|
S A S I Volume 26
Nomor 4, Oktober -
Desember
2020 : h.
434
- 446 p-ISSN: 1693-0061 | e-ISSN: 2614-2961 Jurnal Terakreditasi Nasional, SK. No. 28/E/KPT/2019 This is open access article under the CC-BY-NC 4.0 International License |
Penyelesaian
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Independen di Indonesia
Kelik Iswandi1*, Nanik
Prasetyoningsih2
1, 2Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Yogyakarta, Indonesia
*E-mail: kelik.iswandi.2016@law.umy.ac.id
Dikirim: 11/05/2020 |
Direvisi: 21/09/2020 |
Dipublikasi: 20/12/2020 |
||
Info Artikel |
|
Abstract |
||
Keywords: Competence Dispute; Constitutional Court; Independent State
Organ. |
|
Competence
dispute which involves independent state organs occur
several times in Indonesia has an impact on obstruction of competence. Several cases of competence dispute
which involve independent state organ have been submitted to the
Constitutional Court but not all have been granted. This study aims to examined
the concern of competence dispute which involves independent state organ and
factors of independent state organ can fulfill the subjectum litis criteria
of SKLN in Constitutional Court. The research method is normative by using
primary, secondary, and tertiary legal materials, collected from library
research. This research analytical data use the statute approach and case approach.
The results of
this study indicate that the authority of the Constitutional Court does not
specifically regulate state institutions that can be subjectum Litis SKLN in
the Constitutional Court, there is a gap accommodated by the Constitutional
Court in several decisions. |
||
|
|
Abstrak |
||
Kata
Kunci: Lembaga Negara Independen; Mahkamah Konstitusi;
Sengketa Kewenangan. |
|
Sengketa kewenangan lembaga negara independen beberapa
kali terjadi di Indonesia yang berdampak terhadap
terhambatnya pelaksanaan kewenangan. Beberapa kasus sengketa
kewenangan lembaga negara yang melibatkan lembaga negara independen telah
diajukan ke Mahkamah Konstitusi tetapi tidak semua dikabulkan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji penyelesaian sengketa lembaga negara independen dan
faktor-faktor lembaga negara independen yang memenuhi kriteria subjectum litis SKLN di Mahkamah
Konstitusi. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang dilakukan
dengan mengkaji bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh dari
studi pustaka. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan kasus yang menghasilkan penelitian
deskriptif analitik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kewenangan Mahkamah
Konstitusi tidak secara rinci mengatur lembaga negara yang dapat menjadi subjectum litis SKLN di Mahkamah
Konstitusi, terdapat celah yang diakomodir oleh Mahkamah Konstitusi dalam
beberapa putusan. |
||
DOI: |
|
|||
A. PENDAHULUAN
Kekuasaan
yang diberikan kepada lembaga negara sifatnya saling membatasi antara yang satu
dengan yang lain (checks and balances)
[1]. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Dalam konsepsi negara hukum terdapat
prinsip pembagian atau pemisahan kekuasaan. Dalam melaksanakan kekuasaan dalam
suatu negara terdapat lembaga negara. Di Indonesia terdapat beragam jenis lembaga
negara, salah satunya ialah lembaga negara independen.
Lembaga
negara independen lahir dengan fungsi dan tugas ketatanegaraan yang bersifat
khusus. Beberapa ahli berbeda pendapat terkait dengan kedudukan lembaga negara
independen. Hal ini dikarenakan tidak terdapat patokan khusus yang diberikan
oleh pembentuk lembaga negara independen terkait dengan kedudukannya dalam
struktur ketatanegaraan di Indonesia. Ketidakjelasan kedudukan tersebut membuat
lembaga negara independen terlibat dalam beberapa sengketa kewenangan.
Salah
satu kasus sengketa kewenangan yang melibatkan lembaga negara independen ialah
sengketa kewenangan antara Komisi Pemilihan Umum dan Pemerintah Provinsi Papua.
Obyek sengketa dalam kasus sengketa
kewenangan antara Komisi Pemilihan Umum dan Pemerintah Provinsi Papua ialah
terkait dengan penyelenggaraan pemilukada pada daerah otonomi khusus dalam hal
ini Provinsi Papua. Kasus ini telah diselesaikan di Mahkamah Konstitusi dengan
register perkara No. 3/SKLN-X/2012. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan
tersebut dan menyatakan bahwa baik pemohon dan
termohon memenuhi dapat menjadi pihak dalam SKLN (subjectum litis).
Sengketa yang melibatkan lembaga negara independen berikutnya
ialah sengketa kewenangan Antara Komisi Penyiaran Indonesia dengan Presiden
Republik Indonesia c.q Menteri Komunikasi dan Informatika. Obyek
sengketa dalam kasus tersebut ialah kewenangan pemberian izin penyelenggara
penyiaran dan pembuatan aturan dalam hal penyiaran. Kasus ini diregister oleh
Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 030/SKLN-IV/2006. Mahkamah Konstitusi menolak
permohonan tersebut dan menyatakan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia tidak
memenuhi syarat subjectum litis.
Dalam
dua kasus tersebut para pihak pemohon merupakan lembaga negara independen. Akan tetapi, terdapat perbedaan
putusan terkait dengan terpenuhinya syarat subjectum litis. Berdasarkan 24C
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Pasal Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 2 Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara telah melimitasi lembaga negara yang dapat
menjadi pihak yang berperkara (subjectum
litis) dalam SKLN di Mahkamah Konstitusi. Lembaga-lembaga tersebut ialah:
a)
Dewan
Perwakilan Rakyat;
b)
Dewan
Perwakilan Daerah;
c)
Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
d)
Presiden;
e)
Badan
Pemeriksa Keuangan;
f)
Pemerintah
Daerah; atau
g)
Lembaga
negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Dalam
ketentuan tersebut, lembaga negara yang dapat menjadi pihak dalam SKLN telah
terlimitasi. Akan tetapi pada perkara No. 3/SKLN-X/2012, Mahkamah Konstitusi
berpendapat Komisi Pemilihan Umum memenuhi syarat sebagai subjectum litis. Secara langsung Komisi Pemilihan Umum bukanlah
lembaga negara yang disebutkan dalam Pasal 2 PMK Nomor 08/PMK/2006. Hal ini
dikarenakan Komisi Pemilihan Umum merupakan lembaga negara independen bukan
lembaga negara yang diatur secara detail oleh konstitusi. Akan tetapi, Komisi Pemilihan
Umum memiliki kewenangan yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh
karena itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Komisi Pemilihan Umum
memenuhi syarat subjectum litis.
Lantas sejauh manakah lembaga negara independen yang dapat menjadi subjectum litis dalam SKLN di Mahkamah
Konstitusi? Apakah hanya terbatas pada Komisi Pemilihan Umum atau masih
terdapat lembaga negara lain yang dapat menjadi subjectum litis?
Terkait
dengan lembaga negara yang dapat menjadi subjectum
litis, Jimly Asshiddiqie berpandangan selain lembaga tinggi negara terdapat
pula lembaga negara lain yang tidak disebut namanya secara tegas dalam
konstitusi tetapi kewenangannya ditentukan dalam konstitusi dapat menjadi subjectum litis.[2] Sedangkan, Abdul Mukthie
Fadjar berpandangan bahwa sengketa kewenangan lembaga negara yang dapat
diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah sengketa kewenangan yang melibatkan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Pemerintah Daerah yang
meliputi Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
B.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini merupakan
penelitian yuridis normative dengan mengkaji bahan pustaka atau data sekunder. Data-data sekunder
dalam penelitian ini berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus dan pendekatan peraturan
perundang-undangan. Metode analisis dalam penelitian ini ialah analisis
deskriptif.
C.
PEMBAHASAN
1.
Lembaga
Negara Independen dalam Sistem Ketatanegaraan
Negara
dalam menjalankan kekuasaan demi mewujudkan cita-cita negara memiliki alat
kelengkapan negara berupa lembaga negara.[3]
Lembaga negara di Indonesia berkembang dengan beragam penyebutannya, yakni
lembaga, badan, atau komisi.[4]
Lembaga negara umumnya menjadi materi muatan dalam konstitusi suatu negara.[5]
Lembaga
negara berdasarkan aturan pembentuknya dibedakan menjadi lembaga negara yang
dibentuk oleh Undang-Undang Dasar 1945 atau dapat disebut sebagai constitutional state organ. Rumitnya
proses amandemen UUD 1945 berdampak terhadap lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan.[6]
Lembaga negara yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan UUD
1945 dapat disebut sebagai state
auxiliary organ. State auxiliary
organ memiliki beberapa variasi diantaranya lembaga negara yang berada
dibawah kekuasaan legislative, eksekutif, yudikatif, atau merupakan lembaga
negara independen. Lembaga negara independen masih selalu diperdebatkan oleh
para ahli tata negara. Sebab tidak ada suatu patokan khusus yang diberikan oleh
pembentuk lembaga mengenai kedudukannya di cabang kekuasaan mana.
Karakteristik
yang dimiliki lembaga negara independen ialah:[7]
a) Independensi dalam menjalankan tugas dan fungsinya telah ditegaskan dalam peraturan pembentuknya (syarat normatif).
b) Makna independen ialah terbebas dari pengaruh, kontrol, ataupun kehendak dari cabang kekuasaan eksekutif.
c) Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota lembaga negara independen diatur secara khusus, tidak langsung berdasarkan kehendak Presiden (political appointee).
d) Kepemimpinan dalam lembaga negara independen memiliki sifat kolektif kolegial, besaran jumlah anggota bersifat ganjil dan pengambilan keputusan melalui mekanisme suara mayoritas.
e) Penguasaan kepemimpinan lembaga negara independen tidak berasal dari partai politik tertentu.
f) Periode jabatan kepemimpinan lembaga negara independen bersifat definitif, selesai masa jabatan secara bersamaan, dan untuk periode berikutnya dapat diangkat kembali maksimal 1 periode.
g) Lazimnya tujuan keanggotaan lembaga negara independen ialah sebagai bandul penyeimbang perwakilan dengan sifat nonpartisan.
Gunawan
A. Tauda juga berpendapat, dalam menentukan suatu lembaga negara dapat
dikatakan sebagai lembaga negara independen jika dapat memenuhi tiga unsur
yakni unsur a, b, dan c.[8]
Dari karakteristik tersebut maka dapat dikemukakan
beberapa lembaga negara yang tergolong ke dalam lembaga negara independen,
yakni:[9]
(a) Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Komisi Pemilihan Umum dibentuk berdasarkan Pasal 22E ayat
(5) Undang-Undang Dasar 1945 jo. Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Independensi Komisi
Pemilihan Umum telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 22E ayat (5)
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Komisi
Pemilihan Umum bersifat independen dalam arti bebas dari pengaruh dari cabang
kekuasaan manapun. Hal ini terlihat dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.[10]
Meskipun, Komisi Pemilihan Umum disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945,
tetapi tugas dan kewenangannya diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu,
Komisi Pemilihan Umum digolongkan sebagai state
auxiliary organ.
(b) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Pengawasan pemilihan umum telah terbentuk sejak pemilu 1982
oleh Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu. Kemudian, pembentukan Badan Pengawas
Pemilu terjadi dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu. Seiring berjalannya dinamika pengawas pemilu, terdapat
perubahan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu. Badan Pengawas Pemilu memiliki kewenangan berupa
pengawasan proses pemilu, menerima pengaduan, dan penanganan pelanggaran proses
pemilu. Jika dilihat dari fungsi tersebut, maka Badan Pengawas Pemilu merupakan
bagian dari kekuasaan kehakiman (yudikatif). Akan tetapi, Badan Pengawas Pemilu
juga memiliki kewenangan yang identik dengan cabang kekuasaan legislatif yakni
berupa menetapkan peraturan yang terkait dengan pengawasan pemilu.
(c) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Dasar pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga
negara yang memiliki kewenangan mengatur dan juga memiliki pertanggungjawaban
kepada Presiden. Sehingga, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat digolongkan
ke cabang eksekutif. Akan tetapi, selain kewenangan mengatur, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha juga memiliki kewenangan untuk mengawasi praktek persaingan
usaha dan juga mengadili praktek persaingan usaha tidak sehat dan praktek
monopoli. Tugas yang diembannya ini menjadi kewenangan kekuasaan kehakiman
(yudikatif).
(d) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Komisi Penyiaran Indonesia dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Komisi Penyiaran Indonesia terdiri dari
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat yang dibentuk pada tingkatan pusat dan Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah yang dibentuk ditingkat provinsi yang memiliki tugas
yang bersifat koordinatif yakni berupa kebijakan secara nasional dibuat oleh
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dan eksekusi ditingkat provinsi dijalankan
oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah.[11]
Komisi Penyiaran Indonesia memiliki kewenangan untuk menyusun peraturan dan
menetapkan pedoman penyiaran. Fungsi ini identik dengan fungsi yang dimiliki
oleh cabang kekuasaan legislatif. Sehingga, Komisi Penyiaran Indonesia dapat
dikategorikan sebagai bagian kekuasaan legislatif. Akan tetapi selain
kewenangan tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia juga memiliki kewenangan
sebagai pengawas peraturan dan pedoman perilaku penyiaran dan dapat menjatuhkan
sanksi terhadap pelanggar peraturan dan pedoman perilaku penyiaran. Sehingga,
jika dilihat dari kewenangan tersebut Komisi Penyiaran Indonesia dapat
dikategorikan sebagai cabang kekuasaan yudikatif.
(e) Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Ombudsman pertama kali dibentuk dengan adanya Keputusan
Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman. Cita utama pembentukan
Ombudsman oleh Gus Dur ialah ingin adanya suatu lembaga yang memiliki
kewenangan untuk mengawasi kinerja dari pemerintah dan pelayanan umum dari
pengadilan.[12] Keberadaan Ombudsman
sebagai lembaga eksternal diharapkan mampu mengontrol penyelenggara negara dan
pelayanan publik.[13]
Kedudukan Ombudsman Republik Indonesia kemudian diperkuat dengan adanya
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia disebutkan bahwa ombudsman merupakan lembaga negara yang berwenang
untuk mengawasi pelayanan publik. Ombudsman berwenang untuk menguji
tindakan-tindakan terhadap norma-norma kepantasan.[14]
Kewenangan pengawasan identik dengan kewenangan yudikatif, sehingga dapat
digolongkan ke dalam cabang kekuasaan yudikatif. Akan tetapi, Ombudsman juga
memiliki peran sebagai administrator yang identik dengan kewenangan dari
eksekutif.
(f) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pembentukan PPATK dilatarbelakangi
adanya tidak pidana pencucian uang dari hasil kejahatan. Lembaga ini
bertanggung jawab kepada Presiden. Sehingga dapat dikatakan sebagai lembaga
negara yang termasuk dalam kekuasaan eksekutif. Akan tetapi, lembaga ini juga
memiliki kewenangan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang. Kewenangan tersebut identik dengan kewenangan yudikatif.
(g) Komisi Yudisial (KY).
Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B UUD 1945
kemudian diturunkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial yang kemudian diamandemen dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Independensi Komisi Yudisial telah ditegaskan dalam Pasal 24 UUD 1945.
Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial ialah mengawasi integritas hakim
agung.
(h) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
terjadi pada tanggal 7 Juni 1993 melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993
tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Independensi Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia ditegaskan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memiliki tugas untuk mengungkapkan
berbagai bentuk pelanggaran HAM di Indonesia.
(i) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Komisi Nasional Anti Kekerasaan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasaan Terhadap Perempuan yang kemudian diperbarui melalui
Perpres No. 65 Tahun 2005 yang memiliki tujuan untuk merespon isu-isu hak-hak
perempuan terkhusus terhadap permasalahan kekerasaan terhadap perempuan. Di
Indonesia sendiri, lahirnya Komnas Perempuan merupakan tuntutan dari gerakan
perempuan agar negara bertanggung jawab atas kekerasaan terhadap perempuan pada
kerusuhan reformasi 1998.[15]
(j) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pembentukan Komisi Pemeberantasan Korupsi dilatarbelakangi
dengan adanya salah satu agenda pembenahan tata kelola pemerintahan, yakni
berupa pemberantasan korupsi.[16]
Dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi tertuang dalam Pasal 43
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang kemudian ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi merupakan lembaga negara yang memiliki keterkaitan hubungan dengan
cabang kekuasaan kehakiman. Sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
36/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berada di cabang
kekuasaan eksekutif. Perbedaan putusan tersebut berdasarkan analisa penulis
yang dilandasi oleh sifat state auxiliary
organ yang disampaikan Jimly Asshiddiqie, ialah dikarenakan Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara quasi yang memiliki kewenangan
sebagai pengatur akan tetapi juga sebagai penegak hukum dalam bidang
pemberantasan korupsi.
(k) Komisi Perlindungan Anak (KPA).
Pembentukan Komisi Perlindungan Anak didasarkan pada
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2003 dan ditegaskan Pasal
74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Komisi
Perlindungan Anak memiliki independensi yang setingkat dengan komisi negara.
Komisi Perlindungan Anak memiliki tugas untuk melindungi anak-anak dari segala
bentuk tindakan yang merugikan mereka.[17]
(l) Dewan Pers.
Dewan Pers dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1996 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Dewan Pers awalnya merupakan
penasehat pemerintah, tetapi kemudian beralih untuk mengembangkan kemerdekaan
pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.[18]
Dengan beralihnya tugas tersebut menunjukkan adanya independensi dari Dewan
Pers. Kemudian independensi Dewan Pers dituangkan dalam Pasal 15 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
(m) Dewan Pendidikan.
Fungsi dan tugas Dewan Pendidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Adapun
fungsi Dewan Pendidikan ditegaskan dalam Pasal 192 (2), (3), (4), dan (5).
Dewan Pendidikan memiliki peran penting dalam usaha untuk memajukan dunia
pendidikan baik ditingkat nasional maupun ditingkat provinsi dan
kabupaten/kota.[19]
(n) Komisi Informasi.
Komisi Informasi terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam undang-undang
tersebut juga disebutkan bahwa Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi
Provinsi, dan jika dibutuhkan terdapat pula Komisi Informasi Kabupaten/Kota.
Komisi Informasi memiliki kewenangan yang merupakan bagian dari cabang
kekuasaan yudikatif yakni berupa kewenangan untuk menyelesaikan sengketa informasi
publik. Selain itu, Komisi Informasi juga memiliki kewenangan administratif
yang merupakan kewenangan yang lazim dimiliki oleh eksekutif.
(o) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki tanggung jawab
untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban
dengan kewenangan memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban.[20]
2.
Tinjauan
Subjectum Litis dalam Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi
Ketentuan
mengenai kriteria subjectum litis
SKLN di Mahkamah Konstitusi, berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 24C ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun bunyi dari pasal tersebut adalah
sebagai berikut.
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Yang
kemudian diturunkan dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa: “Pemohon adalah
lembaga negara negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung
terhadap kewenangan yang dipersengketakan”.
Selanjutnya
dituangkan dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006
tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Kostitusional Lembaga
Negara, yang menyebutkan:
(1) Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah:
(a) Dewan Perwakilan Rakyat;
(b) Dewan Perwakilan Daerah;
(c) Majelis Permusyawaratan Rakyat;
(d) Presiden;
(e) Badan Pemeriksa Keuangan;
(f) Pemerintah Daerah; atau
(g) Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
(2) Kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945.
(3) Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yudisial).
Subjectum litis merupakan
subjek perkara sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 61 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006. Sedangkan, yang dimaksud dengan syarat objectum litis merupakan syarat obyek
yang dipersengketakan merupakan kewenangan konstitusional.
3.
Prospek
Lembaga Negara Independen dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah
Konstitusi
a.
Perkara
Nomor 030/SKLN-IV/2006
Dalam
kasus sengketa kewenangan ini melibatkan Komisi Penyiaran Indonesia dengan
Presiden Republik Indonesia cq. Menteri Komunikasi dan Informatika dengan nomor
perkara 030/SKLN-IV/2006. Argumentasi dari Komisi Penyiaran Indonesia ialah
Komisi Penyiaran Indonesia memiliki kewenangan konstitusional dengan
mendasarkan pada tafsiran Mahkamah Konstitusi yang tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 yang menyebutkan bahwa keberadaan
Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak menyalahi dan tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Komisi
Penyiaran Indonesia berargumentasi bahwa ketentuan materiil pembentukan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran berlandaskan pada Pasal
28F, Pasal 31 ayat (1), Pasal 32, Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang
Dasar 1945. Sehingga, argumentasi dari Komisi Penyiaran Indonesia merupakan
lembaga negara pelindung terhadap hak akan informasi sebagaimana tertuang dalam
Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun
yang menjadi obyek sengketa dalam sengketa tersebut ialah kewenangan pemberian
izin penyelenggara penyiaran dan pembuatan aturan dalam hal penyiaran. Kedua
kewenangan tersebut yang berdasarkan dalil dari Komisi Penyiaran Indonesia
merupakan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia. Akan tetapi, diambil alih oleh
Menteri Komunikasi dan Informatika.
Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa Komisi Penyiaran Indonesia tidak memiliki legal standing sehingga permohonan harus
dinyatakan tidak diterima (niet
otvankelijk verklaard). Dasar dari putusan tersebut dikarenakan Mahkamah
Konstitusi berpandangan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia merupakan lembaga
negara yang dibentuk dan memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
bukan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
b.
Perkara
Nomor 3/SKLN-X/2012
Dalam
sengketa tersebut, melibatkan Komisi Pemilihan Umum dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Papua dan Gubernur Papua. Dalam putusan tersebut unsur subjectum litis pemohon dan termohon,
oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan terpenuhi.[21]
Hal ini menunjukkan, meskipun Komisi Pemilihan Umum bukanlah merupakan lembaga
negara yang disebutkan secara langsung dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
disebutkan dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006. Akan
tetapi, Komisi Pemilihan Umum merupakan lembaga negara independen. Dalam
artian, Komisi Pemilihan Umum tidak disebutkan secara langsung dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan dalam Pasal 22E ayat (5) pada frasa
“komisi pemilihan umum” yang diartikan oleh beberapa pakar hukum tata negara
merupakan bentuk jamak, tidak tertuju pada satu lembaga penyelenggara pemilu.
Sengketa
dalam perkara Nomor 3/SKLN-X/2012 terkait dengan kekhususan yang dimiliki
Provinsi Papua dalam bidang pemerintahan. Latar belakang terjadinya sengketa
dikarenakan adanya ketidakterkaitan UU Otonomi Khusus dengan UU Pemerintah
Daerah yang berimplikasi rancunya proses penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur Papua.[22]
Dari
segi objectum litis pada putusan
tersebut yakni berupa kewenangan penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan Wakil
Gubernur di Papua yang merupakan daerah otonomi khusus. Dalam hal ini, Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa kewenangan yang dipersengketakan dalam SKLN tidak
harus merupakan kewenangan yang disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945,
akan tetapi, juga termasuk kewenangan delegasi yang bersumber dari kewenangan
atribusi yang disebutkan dalam UUD 1945.
Mahkamah
berpendapat bahwa pemohon dan termohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo atau dapat dikatakan bahwa pemohon dan termohon memenuhi
syarat subjectum litis. Dengan
demikian, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan, yakni menolak eksepsi
Termohon I dan mengabulkan permohonan Pemohon. Dua putusan tersebut kami
tuangkan ke dalam tabel berikut:
Tabel 1. Analisis Putusan MK No 030/SKLN-IV/2006 dan
Putusan MK No 3/SKLN-X/2012
Variabel |
030/SKLN-IV/2006 |
3/SKLN-X/2012 |
Pemohon |
Komisi
Penyiaran Indonesia |
Komisi
Pemilihan Umum |
Termohon |
Presiden
Republik Indonesia cq Menteri
Komunikasi dan Informatika. |
Pemerintahan
Provinsi Papua, yakni Gubernur Papua dan DPRD Provinsi Papua. |
Status
Lembaga Pemohon |
Lembaga
Negara Independen |
Lembaga
Negara Independen |
Status
Lembaga Termohon |
Constitutional state organ |
Constitutional state organ |
Subjectum Litis |
Tidak
Terpenuhi |
Terpenuhi |
Objectum Litis |
Kewenangan
pemberian izin penyiaran. |
Kewenangan
menyelenggarakan pemilukada di daerah otonomi khusus. |
Ratio Legis MK |
Komisi
Penyiaran Indonesia merupakan lembaga negara yang dibentuk dan kewenangannya
diberikan oleh undang-undang bukan UUD 1945. Dengan demikian KPI tidak
memenuhi kriteria subjectum litis
SKLN di Mahkamah Konstitusi. |
Terpenuhinya
syarat subjectum litis dengan
kriteria baik pemohon dan termohon memiliki legal standing. Kemudian juga terpenuhinya syarat objectum litis yakni berupa kewenangan
dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Akan tetapi, dalam putusan tersebut
terdapat dissenting opinion yakni
oleh Hakim Konstitusi Maria Farida dan Hamdan Zoelva. |
Amar
Putusan |
Tidak
dapat diterima |
1. Menolak
eksepsi Termohon I. 2. Mengabulkan
permohonan Pemohon. |
Sumber: www.mkri.id
Dari
tabel tersebut terlihat bahwa meskipun keduanya merupakan lembaga negara
independen, tetapi tidak semuanya jika terjadi sengketa dapat diselesaikan di
Mahkamah Konstitusi. Sengketa kewenangan yang melibatkan lembaga negara
independen yang dapat diselesaikan di Mahkamah Konstitusi ialah sengketa yang
melibatkan lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional. Meskipun
tidak disebutkan dengan jelas nama lembaganya tetapi kewenangan
konstitusionalnya telah disebutkan dengan jelas.
Argumentasi
tersebut diatas sejalan dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang menyatakan
bahwa sengketa yang melibatkan lembaga negara yang bukan lembaga negara utama (constitutional state organ) dapat
diselesaikan di Mahkamah Konstitusi dengan syarat lembaga negara tersebut
memiliki constitutional importance.[23]
Yang dapat menentukan lembaga negara tersebut memiliki constitutional importance atau tidak ialah hakim konstitusi. Hal
ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi sebagai the
enforcer,[24]
the guardian or the interpreter of the
constitution.[25]
Dilihat
dari tugas dan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia ialah merupakan
perpanjangan tangan dari cabang kekuasaan eksekutif, meskipun merupakan lembaga
negara independen. Sehingga lembaga negara yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut
ialah lembaga negara pembentuk dalam hal ini Presiden dan DPR.[26]
Akan tetapi, penulis lebih condong penyelesaian antara Komisi Penyiaran
Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informatika dapat diselesaikan oleh
Presiden. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga kewenangan izin penyiaran ialah
kewenangan eksekutif (kewenangan Presiden) sehingga Presiden dapat menentukan
lembaga negara mana yang diberikan otoritas untuk menerbitkan izin penyiaran.
D.
P E N U T U P
Berkembangnya
lembaga negara independen di Indonesia memberikan dampak terhadap efektivitas
lembaga negara independen yang dibentuk. Selain itu, beberapa lembaga negara
independen terlibat sengketa kewenangan dengan lembaga negara lainnya. Seperti
kasus sengketa kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia dengan Presiden
Republik Indonesia cq. Menteri
Komunikasi dan Informatika. Sengketa ini didaftarkan di Mahkamah Konstitusi
dengan Nomor Perkara 030/SKLN-IV/2006
dengan obyek sengketa ialah kewenangan pemberian izin penyiaran. Mahkamah
Konstitusi memberikan putusan bahwa perkara ini tidak dapat diterima. Kasus
sengketa kewenangan berikutnya melibatkan Komisi Pemilihan Umum dengan
Pemerintah Provinsi Papua dalam hal ini Gubernur Papua dan DPRD Provinsi Papua.
Sengketa ini diregister dengan Nomor Perkara 3/SKLN-X/2012
dengan obyek sengketa penyelenggaraan pemilukada di daerah otonomi khusus dalam
hal ini Provinsi Papua. Keduanya merupakan kasus sengketa yang melibatkan
lembaga negara independen. Akan tetapi, tidak semuanya memenuhi syarat subjectum litis di Mahkamah Konstitusi.
Hal ini dikarenakan Komisi Pemilihan Umum merupakan lembaga negara independen. Sedangkan,
Komisi Penyiaran Indonesia merupakan lembaga negara independen yang dibentuk
berdasarkan undang-undang. Dengan demikian, tidak semua sengketa kewenangan
yang melibatkan lembaga negara independen dapat diselesaikan di Mahkamah
Konstitusi. Dilihat dari tugas dan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia ialah
merupakan perpanjangan tangan dari cabang kekuasaan eksekutif, meskipun
merupakan lembaga negara independen. Sehingga lembaga negara yang dapat
menyelesaikan sengketa tersebut ialah lembaga negara pembentuk dalam hal ini
Presiden dan DPR.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
[1] Eddyono, L. W.,
(2010), “Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah
Konstitusi”, Jurnal Kostitusi, 7 (3):
1-48.
[2] Hendarman.
(2012). “Peran Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan Pendidikan”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 18
(1).
[3] Kadarsih,
S. (2010). “Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam Pelayanan
Publik Menurut UU No. 37 Tahun 2008”. Jurnal
Dinamika Hukum, 10 (2).
[4] Lestari,
D. P. (2018). “Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam
Perlindungan Korban Kekerasan Anak”. Jurnal
Martabat: Jurnal Perempuan dan Anak, 2 (1).
[5] Patra,
R. (2012). “Efektivitas Kelembagaan Komnas Perempuan dalam Perlindungan HAM
bagi Perempuan di Indonesia”. Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, 41 (4).
[6] Pigome,
M. (2011). “Implementasi Prinsip Demokrasi dan Nomokrasi dalam Struktur
Ketatanegaraan RI Pasca Amandemen UUD 1945”. Jurnal Dinamika Hukum, 11 (2).
[7] Sambodo,
S. (2017). “Pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Riau Terhadap
Penyelenggaraan Penyiaran TV Kabel di Pekanbaru 2015-2016”. Jurnal JOM FISIP, 4 (2).
[8] Simamora,
J. (2015). “Comparison of Constitutional Court Authority between Indonesia and
South Korea”. Jurnal Dinamika Hukum,
15 (3).
[9] Solechan.
(2018). “Memahami Peran Ombudsman sebagai Badan Pengawas Penyelenggaraan
Pelayanan Publik di Indonesia”. Adminitrative
Law & Governance Journal, 1 (1).
[10] Tauda,
G. A. (2011). “Kedudukan Komisi Negara Independen dalam Struktur Ketatanegaraan
Republik Indonesia”. Jurnal Pranata Hukum,
6 (2).
[11] Tuage,
S. N. (2013). “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban Oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)”. Jurnal
Lex Crimen, II (2).
Buku
[12] Asshiddiqie,
J. (2016). Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika.
[13] Mochtar,
Z. A. (2016). Lembaga Negara Independen,
Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi.
Jakarta: Rajawali Press.
[14] Tauda,
G. A. (2012). Komisi Negara Independen.
Yogyakarta: Genta Press.
[15] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi. (2010). Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia.
[16] Tim Penyusun. (2017). Buku Saku Wartawan. Cet. 7. Jakarta: Dewan Pers.
Skripsi
[17] Iswandi, K. (2020). Penyelesaian
Sengketa Kewenangan State Auxiliary Organ di Indonesia. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
[1] Eddyono, L. W., (2010), “Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Kostitusi, 7 (3): 1-48, h. 39.
[2]. Asshiddiqie, J. (2016). Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika. h. 47.
[3]. Ibid. h. 21.
[4]. Ibid. h. 22.
[5]. Ibid. h. 23.
[6]. Tim Penyusun Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi. (2010). Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. h. 4.
[7]. Tauda, G. A. (2011). “Kedudukan
Komisi Negara Independen dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Pranata Hukum, 6 (2). h. 174.
[8]. Ibid. h. 175.
[9]. Ibid.
[10]. Tauda, G. A. (2012). Komisi Negara Independen. Yogyakarta:
Genta Press. h. 102-104.
[11]. Sambodo, S. (2017). “Pengawasan
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Riau terhadap Penyelenggaraan Penyiaran TV
Kabel di Pekanbaru 2015-2016”. JOM FISIP,
4 (2). h. 2.
[12]. Kadarsih, S. (2010).” Tugas dan
Wewenang Ombudsman Republik Indonesia Dalam Pelayanan Publik Menurut UU No. 37
Tahun 2008”. Dinamika Hukum, 10 (2).
h. 179.
[13]. Solechan. (2018). “Memahami
Peran Ombudsman sebagai Badan Pengawas Penyelenggaraan Pelayanan Publik di
Indonesia”. Adminitrative Law &
Governance Journal, 1 (1). h. 73.
[14]. Iswandi, K. (2020). Op. Cit. h. 49.
[15]. Patra, R. (2012). “Efektivitas
Kelembagaan Komnas Perempuan dalam Perlindungan HAM bagi Perempuan di Indonesia”.
Masalah-Masalah Hukum, 41 (4). h.
596.
[16]. Iswandi, K. (2020). Op. Cit. h. 44.
[17]. Lestari, D. P. (2018). “Peran
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Perlindungan Korban Kekerasan
Anak”. Martabat: Jurnal Perempuan dan
Anak, 2 (1). h. 319.
[18]. Tim Penyusun.
(2017). Buku Saku Wartawan. Cet. 7.
Jakarta: Dewan Pers. h. 4.
[19]. Hendarman. (2012). “Peran
Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan Pendidikan”. Pendidikan dan Kebudayaan, 18 (1). h.
36.
[20]. Tuage, S. N. (2013). “Perlindungan
Hukum Terhadap Saksi dan Korban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK)”. Lex Crimen, II (2). h. 56-57.
[21]. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 3/SKLN-X/2012, h. 170.
[22]. Mochtar, Z. A. (2016). Lembaga Negara Independen, Dinamika Perkembangan dan Urgensi
Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press. h.
142-143.
[23]. Asshiddiqie, J. (2016). Op. Cit. h. 104.
[24]. Pigome, M. (2011). “Implementasi
Prinsip Demokrasi dan Nomokrasi dalam Struktur Ketatanegaraan RI Pasca
Amandemen UUD 1945”. Dinamika Hukum,
11 (2). h. 335.
[25]. Simamora, J. (2015). “Comparison
of Constitutional Court Authority between Indonesia and South Korea”. Dinamika Hukum, 15 (3). h. 332-333.
[26]. Tim Penyusun Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi, 2010, Op. Cit.
h. 158.
Copyright (c) 2020 Kelik Iswandi, Nanik Prasetyoningsih
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
Cited-By:
1. Menggagas Peradilan Etik Penyelenggara Negara Di Indonesia
Harmoko M. Said
SASI vol: 27 issue: 1 first page: 24 year: 2021
Type: Journal [View Source]
2. The dispute resolution of the authority of state institutions in Indonesia
P R Capella, I S Putra, W S Widiarty, Y Karlina, U Hibar, A Laksana
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science vol: 1181 issue: 1 first page: 012009 year: 2023
Type: Journal [View Source]
3. Diversion of Corruption Eradication Commission of The Republic of Indonesia Employees To State Civil Apparatus
Muhammad Rinaldy Bima
SASI vol: 29 issue: 3 first page: 417 year: 2023
Type: Journal [View Source]