|
S A S I Volume 26
Nomor 4, Oktober -
Desember
2020 : h.
458
- 473 p-ISSN: 1693-0061 | e-ISSN: 2614-2961 Jurnal Terakreditasi Nasional, SK. No. 28/E/KPT/2019 This is open access article under the CC-BY-NC 4.0 International License |
Miskonsepsi
Pembebanan Tanggung Jawab kepada Direksi Badan Usaha Milik Negara dalam Jerat
Tindak Pidana Korupsi
Bayu Novendra
1, Aulia Mutiara Syifa
2*
1,2Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
E-mail: aulia.mutiara71@ui.ac.id
Dikirim: 31/05/2020 |
Direvisi: 01/10/2020 |
Dipublikasi: 25/12/2020 |
||
Info Artikel |
|
Abstract |
||
Keywords: SOEs Corruption; SOEs Lost; Separated
State’s Assets; Separate Legal Entity; Business Judgement Rule Principle. |
|
The dualism of the
conception of state assets separated in State-Owned Enterprises (SOEs) in
Indonesian legislation raises a polemic in the operation of SOEs as a business
entity. In essence, in Act Number 19 of 2003 concerning SOEs, separated state
assets no longer include state assets and their development and management
are based on sound corporate principles. Meanwhile, in Law Number 17 of 2003
concerning State Finance, it is stated that one of the state finances is
state assets separated from SOEs. Therefore, if it is related to the
enactment of Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption, SOEs
that suffer losses can be charged with criminal acts of corruption because
they have harmed state finances. By using the juridical-normative method and
literature study as data collection techniques, the results of this study
confirm the nature of BUMN as a company that is separate from its
shareholder, namely the state. This research also encourages the use of
Business Judgment Rule principle in proof as an effort to protect all actions
of the Directors of BUMN that have a good intention to run a BUMN that
suffers losses. |
||
|
|
Abstrak |
||
Kata
Kunci: Korupsi BUMN; Kerugian
BUMN; Kekayaan Negara yang Dipisahkan; Prinsip Keterpisahan Perseroan dengan
Pemegang Saham; Prinsip Business Judgement Rule. |
|
Dualisme konsepsi kekayaan negara yang
dipisahkan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia menimbulkan polemik dalam penyelenggaraan usaha BUMN sebagai suatu
badan usaha. Hakikatnya, kekayaan negara yang dipisahkan sebagai penyertaan
modal BUMN bukan termasuk keuangan negara dan pembinaan serta pengelolaannya
didasarkan pada prinsip good corporate governance. Namun, dalam
Undang-Undang Keuangan Negara, yang termasuk keuangan negara salah satunya
adalah kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN. Sehingga, Direksi BUMN yang
mengalami kerugian dapat dijerat tindak pidana korupsi karena telah merugikan
keuangan negara. Nyatanya, tidak selalu kerugian BUMN terjadi karena suatu
niat jahat untuk menguntungkan diri sendiri, justru lebih banyak terjadi
karena dinamika usaha. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif dan studi
kepustakaan sebagai teknik pengumpulan data, hasil dari penelitian ini
menegaskan hakikat BUMN sebagai suatu perseroan yang terpisah dari pemegang
sahamnya, yakni negara. Penelitian ini juga mendorong penggunaan prinsip Business
Judgement Rule dalam pembuktian sebagai upaya perlindungan atas segala
tindakan Direksi BUMN yang telah beritikad baik menjalankan BUMN yang
mengalami kerugian. |
||
DOI: |
|
|||
A. PENDAHULUAN
Perekonomian
nasional Indonesia sebagai salah satu cara untuk mencapai tujuan bernegara
diatur ketentuannya dalam konstitusi Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar 1945,
tepatnya di dalam Pasal 33. Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) merupakan bagian dari pelaku dalam sistem perekonomian
nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan,
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
BUMN memiliki fungsi untuk mengelola usaha yang objeknya adalah cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak,
ataupun mengelola usaha yang objeknya bersumber dari bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Pelaksanaan usaha tersebut dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.[1]Sehingga, secara konstitusional,
esensi eksistensi BUMN di Indonesia adalah untuk memperkuat perekonomian negara
dengan pengelolaan sumber daya Indonesia yang digunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan berpegangan pada demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan.
Amanat dalam
konstitusi tersebut diejawantahkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN. Dalam Pasal 2 undang-undang tersebut disebutkan bahwa, BUMN
memiliki maksud dan tujuan memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; mengejar
keuntungan; menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh
sektor swasta dan koperasi; dan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan
kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.[2] Kemudian, diatur pula
dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang yang sama, bahwa BUMN adalah badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan,
dan atasnya negara memiliki kepemilikan saham atasnya jika BUMN tersebut
berbentuk perseroan terbatas.
Berdasarkan
uraian tersebut, pada hakikatnya BUMN sama seperti perseroan terbatas pada
umumnya yang salah satu cirinya adalah memiliki kekayaan yang terpisah dari
pemilik modalnya dan hubungan antara pemilik modal, yakni negara dengan BUMN
berdasarkan kepemilikan negara atas saham BUMN sehingga selayaknya pengaturan
mengenai pengelolaan, tanggung jawab dan beban risiko BUMN tunduk pada
ketentuan hukum perdata, yakni peraturan perundang-undangan mengenai perseroan
terbatas. Namun, di berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia masih
ditemukan inkonsistensi dalam pengaturan konsep kekayaan negara yang dipisahkan
pada BUMN. Pada pandangan pertama, bersikukuh menyatakan bahwa kekayaan negara
yang dipisahkan ke BUMN akan tetap menjadi milik negara. Sedangkan, pada
pandangan kedua, begitu negara memisahkan kekayaannya untuk dijadikan
penyertaan modal ke BUMN, maka hubungan kepemilikan negara dengan kekayaan
tersebut putus dan kekayaan tersebut berpindah menjadi milik BUMN. Inkonsistensi
ini menimbulkan berbagai polemik, terutama dalam hal pertanggungjawaban Direksi
BUMN, karena peraturan perundang-undangannya begitu tumpang tindih.
Kepastian
mengenai dualisme konsepsi kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia menjadi penting ketika dihadapkan dengan
pertanggungjawaban direksi BUMN. Penegasan tersebut menjadi penting karena
kegiatan usaha termasuk dalam BUMN adalah kegiatan yang penuh dengan
kemungkinan baik dan buruk suatu hasil serta tingginya persaingan. Kemudian,
karena adanya kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut diperlukan kepastian
apakah beban yang dipertanggungkan kepada direksi BUMN adalah juga banyak masuk
kedalam lingkungan hukum publik misalkan yang paling dekat adalah korupsi
(Dalam hal kekayaan negara dan BUMN disatukan), atau hanya lingkungan hukum
privat dan sedikit hukum publik (Dalam hal kekayaan negara dan BUMN
dipisahkan).
Di sisi lain,
dikarenakan adanya kemungkinan baik dan buruk dari hasil suatu kegiatan usaha,
berakibat pada dituntutnya direksi selaku pihak yang memiliki kewenangan dalam
menjalankan perseroan untuk dapat mengambil suatu kebijakan secara tepat dan
cepat. Dalam setiap kerugian yang timbul dari suatu keputusan direksi, tidak
serta merta segalanya dipersalahkan atau dimintakan pertanggungjawaban kepada
direksi, perseroan juga dapat menanggung risiko bisnis yang timbul dari
pengambilan kebijakan oleh direksi. Jika terjadi kerugian, masih dapat
ditoleransi dengan batas-batas tertentu mengingat tidak semua bisnis harus
mendapat keuntungan. Hal tersebut yang kemudian disebut sebagai doktrin business
judgment rule.
B.
METODE
PENELITIAN
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridi normatif, yakni penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.[3]
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan peristiwa yang
sedang diteliti, kemudian dianalisa berdasarkan fakta berupa data sekunder yang
diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Jenis data yang
digunakan adalah data sekunder, atau data yang diperoleh dari penelitian dan
pengolahan orang lain, dalam bentuk buku atau dokumen yang biasanya disediakan
di perpustakaan atau milik pribadi, seperti peraturan perundang-undangan, buku,
artikel jurnal, makalah, dan putusan berkaitan dengan kekayaan negara yang
dipisahkan pada BUMN serta pertanggungjawaban Direksi BUMN.
C.
PEMBAHASAN
1.
Dualisme Konsepsi Kekayaan Negara yang
Dipisahkan pada Badan Usaha Milik Negara dalam Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia
Hukum Indonesia
dalam menjelaskan konsepsi mengenai kekayaan negara yang dipisahkan dalam suatu
Badan Usaha Milik Negara terdapat perbedaan. Penyusun membagi perbedaan ini
dalam dua rezim. Rezim pertama terdiri atas Undang-Undang tentang Keuangan
Negara, Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara serta Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan rezim kedua adalah Undang-Undang
tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas,
Undang-Undang tentang Pasar Modal.
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mendefinisikan bahwa keuangan
negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.[4] Undang-undang
tersebut juga mengatur mengenai ruang lingkup keuangan negara, yang mana
termasuk kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara atau perusahaan daerah, yang dapat disebut sebagai Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).[5]
Pembentuk
Undang-Undang tentang Keuangan Negara ini memberikan persepsi bahwa
pendefinisian keuangan negara berdasarkan sisi obyek[6], subyek[7], proses[8] dan tujuan[9]. Luasnya cakupan keuangan
negara tersebut menjadikan pengelolaan keuangan negara dikelompokkan dalam
pengelolaan fiskal, pengelolaan moneter, pengelolaan kekayaan negara, dan kekayaan
negara yang dipisahkan.[10]
Definisi keuangan
negara yang juga mencakup kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN dan juga
BUMD pun juga diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Pembentuk Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara mendefinisikan
perbendaharaan negara sebagai pengelolaan dan pertanggungjawaban negara
termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) dan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD).[11] Pengertian ini pun juga
dituangkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa keuangan negara adalah:
Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau
yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a.
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b.
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban badan
usaha milik negara/badan usaha milik daerah, yayasan, badan hukum, dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan
modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.[12]
Sehingga, apabila
dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yakni setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka
terhadap Direksi BUMN yang BUMN-nya mengalami kerugian dapat didakwakan dengan
tindak pidana korupsi.
Sebagaimana yang
diuraikan sebelumnya, rezim pertama tidak membedakan status uang dan
kepemilikan kekayaan dalam suatu badan. Apabila dikaitkan dengan konsep
kekayaan negara yang dipisahkan ke BUMN, maka penyertaan modal negara ke BUMN
akan tetap menjadi kekayaan negara, bukan menjadi modal BUMN sepenuhnya, dengan
dimasukkannya kekayaan negara yang dipisahkan ke bagian dari keuangan negara
serta perbendaharaan negara, maka Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga yang
berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara[13], dapat memeriksa keuangan
dalam BUMN.
Hal ini
menimbulkan permasalahan karena mengingat sifat usaha BUMN selain untuk
memenuhi hajat hidup orang banyak dan menjadi penggerak perekonomian nasional,
juga bertujuan untuk meraih keuntungan. Sedangkan, dalam hal untuk meraih
keuntungan, suatu korporasi akan terjun dan bergerak terus dalam dunia usaha
dan bisnis yang mana memiliki pergerakan yang sangat dinamis sehingga merupakan
suatu hal yang cukup potensial untuk mendapat kerugian apabila iklim bisnis
tidak mendukung.
Sehingga,
terhadap rezim yang pertama, beberapa ahli menyampaikan kritiknya. Arifin P.
Soeria Atmadja menyatakan bahwa Undang-Undang tentang Keuangan Negara yang
seharusnya mengatur keuangan negara saja, meluas pengaturannya dan ditengarai
sebenarnya pembentuk undang-undang tersebut tidak memahami perbedaan prinsipiil
antara keuangan negara, keuangan daerah, keuangan BUMN/BUMD dan bahkan keuangan
swasta pun ikut diatur di dalam undang-undang tersebut.[14] Jusuf Indradewa pun juga
menyampaikan pendapatnya atas pengertian keuangan negara tersebut. Menurutnya,
keuangan negara adalah keuangan yang sepenuhnya menjadi hak atau kekayaan
negara sebagai badan hukum.[15] Sedangkan, BUMN Persero
sebagai badan hukum yang mempunyai status kemandirian, memiliki keuangan atau
kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan negara sebagai pemegang saham.
Pendapat Jusuf Indradewa tersebut didasarkan pada konsep perseroan terbatas
yang merupakan persekutuan modal dengan pemisahan modal antara sekutu dengan
perseroan.
Kritik-kritik
terhadap rezim pertama inilah melahirkan pandangan rezim kedua mengenai
kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang dimaksud dengan BUMN adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.[16]Kekayaan
negara yang dipisahkan dalam kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk
dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan
terbatas lainnya.[17] Kekayaan negara yang
dipisahkan kepada BUMN pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan lagi pada
sistem APBN namun langsung pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.[18]
Konsep BUMN
sebagai salah satu bentuk dari perseroan terbatas mengacu pada konsep yang ada
dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Sebagaimana yang diuraikan dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pengertian
perseroan terbatas adalah:
Badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.[19]
Konsep persekutuan
modal dalam perseroan terbataslah yang membedakan perseroan terbatas dengan
bentuk badan usaha lainnya. Maksud dari konsep ini adalah berkumpulnya modal
ialah suatu hal yang utama. Perseroan terbatas lebih berpotensi untuk
menghimpun modal sebesar-besarnya dan melalui pasar modal sebagai salah satu
sarana perseroan terbatas untuk menghimpun dana publik untuk digunakan sebagai
modal dalam bentuk saham untuk perseroan terbatas,[20] dalam perseroan terbatas,
modal dari para penyetor modal setelah diserahkan, akan menjadi modal dari
perseroan terbatas sebagai akibat dari kedudukan perseroan terbatas yang
merupakan subyek hukum, yakni berupa badan hukum, sehingga dapat mengemban hak
dan kewajiban sendiri, tidak ditanggung oleh sekutu-sekutu di dalamnya.[21]
Sesuai
Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN merupakan perusahaan
negara yang berbentuk perseroan maupun perusahaan umum sehingga konsep dari
BUMN sendiri pun mengikuti konsep dalam perseroan terbatas. Atas dasar hal
tersebut, Arifin P. Soeria Atmadja memandang bahwa sesungguhnya makna pemisahan
kekayaan negara yang dipisahkan ini dalam konsep bahwa pemerintah menyisihkan
kekayaan negara untuk dijadikan modal penyertaan guna dijadikan modal pendirian
perseroan atau untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan perseroan
terbatas dalam meningkatkan kegiatan usahanya.[22]
Berdasarkan
uraian tersebut, rezim kedua memandang kekayaan negara yang dipisahkan dalam
suatu BUMN akan menjadi modal dasar BUMN selayaknya seperti mekanisme pemasukan
modal ke perseroan terbatas. Dalam pandangan ini, negara dengan memberikan
kekayaan negara yang dipisahkan sebagai modal dari BUMN, bertindak selayaknya
investor atau pemegang saham dalam perseroan terbatas. Dengan masuknya kekayaan
negara yang dipisahkan ke BUMN, maka kekayaan negara tersebut akan melebur
menjadi modal BUMN dan negara sebagai gantinya akan mendapatkan saham senilai
modal yang diberikannya, yakni 51% saham untuk BUMN dalam bentuk Perseroan[23] atau 100% saham untuk
BUMN dalam bentuk Perusahaan Umum.[24] Sehingga, kekayaan negara
yang dipisahkan setelah diberikan ke BUMN tidak akan lagi menjadi kekayaan
negara. Pandangan dalam rezim ini akan berpengaruh pula pada mekanisme
pemeriksaan keuangan BUMN yang tidak lagi berprinsip pada sistem APBN atau pada
norma pemeriksaan keuangan pada instansi pemerintahan, namun pada
prinsip-prinsip perusahaan yang sehat serta pertanggungjawaban Direksi BUMN
dalam melaksanakan usaha BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas.
2.
Transformasi Status Hukum Kekayaan
Negara yang Dipisahkan dalam Badan Usaha Milik Negara
Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, peraturan perundang-undangan memberikan definisi
BUMN sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan. BUMN sendiri dapat berbentuk perusahaan perseroan yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau minimal 51% sahamnya dimiliki
oleh negara yang tujuan utamanya mengejar keuntungan; serta perusahaan umum
yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham yang
bertujuan untuk kemanfaatan umum.
Atas hal
tersebut, Hakim Konstitusi Harjono dalam dissenting opinion Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa terdapat hubungan
negara terhadap BUMN dalam bentuk Perseroan yakni suatu hubungan kepemilikan
sebagai pemegang saham Perseroan Terbatas yang hak dan kewajibannya tunduk pada
Undang-Undang Perseroan Terbatas. Sehingga, negara seharusnya tidak lagi
mempunyai kekuasaan yang bebas terhadap sebagian kekayaan negara yang
dipisahkan untuk menjadi modal perseroan karena telah dikonversi menjadi hak
pemegang saham sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Selanjutnya, ia
menerangkan bahwa dengan dikonversi kekayaan negara menjadi saham dalam
presentase yang tercermin sebagai hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham dan
hak untuk mendapatkan deviden, maka hubungan negara dengan kekayaan yang semula
dimilikinya menjadi putus.[25] Hak kepemilikan yang ada
pada negara akan digantikan oleh hak pemegang saham, dalam proses tersebut
terjadi suatu transformasi status hukum dari keuangan negara, menjadi keuangan
badan hukum. Sehingga, pengelolaan, tanggung jawab serta beban risiko berpindah
dari negara ke BUMN. Apabila kepemilikan negara masih melekat, justru menjadi
suatu paradoks karena negara menjadi memiliki dua titel hak atas satu barang
yang sama, yakni hak pemegang saham dan hak kepemilikan.
Menurut Arifin P.
Soeria Atmadja, dalam arsitektur keuangan publik, keuangan BUMN memiliki
kapasitas hukum sendiri yang berbeda dengan badan hukum lainnya karena BUMN
memiliki kapasitas hukum perdata, sehingga tata kelola dan tanggung jawabnya
pun berdasarkan ketentuan hukum perdata. Negara, dalam kedudukannya di BUMN,
merupakan subyek hukum perdata yang tindakan hukumnya semula dalam bentuk tugas
dan kewenangan (taak en bevoegheid) berubah menjadi hak dan kewajiban (bekwaamheid)
sebagai akibat dari transaksi horizontal, yakni pemberian modal oleh negara
kepada BUMN, yang tunduk pada rezim hukum perdata.[26] Oleh sebab itu, negara
sebagai subyek hukum publik tidak memiliki kewenangan dalam hukum perdata untuk
mengintervensi BUMN yang menjadikan BUMN tidak mandiri maupun bersaing dengan
sesama badan usaha privat lainnya. Dalam konsep bisnis, sulit dilakukan jika
regulasi terhadap BUMN masih memiliki pola pikir serba-negara yang berakibat
selain BUMN tidak mampu berkompetisi, juga tidak mampu untuk menghasilkan
portofolio bisnis yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi negara.[27]
3.
Alasan Pembebanan Tanggung Jawab pada
Direksi Badan Usaha Milik Negara atas Keputusa Bisnis yang Dibuatnya
Kepastian
mengenai dualisme yang dibahas dalam pokok bahasan sebelumnya menjadi penting
ketika dihadapkan dengan pokok pembahasan selanjutnya ini. Sudah terang
bahwasannya secara teoritis seharusnya kekayaan BUMN adalah terpisah dari
kekayaan negara. Penegasan tersebut menjadi penting karena kegiatan usaha
termasuk dalam BUMN adalah kegiatan yang penuh dengan kemungkinan baik dan
buruk suatu hasil serta tingginya persaingan. Kemudian, karena adanya
kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut diperlukan kepastian apakah beban yang
dipertanggungkan kepada direksi BUMN adalah juga banyak masuk kedalam
lingkungan hukum publik misalkan yang paling dekat adalah korupsi (Dalam hal
kekayaan negara dan BUMN disatukan), atau hanya lingkungan hukum privat dan
sedikit hukum publik (Dalam hal kekayaan negara dan BUMN dipisahkan).
Di sisi lain,
dikarenakan adanya kemungkinan baik dan buruk dari hasil suatu kegiatan usaha,
berakibat pada dituntutnya direksi selaku pihak yang memiliki kewenangan dalam
menjalankan perseroan untuk dapat mengambil suatu kebijakan secara tepat dan
cepat. Dalam setiap kerugian yang timbul dari suatu keputusan direksi, tidak
serta merta segalanya dipersalahkan atau dimintakan pertanggungjawaban kepada
direksi, perseroan juga dapat menanggung risiko bisnis yang timbul dari
pengambilan kebijakan oleh direksi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Munir Fuady, bahwa seorang direktur tidak serta merta dapat dimintai
pertanggungjawaban hanya karena alasan salah dalam memutuskan atau hanya karena
alasan kebijakan bisnis yang diambilnya mengakibatkan kerugian.[28] Jika terjadi kerugian,
masih dapat ditoleransi dengan batas-batas tertentu mengingat tidak semua
bisnis harus mendapat keuntungan. Hal sedemikan rupa yang kemudian disebut
sebagai doktrin business judgment rule. Doktrin tersebut kemudian yang
seharusnya digunakan menjadi parameter untuk melindungi ataupun menyalahkan dan
kemudian meminta pertanggungjawaban kepada direksi dalam setiap keputusan yang
diambil oleh direksi suatu korporasi yang dalam hal ini dalam bentuk
BUMN.
Black’s Law
Dictionary mendefinisikan Business Judgment Rule sebagai“the
presumption that in making business decision not involving direct self interest
or self dealing, corporate directors act in the honest belief that their
actions are in the corporation best interest.”[29]
Dengan kata lain, Business Judgment Rule
sebagai suatu tindakan dalam membuat suatu kebijakan bisnis yang tidak
melibatkan kepentingan diri sendiri, kejujuran dan mempertimbangkan yang
terbaik bagi perusahaan. Sedangkan, Robert Charles Clark mengartikan Business
Judgment Rule, yaitu:...a presumption that in making a business
decision, the director of corporation acted on an informed basis in good faith
and the honest belief that the action was taken in the best interest of the
company.[30]
Kedua penjelasan
di atas kembali menegaskan bahwa doktrin Business Judgment Rule sesungguhnya
melindungi direksi atas setiap keputusan bisnis yang merupakan transaksi
perseroan, selama hal itu dilakukan dalam batas-batas kewenangan dengan penuh
kehati-hatian dan itikad baik. Doktrin Business Judgment Rule muncul
diawali dari beberapa kasus yang terjadi di beberapa negara bagian Amerika
Serikat, kemudian dari kasus-kasus tersebut menimbulkan kesan bahwa direksi
sering ditempatkan sebagai pihak yang selalu dipersalahkan dalam perseroan.
Kesan tersebut tidak mencerminkan keadilan, karena direksi bukanlah pihak yang
selalu dapat dipersalahkan sepenuhnya atas pengelolaan perusahaan atau dengan
kata lain tanggung jawab tidak dapat dibebankan secara penuh kepada direksi.[31]
Doktrin
Business Judgment Rule lahir sebagai akibat adanya doktrin fiduciary
duty. Secara singkat, Business judgment rule merupakan reaksi atas
pembatasan diskresi yang timbul karena adanya kewajiban-kewajiban fiduciary bagi
direksi dalam mengurus perseroan.[32] Boen mengumpamakan bahwa fiduciary
duty adalah pohon dari buah yang bernama business judgment rule.[33]
Sehingga, jika pohonya dirawat dengan baik (fiduciary duty
dijalankan dengan baik) maka akan menghasilkan buah yang baik (Business
Judgement Rule), sedangkan bila pohonnya tidak dirawat dengan baik (fiduciary
duty dijalankan dengan tidak baik atau tidak dijalankan) maka akan
menghasilkan buah yang buruk atau tidak menghasilkan buah sama sekali.
Pada dasarnya,
dalam terminologi hukum pemegang fiduciary duty, menurut Black’s Law
Dictionary adalah: “A person holding the character of a trustee, or a
character analogous to that of trustee, in respect to the trust and confidence
involved in it and the scrupulous good faith and candor which it requires.”[34]
Dengan kata lain, seseorang yang memegang peranan sebagai trustee (wali amanat)
atau suatu peranan yang mirip dengan trustee terkait dengan adanya kepercayaan
dan keyakinan yang terdapat di dalamnya dan itikad baik secara seksama dan
kejujuran. Sebagai organ dari perseroan, direksi memiliki kewajiban menjalankan
fiduciary duty terhadap perseroan, bukan terhadap pemegang saham baik
secara individu maupun kelompok.[35] Karena itu, hanya
perseroan yang dapat memaksa direksi untuk menjalankan tugas fiduciary duty tersebut.
Lebih lanjut, Berdasarkan putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Delaware
Supreme Court di Amerika, direktur mempunyai tugas untuk mencapai
manfaat/kepentingan terbaik (best interest) bagi perseroan termasuk
pemegang sahamnya.[36] Tugas Direktur ini
menurut Delaware Supreme Court disebut fiduciary duties, yang
terdiri dari: care, loyalty dan good faith.[37]
Duty of care sebagai bagian
dari fiduciary duties, juga sebagai dasar pemeriksaan apakah direksi
memenuhi standar tingkah laku yang patut. Direksi yang bertindak dengan itikad
baik diartikan tidak memiliki kepentingan pribadi, dan tugas berikutnya adalah
bertindak dengan hati-hati. Esensi yang penting dari duty of care adalah
sikap hati-hati atau prudent, dengan ukuran bertindak seperti seorang
biasa yang hati-hati dalam mengurus urusannya sendiri.[38] Kewajiban untuk bertindak
dengan hati-hati atau duty of care menuntut direksi untuk membuat
kebijakan bisnis, melalui suatu proses pengambilan kebijakan, dengan tingkat
kehati-hatian yang umumnya digunakan oleh orang biasa dalam keadaan yang sama
dengan mempertimbangkan informasi yang tersedia secara wajar. Penggunaan
informasi yang cukup dalam pertimbangan untuk membuat suatu kebijakan merupakan
usaha itikad baik yang diperlukan dalam melakukan duty of care.[39]
Kriteria care dalam
penggunaan business judgment rule dapat dipenuhi dengan pertimbangan,
direktur telah memperoleh dan menggunakan materi serta pendapat dari para ahli
dan profesional seperti:[40] apraisal independen,
manajer investasi, dan konsultan hukum (walaupun dalam business
decision-making, tidak menjadi keharusan mutlak bagi Direktur untuk
mengikuti saran dari mereka). Namun sesungguhnya, duty of care, cukup
dipenuhi dengan menyewa profesional yang diperlukan untuk mengumpulkan semua
informasi terkait yang dibutuhkan, kemudian memberikan perhatian yang patut
kepada bisnis perseroan yang akan dijalankan.[41]
Duty of loyalty memerintahkan
bahwa best interest bagi perseroan dan pemegang sahamnya harus
didahulukan atau ‘mengambil tempat utama’ di atas semua kepentingan yang
dimiliki oleh direktur, manajer, pegawai bahkan diatas kepentingan yang
dimiliki oleh pemegang saham pengendali (controlling shareholder)
sekalipun.[42]
Pada awalnya dalam pelaksanaan duty of loyalty, direksi tidak boleh sama
sekali terlibat dalam transaksi conflict of interest, artinya direksi
tidak boleh mencari keuntungan pribadi dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan
oleh perseroan.[43]
Namun dalam perkembangannya, duty of loyalty menjadi konsep yang
berbeda, yakni mengakui adanya harga yang wajar (fair price), dan ada
kesepakatan yang wajar (fair dealing).[44] Standar ini menghendaki
agar direktur ‘yang mempunyai kepentingan’ (interested director) dan
atau ‘yang mempunyai kekuasaan dominan dan kendali’ terhadap direktur lainnya (dominating
director), mempunyai beban untuk membuktikan the entire fairness pada
transaksi yang dilakukan oleh perseroan sebelum pengadilan menetapkan asumsi business
judgment rule terhadapnya.[45]
Sedangkan, Duty
of good faith menghendaki agar Direktur bertindak dengan ‘kejujuran dalam
mencapai tujuan’ (honesty of purpose).[46] ‘Itikad baik’ (good
faith) merupakan segala sesuatu yang terdapat dalam keadaan pikiran
Direktur (is all about the director's state of mind), contohnya,
Direktur percaya dan yakin, tindakannya tersebut dalam rangka mencapai
kepentingan terbaik bagi perseroan.[47]
Selain itu,
doktrin Business Judgment Rule memberikan dorongan kepada direksi agar
berani mengambil kebijakan serta risiko dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya mengurus perseroan. Direksi tidak diperkenankan takut terhadap
ancaman yang mengakibatkan direksi bertanggung jawab secara pribadi atas
kerugian perseroan, yang mungkin timbul akibat dari tindakan maupun kebijakan
bisnis yang diambilnya, dalam Hukum Indonesia, doktrin fiduciary duty dan
business judgment rule secara implisit telah diatur dalam Pasal 92 dan Pasal 97 UU PT
yang mengatur sebagai berikut:
Pasal 92:
(1) Direksi
menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan.
(2) Direksi berwenang
menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang
ini dan/atau anggaran dasar.
Pasal 97:
(1) Direksi
bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam pasal 92
ayat (1).
(2) Pengurusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota direksi
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
(3) Setiap anggota
direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila
yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Direksi
terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota
Direksi.
(5) Anggota Direksi
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) apabila dapat membuktikan:
a.
kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b.
telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c.
tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d.
telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
Pengaturan UU PT
tersebut menetapkan kualifikasi-kualifikasi yang dapat membebaskan direksi dari
pertanggungjawaban pribadi, ketentuan pasal 97 ayat (5) menggambarkan dengan
jelas keberlakuan doktrin business judgment rule dalam konsep standard
judicial review. Karena, dalam peraturan UU PT tersebut terdapat anak
kalimat “...apabila dapat membuktikan...”. Kalimat tersebut menunjukan bahwa
penerapan doktrin business judgment rule di Indonesia harus dibuktikan
di pengadilan. Hal ini sangat berbeda dengan konsep business judgment rule
in abstention doctrine, jika nyata-nyata direksi dalam mengambil
keputusannya telah memenuhi kriteria business judgment rule, maka dia
tidak dapat dihadapkan ke pengadilan.[48]
Dengan kata lain,
kata-kata.”...apabila dapat membuktikan...” menunjukkan bahwa anggota
direksilah yang harus membuktikan bahwa dirinya telah memenuhi unsur huruf
a.b.c.dan d tersebut diatas. Pembelaan diri dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT
sebagaimana tersebut diatas bersifat kumulatif, sehingga semua unsur harus
dibuktikan oleh Direktur BUMN Persero agar ia terbebas dari pembebanan tanggung
jawab pribadi ataupun tanggung jawab secara tanggung renteng, sebaliknya
pemegang saham atas nama persero tidak dapat menambah unsur baru selain yang
diatur dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT tersebut agar direktur dapat dibebani
tanggung jawab pribadi ataupun tanggung jawab secara tanggung renteng.[49]
Terkait dengan
unsur Pasal 97 ayat (5) huruf b yaitu telah melakukan pengurusan dengan itikad
baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan harus dipenuhi ke semua unsur tersebut. Itikad baik berkaitan dengan
hati seseorang. Sedangkan kehati-hatian telah dijelaskan sebelumnya ketika
membahas mengenai salah satu unsur fiduciary duty yaitu duty of
care. Joseph T. Wells mengungkapkan teori “prudent man”, yang menyatakan
bahwa adanya korelasi tingkat kehati-hatian dengan lingkungan dan kebiasaan
dalam suatu bisnis. Inti dari teori “prudent man” adalah kebiasaan atau
kelaziman yang masuk akal yang dilakukan karyawan atau direksi dalam situasi
yang sama atau serupa.[50] Untuk menegaskan hal
tersebut Pasal 5 ayat (3) UU BUMN mengatur: Dalam
melaksanakan tugasnya, anggota direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan
peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip
profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, serta kewajaran.
Kemudian, unsur
tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian. Direksi harus menghindari
benturan kepentingan atau conflict of interest untuk menjamin keputusan
yang diambil dari pengurusan perusahaan semata-mata untuk kepentingan
perusahaan. Sebagai pencegahannya, UU PT telah melarang direksi yang terdapat
benturan kepentingan dengan perseroan untuk mewakili perusahaan dalam proses
pengambilan keputusan.[51] Untuk menghindari terjadi
transaksi yang dapat mendorong terjadinya benturan kepentingan maka, menurut
Bismar Nasution, paling tidak ada tiga jenis transaksi yang harus dihindari
oleh para direksi dalam mengambil keputusan bisnis, yaitu seorang direksi
melakukan transaksi dengan perusahaannya sendiri; dua perusahaan yang mempunyai
satu orang direksi yang sama melakukan perjanjian; dan sebuah induk perusahaan melakukan transaksi direksi dengan cabang
perusahaannya sendiri.[52]
Pasal 7 UU BUMN
mengatur bahwa para anggota direksi, komisaris dan dewan pengawas dilarang
mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung dari
kegiatan BUMN selain penghasilan yang sah. Selanjutnya, unsur telah
mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Penjelasan mengenai hal ini pada UU PT menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan mengambil
tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian termasuk juga
langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang
dapat mengakibatkan kerugian antara lain melalui forum rapat direksi. Upaya
pencegahan terjadinya pengurusan perusahaan yang tidak baik juga dapat ditemui
dalam penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance. Terkait BUMN
secara khusus Good Corporate Governance diatur dalam Peraturan Menteri
Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang
Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara sebagai
berikut:[53]
(1) Direksi harus
melaksanakan tugasnya dengan itikad baik untuk kepentingan BUMN dan sesuai
dengan maksud dan tujuan BUMN, serta memastikan agar BUMN melaksanakan tanggung
jawab sosialnya serta memperhatikan kepentingan dari berbagai pemangku
kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(2) Salah seorang
anggota Direksi ditunjuk oleh Rapat Direksi sebagai penanggung jawab dalam
penerapan dan pemantauan GCG di BUMN yang bersangkutan.
(3) Direksi harus
menyampaikan informasi mengenai identitas, pekerjaan-pekerjaan utamanya,
jabatan Dewan Komisaris di anak perusahaan/perusahaan patungan dan/atau
perusahaan lain, termasuk rapat-rapat yang dilakukan dalam satu tahun buku
(rapat internal maupun rapat gabungan dengan Dewan Komisaris/Dewan Pengawas),
serta gaji, fasilitas, dan/atau tunjangan lain yang diterima dari BUMN yang
bersangkutan dan anak perusahaan/perusahaan patungan BUMN yang bersangkutan,
untuk dimuat dalam Laporan Tahunan BUMN.
(4) Direksi wajib
melaporkan kepada BUMN mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya
(istri/suami dan anak-anaknya) pada BUMN yang bersangkutan dan perusahaan lain,
termasuk setiap perubahannya.
Dapat
disimpulkan, karena Pasal 11 UU BUMN menegaskan bahwa terhadap BUMN Persero
berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan
terbatas, oleh karena itu doktrin fiduciary duty dan business
judgment rule yang telah diserap dalam UU PT juga berlaku di BUMN yang
berbentuk perseroan. Doktrin tersebut kemudian yang seharusnya digunakan
menjadi parameter untuk melindungi ataupun menyalahkan dan kemudian meminta
pertanggungjawaban kepada direksi dalam setiap keputusan yang diambil oleh
direksi suatu korporasi yang dalam hal ini BUMN.
D.
P E N U T U P
Peraturan
perundang-undangan Indonesia memiliki inkonsistensi dalam memaknai konsep
kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN. Pada pandangan pertama, penyertaan
modal negara ke BUMN akan tetap menjadi kekayaan negara, bukan menjadi modal
BUMN sepenuhnya. Sehingga, norma pemeriksaan pada BUMN dilakukan berdasarkan
sistem APBN dan norma pemeriksaan keuangan instansi pemerintahan. Sedangkan,
pandangan kedua berpedoman bahwa kekayaan negara yang dipisahkan setelah diberikan
ke BUMN tidak akan lagi menjadi kekayaan negara. Sehingga, norma pemeriksaan
keuangan BUMN menggunakan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
Dalam teori
transformasi status hukum keuangan negara, hubungan negara terhadap BUMN dalam
bentuk Perseroan yakni suatu hubungan kepemilikan sebagai pemegang saham
Perseroan Terbatas yang hak dan kewajibannya tunduk pada Undang-Undang
Perseroan Terbatas. Sehingga, hak kepemilikan yang ada pada negara akan
digantikan oleh hak pemegang saham dan pengelolaan, tanggung jawab serta beban
risiko berpindah dari negara ke BUMN begitu terjadi transaksi horizontal berupa
pemisahan kekayaan negara yang dipisahkan ke BUMN. Keuangan BUMN juga memiliki
kapasitas hukum perdata, sehingga tata kelola dan tanggung jawabnya pun berdasarkan
ketentuan hukum perdata. Oleh sebab itu, negara sebagai subyek hukum publik
tidak memiliki kewenangan dalam hukum perdata untuk mengintervensi BUMN, hanya
dapat dilakukan dalam konteks negara sebagai badan hukum perdata atau pemegang
saham dari BUMN.
Adanya
kemungkinan baik dan buruk dari hasil suatu kegiatan usaha, berakibat pada
dituntutnya direksi selaku pihak yang memiliki kewenangan dalam menjalankan
perseroan untuk dapat mengambil suatu kebijakan secara tepat dan cepat. Dalam
setiap kerugian yang timbul dari suatu keputusan direksi, tidak serta merta
segalanya dipersalahkan atau dimintakan pertanggungjawaban kepada direksi,
perseroan juga dapat menanggung risiko bisnis yang timbul dari pengambilan
kebijakan oleh direksi. Jika terjadi kerugian, masih dapat ditoleransi dengan
batas-batas tertentu mengingat tidak semua bisnis harus mendapat keuntungan.
Hal itu yang disebut sebagai doktrin business judgment rule. Doktrin
tersebutlah kemudian yang seharusnya digunakan menjadi parameter dan alasan untuk
melindungi ataupun menyalahkan dan kemudian meminta pertanggungjawaban kepada
direksi dalam setiap keputusan yang diambil oleh direksi suatu korporasi yang
dalam hal ini dalam bentuk Badan Usaha Milik Negara.
Untuk mewujudkan optimalisasi BUMN sebagai salah satu pelaku perekonomian nasional yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum, perlu dilakukan penyeragaman peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai konsep kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN dengan berpatokan pada teori transformasi status hukum kekayaan negara yang dipisahkan menjadi keuangan BUMN dan menegaskan bahwa BUMN merupakan sepenuhnya subjek hukum privat yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan berdasarkan norma pemeriksaan yang ada pada instansi pemerintahan, atau negara sebagai badan hukum publik. Karena BUMN berbentuk perseroan telah ditegaskan merupakan sepenuhnya subjek hukum privat maka doktrin yang seharusnya digunakan untuk menjadi dasar atau alasan perlindungan ataupun penjatuhan pertanggungjawaban bagi direksi BUMN adalah doktrin business judgment rule
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
[1] Ais,
Chatamarrajid. (2001). “Fiduciary Duty” sebagai Standar Para Direksi dalam
Melaksanakan Tugasnya. Hukum dan Pembangunan 1 (XXXI): 63-72.
[2] Arsht, S. Samuel.
(1979). The Business Judgment Rule Revisited”. Hofstra Law Review 8.
[3] Brennan, Bartley
A. (1991). Current Developments Surrounding The Business Judgment Rule: A ‘Race
To The Bottom’ Theory Of Corporate Law Revived. Whittier Law Review: 301.
[4] Gold, Andrew S.
(2007). A Decision Theory Approach To The Business Judgment Rule: Reflections
On Disney, Good Faith, And Judicial Uncertainty. Maryland Law Review.
[5] Griffith, Sean J.
(2005). Good Faith Business Judgment: A Theory of Rhetoric in Corporate Law
Jurisprudence. Duke Law Journal, 55.
[6] Grossman,
Nadelle. (2007) Director Compliance with Elusive Fiduciary Duty in a Climate of
Corporate Governance Reform.Fordham Journal of Corporate & Financial Law,
12.
[7] Juliani, Henny.
(2018). Aspek Yuridis Transformasi Hukum Keuangan Publik ke Keuangan Privat
terhadap Pengelolaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan pada BUMN. Administrative
Law & Governance Journal, 4 (2).
[8] Juliani, Henny.
(2016). Pertanggungjawaban Direksi BUMN terhadap Perbuatan yang Mengakibatkan
Kerugian Keuangan Negara. Masalah-Masalah Hukum 45 (4): 299-306.
[9] Khairandy,
Ridwan. (2007). Konsepsi Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dalam Perusahaan
Perseroan. Jurnal Hukum Bisnis 26 (1).
[10] Lestari, Sartika
Nanda. (2015). Business Judgement Rule sebagai Immunity Doctrine bagi Direksi
Badan Usaha Milik Negara di Indonesia. Notarius 8 (2): 302-315.
[11] McMillan, Lori.
(2013). The Business Judgment Rule As An Immunity Doctrine. William &
Mary Business Law Review 4.
[12] Paputungan,
Merdiansa. (2017). Diskursus Kewenangan Audit BPK terhadap Keuangan BUMN
(Perseroan) Pasca Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013. Mimbar Hukum 29 (3):
430-444.
[13] Pramono, Nindyo.
(2007). Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank) Menurut UU No.40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan
5 (3).
[14] Roberts, William
M. (1991). Searching For A Paradigm For The Fiduciary Duties Of Corporate
Directors. Memphis State University Law Review.
[15] Sjahdeini, Sutan
Remy. (2001). Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris. Jurnal Hukum
Bisnis 14.
[16] Triem, Fred W.
(2007). Judicial Schizophrenia in Corporate Law: Confusing The Standard of Care
With The Business Judgment Rule. Alaska Law Review.
[17] Uebler, Thomas A.
(2008). Shareholder Police Power: Shareholders’ Ability To Hold Directors
Accountable For Intentional Violations Of Law. Delaware Journal Of Corporate
Law.
[18] Wuisang, Ari. (2015). Transformasi Keuangan Publik menjadi
Keuangan Perdata dalam Pendirian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) oleh
Pemerintah. Pakuan Law Review 1 (2).
Buku
[19] Atmadja, Arifin P. Soeria. (2014). Aktualisasi Hukum Keuangan
Publik. Bandung: Mujahid Press.
[20] Atmadja, Arifin P. Soeria. (2013). Keuangan Publik dalam
Perspektif Hukum. Jakarta: Rajawali Press.
[21] Atmadja, Arifin P. Soeria. (2007). Transformasi Status Hukum Uang
Negara sebagai Teori Keuangan Publik yang Berdimensi Penghormatan terhadap
Badan Hukum. Depok: Bidang Studi HAN FH UI.
[22] Boen, Hendra Setiawan. (2008). Bianglala Business Judgment Rule.
Jakarta: PT Tatanusa.
[23] Clark, Robert Charles. (1986). Corporate Law. New York:
Aspen Publisher.
[24] Dine, Janet. (2001). Company Law. London: Sweet &
Maxwell.
[25] Fuady, Munir. (2002). Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate
Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
[26] Garner, Bryan A. (2010). Black’s Law Dictionary. Toronto:
Thomson Group.
[27] Harris, F., Anggoro, T. (2010). Hukum Perseroan Terbatas:
Kewajiban Pemberitahuan Direksi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
[28] Knepper, W., Bailey, D. (1988). Liability of Corporate Officers
and Directors. New York: LexisNexis.
[29] Prayoko, Robert. (2015). Doktrin Business Judgment Rule;
Aplikasinya dalam Hukum Perusahaan Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu.
[30] Sardjono, A., Dewi, Y.
K., Irawaty, R., Pangaribuan, T. (2018). Pengantar Hukum Dagang.
Depok: Rajagrafindo Persada.
[31] Soekanto, S., Mamudji, S. (2018). Penelitian Hukum Normatif:
Suatu Tinjauan Singkat. Depok: RajaGrafindo Persada
Skripsi, Tesis, Disertasi dan Lain-Lain
[32] Arumsari, Agustina. (2014). Analisis Keputusan Bisnis Pada
Badan Usaha Milik Negara Berbentuk Perseroan Melalui Penerapan Doktrin
Fiduciary Duty Dan Business Judgment Rule Direksi (Studi Kasus Tindak Pidana
Korupsi Direktur BUMN). Tesis, Universitas Indonesia.
[33] Atmadja, Arifin P. Soeria. (2004). Carut Marut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Makalah Lepas.
[34] Hambali, Nurul Fauziah. (2018). Penerapan Doktrin Business
Judgment Rule Terkait Pertanggungjawaban Pidana Direksi BUMN Dalam Tindak
Pidana Korupsi. Tesis, Universitas Indonesia.
[35] Indradewa, Jusuf. (2002). Aspek Hukum dan Hakikat Keuangan
Negara dalam Kaitannya dengan Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara. Makalah
yang disampaikan pada Seminar Reposisi Keuangan Negara: Pengelolaan,
Pertanggungjawaban, dan Pemeriksaan Badan Usaha Milik Negara di Jakarta.
[1] Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
[2] Pasal 2
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
[3] Soerjono
Soekanto, Sri Mamudji. (2018). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. Depok: RajaGrafindo Persada, h. 13.
[4] Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
[5] Pasal 2
huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
[6] Sisi
obyek yang dimaksud adalah meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal,
moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu
baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
[7] Sisi
subyek yang dimaksud adalah meliputi seluruh obyek yang dimiliki negara,
dan/atau dikuasai Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, dan badan
lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
[8] Keuangan
negara dalam sisi proses mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan obyek mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
[9] Sisi
tujuan meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara.
[10] Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
[11] Pasal 1 angka
1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
[12] Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
[13] Pasal
23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[14] Arifin P. Soeria Atmadja.
(2004). Carut
Marut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Makalah lepas, h. 3.
[15] Jusuf
Indradewa. (2002). Aspek Hukum dan
Hakikat Keuangan Negara dalam Kaitannya dengan Pengelolaan Badan Usaha Milik
Negara. Makalah yang disampaikan pada Seminar Reposisi Keuangan Negara:
Pengelolaan, Pertanggungjawaban, dan Pemeriksaan Badan Usaha Milik Negara,
Jakarta, h. 8.
[16] Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
[17] Pasal 1
angka 10 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
[18] Penjelasan
Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.
[19] Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[20] Agus Sardjono,
Yetty Komalasari Dewi, Rosewitha Irawaty, Togi Pangaribuan. (2018). Pengantar Hukum Dagang. Depok:
Rajagrafindo Persada, h. 73.
[21] Ibid., h. 71.
[22] Arifin
P. Soeria Atmadja. (2007). Transformasi Status Hukum Uang Negara sebagai
Teori Keuangan Publik yang Berdimensi Penghormatan terhadap Badan Hukum. Depok: Bidang Studi HAN FH UI, h. 19-20.
[23] Pasal 1
angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
[24] Pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
[25] Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, h. 237-238.
[26] Arifin
P. Soeria Atmadja. (2014). Aktualisasi
Hukum Keuangan Publik. Bandung: Mujahid Press, h. 33.
[27] Arifin
P. Soeria Atmadja. (2013). Keuangan
Publik dalam Perspektif Hukum. Jakarta: Rajawali Press, h. 119-120.
[28] Munir
Fuady. (2002). Doktrin-Doktrin Modern
dalam Corporate Law dan Esksistensinya dalam Hukum Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti, h. 199.
[29] Bryan A.
Garner. (2010). Black’s Law Dictionary.
Toronto: Thomson Group, h. 212.
[30] Robert
Charles Clark. (1986). Corporate Law. New York: Aspen Publisher, h.123.
[31] Robert
Prayoko. (2015). Doktrin Business
Judgement Rule: Aplikasinya dalam Hukum Perusahaan Modern. Yogyakarta:
Graha Ilmu, h. 2.
[32] Freddy
Harris, Teddy Anggoro. (2010). Hukum
Perseroan Terbatas: Kewajiban Pemberitahuan Direksi. Bogor: Ghalia
Indonesia, h. 59.
[33] Hendra
Setiawan Boen. (2008). Bianglala Business
Judgement Rule. Jakarta: Tatanusa, h. 102 dan 110.
[34] Bryan A.
Garner. (2010). Black’s Law Dictionary.
Toronto: Thomson Group, h. 625.
[35] Janet
Dine. (2001). Company Law. London: Sweet & Maxwell, h. 7.
[36] Agustina
Arumsari. (2014). Analisis
Keputusan Bisnis pada Badan Usaha Milik Negara Berbentuk Perseroan Melalui
Penerapan Doktrin Fiduciary Duty Dan
Business Judgment Rule Direksi
(Studi Kasus Tindak Pidana Korupsi Direktur BUMN). Tesis, Universitas
Indonesia, h. 26.
[37] Ibid.
[38] Sean J.
Griffith. (2005). Good Faith Business
Judgment: A Theory of Rhetoric
in Corporate Law Jurisprudence. Duke
Law Journal 55 (1): 1-72, h. 10.
[39] Nadelle
Grossman. (2007). Director Compliance
with Elusive Fiduciary Duty in a Climate of Corporate Governance Reform. Fordham Journal of Corporate & Financial
Law 12, h. 402.
[40] William
M. Roberts. (1991). Searching For A
Paradigm For The Fiduciary Duties Of Corporate Directors. Memphis State University Law Review,
h. 504.
[41] Ibid.
[42] Thomas
A. Uebler. (2008). Shareholder Police
Power: Shareholders’ Ability To Hold Directors Accountable For Intentional
Violations Of Law. Delaware
Journal Of Corporate Law, h. 203.
[43] William
M. Roberts. (1991). Searching For A
Paradigm For The Fiduciary Duties Of Corporate Directors. Memphis State University Law Review,
h. 505.
[44] W.
Knepper, D. Bailey. (1988). Liability of Corporate Officers and Directors.
h. 82.
[45] William
M. Roberts. (1991). Searching For A
Paradigm For The Fiduciary Duties Of Corporate Directors. Memphis State University Law Review,
h. 505.
[46] Andrew
S. Gold. (2007). A Decision Theory Approach To The Business Judgment Rule:
Reflections On Disney, Good Faith, And Judicial Uncertainty. Maryland Law
Review, h. 406.
[47] Ibid.
[48] Freddy
Harris, Teddy Anggoro. (2010). Hukum
Perseroan Terbatas: Kewajiban Pemberitahuan Direksi. Bogor: Ghalia
Indonesia, h. 62.
[49] Agustina
Arumsari. (2014). Analisis
Keputusan Bisnis pada Badan Usaha Milik Negara Berbentuk Perseroan Melalui
Penerapan Doktrin Fiduciary Duty Dan
Business Judgment Rule Direksi
(Studi Kasus Tindak Pidana Korupsi Direktur BUMN). Tesis, Universitas
Indonesia, h. 44.
[50] Joseph
T. Wells. (1992). Fraud Examination: Investigative and audit Procedures.
Connecticut: Quarum Books, h. 97.
[51] Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[52] Agustina
Arumsari. (2014). Analisis
Keputusan Bisnis pada Badan Usaha Milik Negara Berbentuk Perseroan Melalui
Penerapan Doktrin Fiduciary Duty Dan
Business Judgment Rule Direksi
(Studi Kasus Tindak Pidana Korupsi Direktur BUMN). Tesis, Universitas
Indonesia, h. 46.
[53] Pasal 19
Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik
Negara
Copyright (c) 2020 Bayu Novendra, Aulia Mutiara Syifa
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.