarkan
Pasal 15 bis yurisdiksi ICC atas
kejahatan agresi berlaku mulai 1 Januari 2017 dan mulai berlaku bagi tiga puluh
Negara Pihak apabila kejahatan agresi dilakukan setelah satu tahun diratifikasi
atau diterimanya Kampala Amendment.
Ketika Negara Pihak tidak menerima amandemen, yurisdiksi ICC atas kejahatan
agresi tidak dapat dijalankan. Di samping itu, bagi negara yang bukan merupakan
Negara Pihak, yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi dapat dijalankan apabila
negara tersebut melakukan deklarasi kepada Panitera untuk menerima pelaksanaan
Yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi.
Selanjutnya
dalam proses menjalankan yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi, apabila Jaksa
Penuntut menyimpulkan ada dasar yang masuk akal untuk melanjutkan investigation, ia pertama-tama harus
memastikan apakah DK PBB telah memutuskan tindakan agresi yang dilakukan oleh
Negara terkait. Untuk mendapatkan kepastian tersebut, Jaksa Penuntut memberi
tahu Sekretaris Jenderal PBB (Sekjen PBB) tentang situasi di hadapan
Pengadilan, termasuk segala informasi dan dokumen yang relevan. Apabila DK PBB
telah memastikan tindakan agresi tersebut, Jaksa Penuntut dapat melanjutkan investigation. Namun, apabila setelah 6
bulan pemberitahuan kepada Sekjen PBB tidak ada keputusan yang dibuat oleh DK
PBB, berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pre-Trial Chamber dan tidak terdapat putusan dari DK PBB untuk
menunda penyelidikan tersebut, maka Jaksa Penuntut dapat melanjutkan
penyelidikan tersebut.
Bila dalam
Pasal 15 bis mengatur tentang
pelaksanaan yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi berdasarkan permintaan negara
pihak atau prakarsa dari Jaksa Penuntut, maka dalam Pasal 15 ter diatur tentang pelaksanaan
yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi berdasarkan arahan Dewan Keamanan. Namun,
pada dasarnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 15 ter sama dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 15 bis. Hanya tentu perbedaannya dalam hal
bahwa permintaan penyelidikan atas suatu kejahatan agresi tersebut bukan
berasal dari negara pihak atau atas prakarsa oleh Jaksa Penuntut melainkan
merupakan arahan dari Dewan Keamanan.
4.
Penegakan Yurisdiksi Internasional
Criminal Court atas Kejahatan Agresi
Kejahatan
agresi sebagai international crimes
stricto sensu secara jelas mengindikasikan dan memenuhi syarat bahwa agresi
juga termasuk dalam kejahatan HAM berat yang bertentangan dengan norma hukum
tertinggi dalam hukum internasional. Sebab, kejahatan agresi yang dianggap
sebagai kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace) tentu
terkait erat dengan hak atas perdamaian suatu Negara (right to peace),
dan juga hak untuk mempertahankan diri (self defense rights) atas
kedaulatan suatu Negara.[35]
Piagam PBB juga memproklamirkan perdamaian dan keamanan sebagai nilai-nilai
tertinggi yang patut dihargai. Dalam pembukaan Piagam PBB disebutkan bahwa
untuk menghindarkan terjadinya bencana perang, PBB akan menerapkan toleransi
dan hidup bersama dalam perdamaian satu bangsa dengan bangsa yang lain sesuai
asas bertetangga yang baik (good neighboard). Pada prinsipnya PBB
melarang anggotanya melakukan perang terhadap Negara lain.[36] Kampala
Amendments sebagai penegasan bahwa kejahatan agresi menjadi salah satu
kejahatan internasional yang berada di bawah yurisdiksi ICC merupakan bentuk
perwujudan dari prinsip PBB tersebut.
Dalam Kampala
Amendments ditegaskan bahwa keberlakuan dari yurisdiksi ICC atas kejahatan
agresi dimulai sejak tanggal 1 Januari 2017 dan berlaku bagi negara pihak pasca
satu tahun sejak meratifikasi amandemen tersebut. Sehingga sejak tanggal
tersebut dapat dilihat bagaimana yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi
ditegakkan. Secara aktual, penegakkan yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi
dapat dilihat dari keseluruhan situasi (situations)
dan kasus (cases) yang sedang
diproses di ICC yang terdiri dari: 27 Preliminary
examinations dengan 10 pada phase
ongoing, 4 pada phase closed-decision not to proceed, 13 pada phase completed with decisionn to investigate;[37]
dan 12 Situations under investigate.[38]
Dari keseluruhan situasi dan kasus tersebut, belum ada satu pun yang
dikategorikan sebagai kejahatan agresi. Hal ini terjadi sebab tidak ada satupun
negara-negara yang yang patut di duga telah melakukan kejahatan agresi pasca Kampala
Amendments diadopsi ke dalam Statuta Roma, telah melakukan ratifikasi atas Kampala
Amendment.
Adapun
daftar negara-negara peratifikasi Kampala Amendments sejauh ini dapat
dilihat dalam tabel berikut.[39]
Tabel 1. Negara-negara Peratifikasi Kampala
Amandements
No. |
Negara |
Tanggal Ratifikasi |
No. |
Negara |
Tanggal Ratifikasi |
1 |
Liechtenstein |
8 Mei 2012 |
21 |
Malta |
29 Januari 2015 |
2 |
Samoa |
25 September 2012 |
22 |
Kosta Rika |
5 Februari 2015 |
3 |
Trinidad & Tobago |
13 November 2012 |
23 |
Republik Ceko |
12 Maret 2015 |
4 |
Luxembourg |
15 Januari 2013 |
24 |
Swiss |
10 September 2015 |
5 |
Estonia |
27 Maret 2013 |
25 |
Lituania |
7 Desember 2015 |
6 |
Jerman |
3 Juni 2013 |
26 |
Finlandia |
30 Desember 2015 |
7 |
Botswana |
4 Juni 2013 |
27 |
Makedonia Utara |
1 Maret 2016 |
8 |
Ciprus |
25 September 2013 |
28 |
El Salvador |
3 Maret 2016 |
9 |
Slovenia |
25 September 2013 |
29 |
Islandia |
17 Juni 2016 |
10 |
Andorra |
26 September 2013 |
30 |
Palestina |
26 Juni 2016 |
11 |
Uruguay |
26 September 2013 |
31 |
Belanda |
23 September 2016 |
12 |
Belgia |
26 September 2013 |
32 |
Cili |
23 September 2016 |
13 |
Kroasia |
20 Desember 2013 |
33 |
Portugal |
11 April 2017 |
14 |
Slovakia |
29 April 2014 |
34 |
Argentina |
28 April 2017 |
15 |
Austria |
17 Juli 2014 |
35 |
Panama |
6 Desember 2017 |
16 |
Latvia |
26 September 2014 |
36 |
Irlandia |
27 Desember 2018 |
17 |
Spanyol |
26 September 2014 |
37 |
Guyana |
28 September 2018 |
18 |
Polandia |
26 September 2014 |
38 |
Paraguay |
5 April 2019 |
19 |
San Marino |
14 November 2014 |
39 |
Ekuador |
25 September 2019 |
20 |
Georgia |
5 Desember 2014 |
|
Dari tabel
di atas, yang sangat menarik untuk dilihat tentu dengan ikut sertanya Palestina
sebagai negara peratifikasi. Perlu dikathui, meskipun menemui kendala pada saat
ingin menaikan status sebagai negara anggota penuh PBB, Pada Rabu 1 April 2015,
Palestina secara resmi telah bergabung dengan ICC. Peresmian Palestina sebagai
anggota ke-123 ICC ditandai dengan upacara sederhana di Den Haag, Belanda, yang
dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Malki. Peresmian
keanggotaan Palestina di ICC tersebut, dilakukan seletah tiga bulan Presiden
Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas menandatangani Statuta Roma.[40]
Konsekuensi
keanggotaan Palestina di ICC serta ratifikasi
yang dilakukan oleh Palestina atas Kampala Amendments
ialah semua kejahatan di wilayah Jerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza sejak 13
Juni 2014 bisa disidangkan di ICC.[41] Kejahatan tersebut tentunya tidak lagi terbatas pada
kehajatan genosia, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, namun
lengkap dengan kejahatan agresi. Konsekuensi selanjutnya adalah
ICC tidak membutuhkan bergabungnya Israel dalam keanggotaan ICC sebab dalam
Pasal 12 ayat (2) huruf a[42]
Statuta Roma tentang Prakondisi bagi Berlakunya Yurisdiksi tertuang bahwa ICC
dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila korban dari kejahatan tersebut
merupakan warga negara dari negara anggota ICC. Pun
demikian IC tidak memerlukan ratifikasi Kampala Amendemtns oleh Israel.
Jika
kembali pada keadaa aktual tentang situasi di ICC yang belum ada satupun
dikategorikan sebagai kejahatan agresi, patut disadari bahwasanya penegakan
yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi akan memiliki tantangan khususnya terkait
pertanggungjawaban oleh individu dari negara agresor. Seperti diketahui,
kejahatan agresi cenderung dilakukan oleh negara-negara kuat dan maju.
Kencenderungan agresi dilakukan oleh negara-negara yang kuat dan maju dapat
dilihat seperti pada intervensi yang dilakukan oleh Perancis dengan menggunakan
kekerasan (use of force) di Republik Mali;[43]
agresi militer yang dilakukan oleh Israel terhadap Gaza, Palestina;[44]
dan agresi Amerika Serikat terhadap Irak.[45]
Dengan kecenderungan tersebut, akan sulit untuk membawa individu dari negara
agresor bertanggung jawab atas kejahatan agresi yang terjadi. Apalagi
individu-individu yang akan bertanggung jawab dalam kejahatan agresi cenderung
merupakan individu-individu yang memiliki kedudukan sangat tinggi.
Sekalipun
melihat situasi Israel dan Palestina merupakan situasi yang paling memungkinakn
untuk dikategorikan sebagai kejahatan agresi, apabila berkaca ke beberapa
kasus-kasus yang ada di ICC, untuk dapat menentukan suatu situasi telah terjadi
kejahatan internasional khususnya sebagai international crimes stricto sentu
akan membutuhkan waktu yang lama.
Terlepas
dari situasi penenegakan yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi yang bisa
dianggap masih berupa ancang-ancang, ketika terdapat satu kasus yang nantinya
menuntut tanggung jawab dari individu dengan kedudukan yang sangat tinggi, maka
denghan sendirinya stigma yang melekat pada ICC sebagai Mahkamah untuk
individu-individu kulit hitam atau dari negara dunia ketiga akan terkikis. Stigma tersebut merujuk pada kasus-kasus yang
ditangani oleh ICC di mana hampir seluruh individu-individu yang diadili oleh
ICC berasal dari negara ketiga. Definisi Dunia Ketiga biasanya mencakup
negara-negara yang pernah mengalami kolonisasi di Afrika, Amerika Latin,
Oseania, dan Asia. Dunia Ketiga juga kadang dianggap sama dengan anggota
Gerakan Non-Blok. Menurut teori ketergantungan yang dipaparkan oleh Raúl
Prebisch.[46]
D.
P E N U T U P
Berdasarkan
analisis terhadap permasalahan dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa berdasarkan Kampala Amendments yang diadopsi ke dalam Statuta
Roma, kejahatan agresi didefinisikan sebagai perencanaan, persiapan, inisiasi
atau eksekusi, oleh seseorang yang berada dalam posisi yang efektif untuk
melakukan kontrol atas atau mengarahkan tindakan politik atau militer suatu
Negara, suatu tindakan agresi yang berdasarkan karakternya, gravitasi dan
skalanya, merupakan pelanggaran nyata Piagam PBB. Sutau tindakan agresi
tersebut berupa penggunaan angkatan bersenjata oleh suatu Negara terhadap
kedaulatan, integritas wilayah atau kemerdekaan politik dari Negara lain, atau
dengan cara lain apa pun yang tidak sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Setiap tindakan berikut, terlepas dari deklarasi perang, harus, sesuai dengan
resolusi Majelis Umum PBB 3314 (XXIX) tanggal 14 Desember 1974.
Penegakan yurisdiksi ICC atas kejahatan
agresi yang dilegitimasi oleh adopsi Kampala Amendments ke dalam Statuta
Roma belum terlihat secara konkret. Beberapa hal yang mempengaruhi penegakan
yursidiksi ICC atas kejahatan agresi antara lain belum banyak negara-negara
peratifikasi Kampala Amendments merupakan negara-negara yang cenderung
menjadi korban dari kejahatan agresi ataupun sebalikanya negara tersebut
sebagai agresor. Diasmping itu kecenderungan individu-individu yang akan
bertanggung jawab dalam suatu kejahata agresi merupakan indvidu-indvidu yang
memiliki kedudukan sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
[1] Bone, S. (2011). “Urgensi Statuta Roma 1998 Terhadap Kejahatan HAM Dalam Konflik Israel dan Palestina”. Jurnal Amanna Gappa, 19 (3): 324-343.
[2] Ferencz, B. B. (2007). “Enabling the International Criminal Court to Punish Aggression”. Washington University Global Studies Law Review, 6 (5).
[3] Gunakaya, W. (2013). “Peranan dan Prospek “Internasional Criminal Court” Sebagai International Criminal Policy Dalam Menanggulangi “International Crimes”. Jurnal Wawasan Hukum, 29 (2).
[4] Hartono, Bambang dan Hapsari, Recca Ayu. (2019). “Mutual Legal Assistance Pada pemberantasan Cyber Crime Lintas Yurisdiksi di Indonesia”. SASI, 25 (1): 59-71. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v25i1.136.
[5] Nurhidayatuloh. (2011). “Kejahatan Agresi Dalam Tatanan Hukum Internasional Modern Sebagai Peremptory Norm”. QISTI: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 5 (2).
[6] Noor, T. (2014). “Agresi dan Kejahatan Terhadap Perdamaian”. Supremasi Hukum, 3 (1).
[7] Nisa, Candra Ulfatun dan Disemadi, Hari Sutra. (2020). “Yurisdiksi Kriminal Terhadap Black Flight Di Ruang Udara Wilayah Indonesia”, SASI, 26 (3): 365-379. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.289.
[8] Suryokusumo, S. (2005). “Agresi Dalam Perspektif Hukum Internasional”. Jurnal Hukum Internasional, 3 (1).
[9] Tomlinson, B. R. (2003). “What was the Third World”. Journal of Contemporary History, 38 (2).
[10] Wulandari, D. A. (2015). “Agresi Amerika Serikat Terhadap Irak Periode 2003-2010”, Journal of Internasional Relations, 1 (2): 132-140.
[11] Yustitianingtyas, L. (2014). “Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter Dalam Tindakan Agresi (Studi Kasus: Agresi Israel ke Lebanon Tahun 2006)”, Perspektif Hukum, 14 (1): 33-52. DOI: http://dx.doi.org/10.30649/phj.v14i1.30.
[12] Zuhra, N. M. (2020). “Kategorisasi Kejahatan Agresi atas Tindakan Penggunaan Kekerasan Negara Perancis Pada Konflik Republik Mali Dalam Hukum Pidana Internasional”. Jurnal Selat, 7 (2): 223-238, DOI: https://doi.org/10.31629/selat.v7i2.1872.
Buku
[13] Atmasasmita, R. (2006). Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: Refika Aditama.
[14] Cassese, A. (2003). Internasional Criminal Law. Oxford: Oxford University Press.
[15] Kittichaisaree, K. (2001). International Criminal Law. Oxford: Oxford University Press
[16] Muladi. (2011). Statuta Roma 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional Dalam Kerangka Hukum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Kerangka Hukum Pidana Nasional. Bandung: Alumni.
[17] Robertson, G. (2002). Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global. Jakarta: Komisi Hak Asasi Manusia.
[18] Shaw, M. N. (2008). Hukum Internasional. Cambridge: Cambridge University Press.
[19] Suarda, I. G. W. (2012). Hukum Pidana Internasional Sebuah Pengantar. Bandung: Citra Aditya Bakti.
[20] Widyawati, A. (2014). Hukum Pidana Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Online/World
Wide Web dan Lain-Lain
[21]
BBC.
(2015). Palestina Anggota Mahkamah Kriminal Internasional. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/04/150401_palestina_mahkamah.
[22]
International
Criminal Court. (2020). Preliminary Examinations. Retrieved from https://www.icc-cpi.int/Pages/pe.aspx (Diakses pada 24 Januari 2020).
[23]
International
Criminal Court. (2020). Situations Under Investigation. Retrieved from https://www.icc-cpi.int/pages/situation.aspx (Diakses pada 24 Januari 2020)
[24]
Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat. (2015). Kajian Ratifikasi Statuta Roma 1998.
Retrieved from https://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/00000000_Kajian_Ratifikasi-statuta-roma-1998_ELSAM.pdf.
[25] the Principality of Liechtenstein and
the Global Institute for the Prevention of Aggression. (2020). Status of
Ratification and implementation of the Kampala Amendments on the Crime of
Aggression. Retrieved from https://crimeofaggression.info/the-role-of-states/status-of-ratification-and-implementation/.
[1] Nisa, Candra Ulfatun dan Disemadi, Hari Sutra. (2020). “Yurisdiksi
Kriminal Terhadap Black Flight Di Ruang Udara Wilayah Indonesia”, SASI, 26 (3): 365-379. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.289, h. 365.
[2] Atmasasmita, R. (2006). Pengantar Hukum Pidana
Internasional. Bandung: Refika Aditama, h. 4
[3] Muladi. (2011). Statuta Roma 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional Dalam Kerangka
Hukum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Kerangka Hukum Pidana
Nasional. Bandung: Alumni, h. 25
[4] Robertson, G. (2002). Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan
Global. Jakarta: Komisi Hak Asasi Manusia, h. 252
[5] Ibid.,
h. 271
[6] Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. (2015). Kajian Ratifikasi Statuta Roma 1998. Retrieved from https://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/00000000_Kajian_Ratifikasi-statuta-roma-1998_ELSAM.pdf, h. 5
[7] Ibid.
[8] Robertson, G. Op. Cit., h. 252
[9] Ibid.,
h. 352-353
[10] Cassese, A. (2003). Internasional Criminal Law. Oxford: Oxford University Press, h. 337
[11] Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Op. Cit., h. 6-7
[12] Kittichaisaree, K. (2001). International
Criminal Law. Oxford: Oxford University Press, h. 24
[13] Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Op. Cit., h. 7
[14] Hartono, Bambang dan
Hapsari, Recca Ayu. (2019). “Mutual Legal Assistance Pada pemberantasan Cyber
Crime Lintas Yurisdiksi di Indonesia”. SASI,
25 (1): 59-71. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v25i1.136, h. 67.
[15] Bassiouni, C. (1986). Internasional
Criminal Law, Vol. I Crimes. New York: Transnational Publishers.
[16] Gunakaya, W. (2013). “Peranan dan Prospek “Internasional Criminal Court” Sebagai
International Criminal Policy Dalam Menanggulangi “International Crimes”.
Jurnal Wawasan Hukum, 29 (2), h. 790
[17] Shaw, M. N. (2008). Hukum Internasional. Cambridge: Cambridge University Press, h. 400
[18] Suarda, I. G. W. (2012). Hukum Pidana Internasional Sebuah Pengantar.
Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 210
[19] Nurhidayatuloh. (2011). “Kejahatan Agresi Dalam Tatanan Hukum
Internasional Modern Sebagai Peremptory Norm”. QISTI: Jurnal Ilmiah
Ilmu Hukum, 5 (2), h. 120
[20] Article
12 Rome Statute
[21] Article
5-8 Rome Statute
[22] Article
11 Rome Statute
[23] Article
25 Rome Statute
[24] Suarda, I. G. W. (2012). Op. Cit., h. 163
[25] Article
6 Rome Statute
[26] Article
7 Rome Statute
[27] Article
8 Rome Statute
[28] Article
10 The Covenant of the League of Nations
[29] Article
I Briand and Kellog Pact 1928
[30] Article
II Convention on the Defenition of Aggression, London, 1933
[31] Suryokusumo, S. (2005). “Agresi Dalam Perspektif Hukum Internasional”.
Jurnal Hukum Internasional, 3 (1), h. 36
[32] Shaw, M. N. (2008). Op. Cit., h. 400
[33] Ferencz, B. B. (2007). “Enabling the International Criminal Court to
Punish Aggression”. Washington University Global Studies Law Review,
6 (5), h. 551
[34] Article
8 bis Paragraph 1 and 2 of Rome Statute
[35] Noor, T. (2014). “Agresi
dan Kejahatan Terhadap Perdamaian”. Supremasi
Hukum, 3 (1), h. 43
[36] Preambule of Charter of the United Nations, San
Francisco, 1945
[37] International
Criminal Court. (2020). Preliminary Examinations. Retrieved from https://www.icc-cpi.int/Pages/pe.aspx
[38] International
Criminal Court. (2020). Situations Under Investigation. Retrieved from https://www.icc-cpi.int/pages/situation.aspx
[39] the Principality of Liechtenstein and the Global
Institute for the Prevention of Aggression.
(2020). Status of Ratification and implementation of the Kampala Amendments on
the Crime of Aggression. Retrieved from https://crimeofaggression.info/the-role-of-states/status-of-ratification-and-implementation/
[40] BBC. (2015). Palestina Anggota Mahkamah Kriminal Internasional. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/04/150401_palestina_mahkamah
[41] Mahkamah mempunyai yursidiksi hanya berkaitan dengan
kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta ini. Pasal 11 ayat (1)
Statuta Roma
[42] Dalam hal pasal 13, ayat (a) atau (c), Mahkamah dapat
melaksanakan jurisdiksinya kalau satu atau lebih Negara berikut ini adalah
pihak dari Statuta ini atau telah menerima jurisdiksi Mahkamah sesuai dengan
ayat 3: (a) Negara yang berkuasa atas wilayah di mana perbuatan yang
dipersoalkan itu terjadi atau, kalau kejahatan itu dilakukan di atas kapal atau
pesawat terbang, Negara di mana kapal atau pesawat terbang itu terdaftar; (b)
Negara di mana orang yang dituduh melakukan kejahatan adalah warga negara.
Pasal 12 ayat (1) Statuta Roma.
[43] Perancis dalam
menggunakan use of force tidak berdasar pada otorisasi DK PBB terlebih
telah mengakibatkan timbulnya korban jiwa sehingga digolongkan sebagai suatu
kejahatan agresi. Lihat dalam Zuhra, N.
M. (2020). “Kategorisasi Kejahatan Agresi atas Tindakan
Penggunaan Kekerasan Negara Perancis Pada Konflik Republik Mali Dalam Hukum
Pidana Internasional”. Jurnal Selat, 7 (2), DOI: https://doi.org/10.31629/selat.v7i2.1872, h. 228
[44] Tindakan Israel dapat
diklasifikasikan sebagai Perang Agresi sebab telah menimbulkan peperangan
antara Hamas dan Israel di Gaza. Hamas sendiri merupakan kekuatan politik yang
sah di Palestina (Gaza) setelah mereka memenangkan pemilu pada Juni 2007. Lihat
dalam Bone, S. (2011). “Urgensi Statuta Roma 1998
Terhadap Kejahatan HAM Dalam Konflik Israel dan Palestina”. Jurnal Amanna
Gappa, 19 (3), h. 334
[45] Langkah Amerika Serikat
untuk menginvasi Irak dapat dikategorikan sebagai kejahatan Agresi setidaknya
oleh empat alasan yang diuraikan dalam Wulandari, D. A. (2015). “Agresi
Amerika Serikat Terhadap Irak Periode 2003-2010”, Journal of
Internasional Relations, 1 (2), h. 133
[46] Tomlinson, B. R. (2003). “What was the Third World”. Journal
of Contemporary History, 38 (2), h. 307-321
Copyright (c) 2020 Apripari Irham
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.