|
S A S I Volume 26
Nomor 4, Oktober -
Desember
2020 : h.
571
- 581 p-ISSN: 1693-0061 | e-ISSN: 2614-2961 Jurnal Terakreditasi Nasional, SK. No. 28/E/KPT/2019 This is open access article under the CC-BY-NC 4.0 International License |
Restrukturisasi Budaya Hukum Kejaksaan Dalam Penuntutan Sebagai
Independensi di Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Appludnopsanji1*, Pujiyono2
1,2Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
E-mail: appludnopsanji96@gmail.com
Dikirim: 23/06/2020 |
Direvisi: 13/11/2020 |
Dipublikasi: 30/12/2020 |
||
Info Artikel |
|
Abstract |
||
Keywords: Prosecutor;
Independence; Criminal Justice System. |
|
The position of the prosecutor's office which is under two powers namely
executive and judiciary causes the prosecutor's office to become an
institution that is not independent and free, thus causing blemishes to
commit fraud by prosecutors. This study aims to find out how the reality of
the independence of prosecutors in prosecution and know how the cultural
rearrangement for prosecutors in prosecution as a process of the criminal
justice system. Research methods The research method
uses normative research through a conceptual approach and a statue approach. The
results showed that the ambiguous position of the prosecutor made the
prosecutor hesitant in carrying out their duties, was not independent and was
not free and there was a judicial mafia. With regard to this condition,
re-structuring of the prosecutor's independence in prosecution is needed.
This is intended so that the prosecutor's office becomes an independent
institution by integrally restructuring the legal culture together with other
criminal justice sub-systems through a religious approach, contextual
approach and comparative approach. |
||
|
|
Abstrak |
||
Kata
Kunci: Kejaksaan;
Independensi; Sistem Peradilan Pidana. |
|
Kedudukan
kejaksaan yang berada dalam dua kekuasaan yakni eksekutif dan yudikatif
menyebabkan kejaksaan menjadi lembaga yang tidak independen dan bebas,
sehingga menimbulkan cela untuk melakukan penyelewengan oleh jaksa. Tujuan
dari penelitian ialah mengetahui realitas independensi jaksa dalam penuntutan
dan mengetahui bagaimana penataan ulang budaya bagi jaksa dalam penuntutan
sebagai proses dari sistem peradilan pidana. Metode
penelitian Metode penelitian menggunakan penelitian normatif melalui pendekatan
konseptual (conceptual approach)
dan pendekatan perundang-undangan (statue
approach).
Hasil penelitian
menunjukkan kedudukan jaksa yang ambigu membuat kejaksaan ragu-ragu dalam
melaksanakan tugas, tidak mandiri dan tidak bebas serta terjadi mafia
peradilan. Terhadap kondisi ini maka diperlukan penataan ulang bagi
independensi kejaksaan dalam penuntutan. Hal ini diperuntukkan agar kejaksaan
menjadikan lembaga yang independen dengan cara restrukturisasi budaya hukum
secara integral bersamaan dengan sub sistem peradilan pidana lainnya dengan
melalui pendekatan religious, pendekatan kontekstual dan pendekatan
perbandingan. |
||
DOI: |
|
|||
A.
PENDAHULUAN
Keselurahan sistem yang didalamnya terdapat
bagian-bagian yang saling terkoneksi satu dengan lainnya disebut sebagai sistem
peradilan pidana.[1]
Hal penting dalam sistem peradilan pidana yakni terdapat sub sistem penuntutan
yang dilakukan oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai lembaga negara yang berperan sebagai aparat penegak hukum dengan
mejalankan fungsinya yang mempunyai wewenang sebagai penuntut umum, pelaksanaan
putusan pengadilan serta wewenang lain yang diatur dalam undang-undang
kejaksaan dalam koridor sebagai aparat penegak hukum. Jaksa memiliki peranan penting dalam
persidangan dan jaksapunlah yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penuntutan sebagai penuntut umum yang bertindak atas nama Negara
dalam menjalankan tugas dan wewenangannya. Lembaga kejaksaan republik Indonesia
merupakan lembaga Negara yang dikomandoi oleh seorang jaksa agung yang dipilih
dan bertanggung jawab kepada Presiden sebagai kepala Negara dan kepala
pemerintahan. Sistem komando ini menitikberatkan adanya unsur hierarki dalam
instansi kejaksaan bertujuan untuk memudahkan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya. Selain jabatan-jabatan yang struktural yang ada dalam kejaksaan,
terdapat juga lembaga tempat bekerja dari instansi kejaksaan yang tersebar di
seluruh provinsi dan berbagai kabupaten/kota guna merangkul setiap permasalahan
hukum yang ada dikalangan masyarakat.[2]
Secara yuridis dan faktual, sub sistem kejaksaan dalam
sistem peradilan pidana memang mempunyai fungsi penegakan hukum, akan tetapi
tidak bernaung dalam satu atap kekuasaan yudikatif. Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan menyatatakan jika kejaksaan
republik Indonesia merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
Negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Terhadap posisi kejaksaan sebagai penegak
hukum yang tidak bertitik utama pada lembaga yudikatif melainkan masuk pada
ranah eksekutif juga, kondisi ini dapat menyebabkan tugas utama dari kejaksaan
yakni melakukan penuntutan disinyalir tidak akan bersifat independen.
Pada saat melaksanakan tugas, jaksa haruslah bebas dan
tidak terikat dari intervensi kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain demi
terciptanya tujuan hukum seperti keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan
didalamnya dengan mengalihkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta harus
mencari dan menemukan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat.[3]
Peran jaksa sebagai penuntut umum harus tidak diikutcampurkan pada kekuasaan
manapun supaya dapat mencapai tujuan dalam penegakan hukum dan bisa digiring
untuk menjalankan tugas berdasarkan aturan yang berlaku supaya terwujudnya
supremasi hukum, melindungi kepentingan umum, menegakan hak asasi manusia serta
pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme.[4]
Posisi jaksa pada peradilan pidana sangat menentukan nasib dari terdakwa karena
jaksa sebagai penuntut umum merupakan jembatan penghubung antara tahap
penyidikan dengan peradilan. Hal ini didasari paa doktrin hukum yang mejelaskan
bahwa penuntut umum punya hak monopoli penuntutan. Maksudnya, seseorang baru
bisa diadili bila terlebih dahulu dengan adanya tuntutan pidana dari penuntut
umum. Oleh karena itu lembaga kejaksaan sebagai penuntut umum berwenang dalam
menuntut terdakwa di sidang pengadilan.[5]
Sebagai komponen dari sistem peradilan pidana, kejaksaan
dituntut untuk selalu menjaga independensinya dari campur tangan pihak manapun
termasuk eksekutif. Namun nampaknya kejaksaan akan sulit untuk terbebas dari
campur tangan eksekutif karena secara struktural, kejaksaan berada di bawah
kekuasaan eksekutif. Bagaimana pun juga, Jaksa Agung sebagai pemimpin lembaga
kejaksaan secara struktural harus tunduk kepada atasannya, yaitu Presiden
sebagai pemegang tertinggi kekuasaan eskekutif. Akibat kedudukan kejaksaan yang
masih ada ikut campurnya Negara dalam lembaga kejaksaan menimbulkan
independensi jaksa diragukan oleh masyarakat. Kedudukan jaksa yang masuk dalam
lembaga eksekutif dan masuk juga dilembaga yudikatif dalam penegakan hukum
tidak cukup menguatkan kemandirian jaksa dalam melaksanakan penegakan hukum khususnya
di bidang penuntutan. Banyak kehawatiran terjadi apabila ada oknum-oknum dari
lembaga eksekutif yang melakukan tindak pidana maka jaksa yang melakukan
penuntutan tidak diberi kekuasaan mutlak dalam melaksanakan tugasnya.[6]
Hal ini akan berpengaruh ke budaya hukum dari jaksa itu sendiri yang tidak
bebas, terikat serta rentan terjadinya penyelewengan tugasnya seperti
terjadinya jual beli tuntutan perkara, jual beli perkara, penghentian
penyidikan dengan dalil uang dan terjadinya mafia peradilan didalamnya.
Berdasarkan hal diatas untuk menjamin keindependesinya jaksa dibidang yudikatif
dalam sistem peradilan pidana yang dtuntut untuk bebas dan tanpa campur tangan
dari pihak manapun maka diperlukan pembaharuan atau penataan ulang atau
restrukturisasi lembaga kejaksaan dalam budaya hukum sehingga bisa tetap
menjaga independesi jaksa dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga artikel ini
akan membahas mengenai restrukturisasi budaya hukum kejaksaan dalam menjamin
independesi jaksa di sistem peradilan pidana, namun sebelumnya dalam tulisan
ini akan dipaparkan mengenai realitas budaya hukum yang buruk dari kejaksaan
dalam hal penuntutan sehingga bisa dilakukan penataan ulang dimasa yang akan
datang.
Ada penelitian terdahulu yang pernah meneliti tentang lembaga kejaksaan, diantaranya telah dilakukan oleh: 1) Kevin Stiffan Sigar pada tahun 2017 dengan fokus kajian mengenai kemandirian kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia.[7] 2) Didit Ferianto Pilok pada tahun 2013 dengan focus kajian mengenai kedudukan dan fungsi jaksan dalam sistem peradilan pidana menurut KUHAP.[8] 3) Ismail Ghonu pada tahun 2015 dengan fokus kajian mengenai independensi kejaksaan dalam sistem perailan pidana di Indonesia.[9] Berdasarkan dari penelitian sebelumnya, penelitian ini memiliki kesamaan tema mengkaji mengenai independensi kejaksaan dalam sistem peradilan pidana namun, penelitian kali ini lebih berfokus kepada penataan kembali/restrukturisasi budaya dari lembaga kejaksaan dalam penuntutan demi terjaganya independensi jaksa dalam sistem peradilan pidana. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan seperti apa realitas lembaga kejaksaan dalam penegakan hukum saat ini dan memberikan suatu konsep baru berupa usulan mengenai rekontruksi budaya hukum bagi kejaksaan sehingga tetap terjaganya independensi jaksa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
B.
METODE
PENELITIAN
Adapun penelitian ini berspesifikasi pada sifat yang
deskriptif-analitis dengan jenis penelitian doktrinal atau yuridis normatif.
Penelitian deskriptif-analitis dimaksudkan untuk menggambarkan, menelaah dan
menjelaskan permasalahan yang ingin dikaji yaitu terkait reformasi sistem
peradilan pidana Indonesia dimasa yang akan datang. Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan yang mengacu pada
peraturan perundang-undangan Indonesia yang didalamnya yakni Undang-Undang
Kejaksaan. Penelitian ini bertumpu pada data sekunder berupa bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang diperoleh melalui
studi kepustakaan sebagai teknik pengumpulan datannya, yang kemudian dianalisis
menggunakam teknik analisis kualitatif untuk mendapatkan kesimpulan yang
sebenarnya
C.
PEMBAHASAN
1.
Realitas Independensi Lembaga
Kejaksaan Dalam Penuntutan Di Sistem Peradilan Pidana
Lembaga pemerintah yang melakukan kekuasaan Negara
dibidang penuntutan salah satunya yaitu Kejaksaan. Penuntutan yang diemban
tugas dari seorang jaksa memiliki tugas secara aktif mengajukan berkas perkara
kepada pengadilan (hakim). Secara umum, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga pemerintah mempunyai fungsi dan kewenangan dalam bidang penegakan hukum
serta kewenangan yang berhubungan dengan menjaga ketertiban dan ketenteraman.
Terhadap fungsi penegakan hukum kejaksaan dibidang hukum pidana telah diuraikan
dalam aturan perundang-undangan kejaksaan di Pasal 30 ayat 1 UU kejaksaan yang
menjelaskan bahwa adapun tugas dan kewenangannya diantara adanya penuntutan
yang telah mempunyai hukum yang tetap, adanya pengawasan pada pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, keputusan lepas yang bersyarat, adanya perlakukan penyidikan
pada tindak pidana tertentu berdasarkan perundang-undangan, pelengkapan berkas
perkara dan dapat melakukan pemeriksaan tambahan pada suatu berkas sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang daam ekseskusinya dikoordinsaikan dengan
penyidik.[10]
Penuntutan merupakan serangkaian tindakan yang
dilakukan guna melakukan pelimpahan berkas suatu perkara ke pengadilan yang
berwenang yang dijalankan oleh penuntut umum agar berkas yang dilanjutkan
pemeriksaan di pengadilan untuk diperiksa dan diputus oleh hakim.[11]
Hukum positif Indonesia mengatur mengenai penuntutan hanya dilaksanakan kepada
lembaga penuntut dalam hal ini penuntut umum yang berkesesuaian dengan asas dominus litis yang punya peran strategis
dalam menentukan dapat tidaknya diteruskannya sebuah kasus sampai di
pengadilan. Lembaga penuntut umum sendiri bisa berasal dari kejaksaan dan KPK.
Penuntut umum dari KPK membidangi penuntutan secara khusus dalam perkara
korupsi sedangkan penuntut umum dari kejaksaan membidangi penuntutan untuk
semua jenis tindak pidana kecuali tindak pidana militer oleh Oditur Militer.[12]
Lembaga penuntutan kejaksaan yang berinduk dalam satu
organisasi lembaga kejaksaan, dalam pemahamannya mengenai tugas dan kewenangannya
dalam pasal 2 ayat 1 sampai dengan 3 Undang-undang Nomor 16 tahu 2004 tentang
Kejaksaan menunjukkan bahwa posisi dari lembaga kejaksaan tergolong dilematis
karena mengahadapi keadaan dual
obligation, yakni disatu sisi sebagai penegak hukum yang mengemban tugas
berkenaan dengan kekuasaan penuntutan yang harus bersikap independen terbebas
dari segala intervensi dari pihak manapun termasuk eksekutif (Presiden) disisi
lain sebagai pejabat Negara (anak buah Presiden) dalam konteks manajemen
pemerintahan dengan jaksa agung yang harus mempunyai loyalitas tinggi kepada
pemerintahan.[13]
Posisi dilematis inipun dapat terpengaruh terhadap independensi kejaksaan dalam
penuntutan sebagai upaya penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana.
Independensi oleh kejaksaan sangat dibutuhkan dalam
upaya penegakan hukum yang berintegritas dan mengembalikan kepercayaan publik
terhadap buruknya sistem penegakan hukum di Indonesia saat ini. Independensi
sendiri mengandung arti kebebasan, kemandirian, kemerdekaan atau tidak berada
dibawah kendali/pengawasan dari lembaga lain.[14]
Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum yang masuk kepada kekuasaan kehakiman
harus merdeka dan mandiri dalam melaksanakan setiap proses penegakan hukum di
kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman sendiri harus diperluas bukan hanya
menyangkut dibadan peradilan namun disetiap elemen dari proses penegakan hukum
mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, pelaksana pidana. Oleh karena
itu dalam menjalankannya kekuasaan kehakiman harusnya bersifat independensi
yang terintegral.
Konsekuensi dari pola pikir akal mengenai kedudukan
kejaksaan sebagai aparat pemerintahan menunjukkan bakwa kejaksaan diragukan
independensinya, merupakan bawahan pemerintah hingga adanya kerjasama kepada
kekuasaan pemerintahan. Alhasil, dampaknya menjelaskan bahwa penegakan hukum
yang dilaksanakan tugasnya oleh kejaksaan tidak dapat mencapai suatu
kemandirian. Sebagai contoh akibat tidak independensi jaksa dalam Kasus
penyelesaian Bibit dan Chandra yang diakhiri dengan SKP2 (Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan) dan pernyataan atau sikap jaksa agung yang memilih
menunggu turunnya izin pemeriksaan kepala daerah dari presiden untuk memeriksa
kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka, meskipun
perundang-undangan memungkinkan dilakukan pemeriksaan tanpa izin dari presiden
asalkan telah 60 hari sejak izin diterima dan izin juga belum turun.[15]
Besarnya pengaruh subordinat lembaga kejaksaan terhadap presiden (pemerintah)
berakibat tidak memungkinkan aktifitas penegakan hukum lepas dari pengaruh
kekuasaan eksekutif. Penghentian penuntutan juga pernah dilakukan oleh jaksa
dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Saat itu
jaksa agungnya yaitu jaksa Urip, walaupun dalam perjalanan proses perkaranya
ditemukan kemudian bukti-bukti oleh KPK yang memberhentikan penuntutan oleh
jaksa agung itu menerima suap sehingga dikeluarkannya Surat Penghentian
Penyidikan Perkara (SP3).[16]
Selain kasus-kasus yang menimpa jaksa dalam penegakan hukum yang bertitik
singgung dengan lembaga eksekutif, ada juga kasus-kasus yang dilakukan oleh
oknum jaksa dalam menghaluskan tindak pidana yang dilakukan tersangka sebut
saja terjadinya mafia peradilan yang dilakukan oleh jaksa dalam penegakan hukum
seperti mantan jaksa Kejari Yogyakarta Eka
Safitra dan jaksa Kejari Surakarta Satriawan Sulaksono yang didakwa telah menerima suap Rp 200 juta dari proyek saluran air di
Yogyakarta, kasus mantan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi
(Kejati) Jawa Tengah, Kusnin, didakwa menerima suap sebesar 294 ribu dolar
Singapura dari Alfin Suherman dalam penanganan kasus kepabeaan. Keduanya
menerima duit dari pengusaha kontraktor PT Widoro Kandang bernama Gabriella
Yuan Anna Kusuma dan Mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pamekasan Rudi
Indraprasetya didakwa menerima Rp 250 juta dari Sutjipto Utomo selaku Kepala
Inspektorat Kabupaten Pamekasan. Uang suap itu diberikan agar Rudi menghentikan
pengumpulan data dan bahan keterangan terkait kasus dugaan penyelewengan dana
desa di Desa Dasok, Pamekasan.[17]
Perbuatan curang itu dilakukan oleh oknum jaksa yang
biasanya menggunakan modus melakukan pemerasan, perpanjangan rentan waktu
penyidikan yang dilakukan guna merundingkan uang damai, surat panggilan tanpa
status tersangka atau saksi, yang pada akhirnya akan dimintakan uang supaya
statusnya tidak naik menjadi tersangka. Kemudian melakukan negosiasi, pelepasan
tersangka melalui SP3 dengan membuat dakwaan yang sifatnya kabur sehingga
terdakwa diputus bebas oleh majelis hakim, penggelapan perkara karena terdakwa
merupakan keluarga pejabat, tawar menawar penuntutan, peringanan penuntutan dan
lain-lain.[18]
Berdasarkan kasus-kasus diatas bila dikaji ketentuan
dari Pasal 2 Jo. Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 yang
menempatkan lembaga kejaksaan dalam posisi yang tidak mandiri dan bersifat
ambigu baik dari segi pertanggungjawaban kepada atasan maupun dalam kekuasaan
kehakiman sehingga berdampak pada tindakan-tindakan penegakan hukum yang sering
ragu, tidak tegas dan bahkan terjadinya penyelewengan kekuasaan dengan menerima
suap. Perbuatan-perbuatan jaksa yang telah menyimpang ini menunjukkan bahwa
adanya budaya hukum dari jaksa yang sudah terkikis dengan keindahan uang yang
dapat menyelesaikan semua perkara olehnya. Budaya hukum menjadi unsur yang
krusial dalam memahami perbedaan-perbedaan yang terletak pada sistem hukum yang
satu dengan yang lainnya. Kultur hukum bertalian erat dengan masalah nilai,
kesadaran hukum dan perilaku masyarakat yang berimplikasi pada bekerjanya
hukum.[19]
Lawrence M. Friedman membagi berbagai komponen dalam
membentuk budaya hukum kedalam 3 (tiga) bagian yakni: struktur, substansi dan
kultur.[20]
Apabila dikaitkan dengan sistem hukum di kejaksaan maka komponen sturur
berkenaan dengan kelembagaan kejaksaan yang ingin diciptakan itu seperti jaksa
yang bebas korupsi, independen dan mandiri sehingga dengan adanya
patokan/tujuan yang ingin dicapai itu maka lembaga kejaksaan dapat menerapkan
dan dijadikan patokan agar dalam menjalankan tugas harus berintegritas, jujur
dan patuh. Komponen substansi adalah aspek isi dari sistem hukum itu sendiri
yang didalamnya termaksud norma-norma dalam perwujudan peraturan
perundang-undangan. Di lembaga kejaksaan dengan adanya dual obligation yang terjadi maka dibutuhkan suatu rekonstruksi
dari segi substansi guna menjadikan lembaga kejaksaan yang mandiri dan bebas
dalam penegakan hukumnya. Sedangkan komponen kultur merupakan nilai-nilai dan
sikap-sikap yang merupakan pengikat dari sistem serta menentukan tempat sistem
itu ditengah budaya bangsa, seperti kesadaran hukum masyarakat dalam penegakan
hukumnya. Dalam kultur di lembaga kejaksaan maka dibutuhkan kesadaran hukum
dari jaksa dimulai dari peraturan-peraturan hukum yang mengikat, badan pembuat
undang-undangn, badan pelaksana hukum/sanksinya, masyarakatnya, dalam hal ini
kesadaran dari jaksanya dan lain-lain.[21]
2.
Restrukturisasi Budaya Hukum
Dalam Independensi Kejaksaan Dalam Penuntutan Terhadap Sistem Peradilan Pidana
Di Indonesia
Restrukturisasi dimaknai sebagai arti untuk penataan kembali. Pada kaitannya dengan
penataan kembali ini, dengan demikian artian restrukturisasi erat kaitannya
terhadap rekonstruksi yaitu membangun kembali sistem penegakan hukum pidana di
Indonesia. Sehingga, istilah resrtrukturisasi dan rekonstruksi ini muara
ujungnya serupa yakni untuk menata kembali.[22] Restrukturisasi ataupun
rekonstruksi sistem peradilan pidana dalam hal ini tidak sekedar diarahkan
untuk membangun kembali, dan tetapi bertujuan membentuk bangunan baru yang
lebih baik dalam arti menciptakan sistem peradilan pidana lebih modern dan
berguna serta mengembalikkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum saat ini.[23]
Penataan kembali
untuk sistem peradilan pidana Indonesia sejatinya diperuntukkan untuk menata
kembali sistem penegakan hukum pidana disebabkan oleh proses peradilan yang
intinya ada pada proses menegakkan hukum.[24] Sehingga identik dengan
sistem kekuasaan kehakiman karena kekuasaan kehakiman pada dasarnya merupakan
kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum. Menegakkan kekuasaan kehakiman dalam
sistem peradilan pidana haruslah merdeka dan mandiri atau artian langsung bahwa
kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugasnya harus independen. Independensi
kekuasaan kehakiman pada hakikatnya merupakan kemandiran pada semua kekuasaan
penegakan hukum sebagai satu kesatuan, jadi bukan kemandirian yang
fragmenter/parsial tetapi kemandirian yang integral dalam suatu sistem.
Kemandirian yang integral dalam kekuasaan kehakiman ini dimaksudkan yakni
independensi didalam suatu sistem, dimana di sebuah sistem terdapat didalamnya
sub-sub sistem. Sub-sub sistem yang termaksud pada sistem peradilan pidana
meliputi sub sistem penyidikan, sub sistem penuntutan, sub sistem peradilan dan
sub sistem pelaksana putusan/pidana.[25]
Pada sub
sistem bagian penuntutan yang dilakukan kejaksaan dalam sistem peradilan pidana
tetap memiliki interdependensi dari kejaksaan sendiri meskipun dalam sistem
sistem peradilan pidana haruslah terintegrasi dengan berbagai sub sistem yang
ada. Hal ini diperuntukkan agar setiap bagian dari sistem itu memiliki
kekuasaan sendiri yang bebas dan mandiri dalam tugas dan wewenangnya. Semua
kegiatan yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang terintegrasi
itu haruslah dibawah koordinasi dan kendali pimpinan puncak dari sistem peradilan
pidana. Dengan demikian rekonstruksi yang akan ditata kembali merupakan
permasalahan yang komplek dan harus dilakukan dengan secara integral dan tidak
boleh parsial, adapun proses penataan kembali dari sub sistem penuntutan oleh
kejaksaan dalam hal melakukan penuntutan agar terciptanya independensi jaksa
meliputi 3 (tiga) factor, dimulai dari factor hukum/substansi hukum, factor
kelembagaan/struktur huku dan factor budaya hukum dari jaksa maupun masyarakat.
Selain restrukturisasi dibidang substansi hukum, struktur hukum maka ada hal
yang juga penting guna menjadikan seorang jaksa yang berintegritas, independen,
bebas dan mandiri dialah strukturisasi di bidang budaya hukum.
Pada
point akhir dari factor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum oleh
Soerjono soekanto adalah faktor budaya. Faktor budaya yang dimaksud disini
merupakan factor budaya hukum yang membentuk suatu karakter atau output dari
hukum yang dibuat oleh pemerintah dan dijalankan oleh masyarakat berdasarkan
karsa manusia didalam pergaulannya.[26] Aspek budaya hukum dalam
sistem peradilan pidana merupakan perwujudan dari sistem nilai-nilai budaya
hukum itu sendiri. Permasalahan budaya hukum di kejaksaan dapat dilhat dari
maraknya oknum jaksa yang bermain kotor dan masalah optimalisasi budaya/orientasi
keilmuan dalam penegakkan hukum. Barda Nawawi Arief dalam bukunya reformasi
sistem peradilan pidana menjelaskan lunturnya ataupun bergesernya kualitas
keilmuan dari aparat penegak hukum karena sudah bergesernya orientasi mereka
dalam penegakkan hukum. Fenomena ini dapat dilihat dari adanya budaya amplop
atau budaya permainan tercela oleh penegak hukum yang semakin hari diresahkan
oleh masyarakat. Selanjutnya, berkenaan dengan masalah kecenderungan aparat
penegak hukum yang berfikir hukum secara parsial dan hanya melihat ketentuan
pidana berdasarkan undang-undang saja tapi melihat hukum yang hidup didalam
masyarakat dan kondisi eksternal pelaku dalam melakukan tindak pidana.[27]
Berkaitan
dengan faktor budaya hukum, sebagaimana dikatakan oleh Friedman kalau legal culture adalah unsur dari sikap
dan nilai social yang ada dibagian budaya, kebiasaan-kebiasaan,
pendapat-pendapat, cara melakukan pekerjaan dan cara berpikir. Menurutnya dapat
dikatakan bahwa budaya hukum ialah pengenjawantahan dari sikap manusia kepada
hukum, kepercayaan dalam sistem hukum, nilai-nilai, pemikiran, dan terlepas
dari harapan. Dengan istilah lain menjelaskan jika budaya hukum adalah hasil
pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindari dan disalahgunakan oleh manusia. Tidak adanya kultur hukum maka
sistem hukum dianggap tidak punya daya layaknya ikan mati yang terhempas
dikeranjang. Lawrence M. Friedman
membedakan budaya hukum terbagi atas integral
legal culture yang berkenaan dengan kultur hukum lawyer dan judged’s dan external legal culture yakni kultur
hukum masyarakat pada umumnya.[28]
Kultur hukum pada konteks penegakan hukum mempunyai fokus terhadap nilai-nilai
filosofinya dari hukum, nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat dan kesadaran/sikap
perilaku sosialnya, serta pendidikan ilmu hukum. Dengan mengacu kepada
pemaknaan dari kultur hukum bagi penegak hukum tersebut maka
restrukturisasi/rekonstruksi yang harus ditata ulang memuat tentang gagasan,
ide atau konsep hukum yang dilakukan dengan pengorganisasian kembali bersama
dengan legal substance dan legal structure.
Pembaharuan
budaya hukum dengan mencakup hal yang lebih komprehensif dan optimal dalam
penataan ulang di budaya hukum sebagaimana telah diusung oleh Barda Nawawi
Arief diantaranya ada tiga pendekatan keilmuan secara integral, diantaranya:
dengan menggunakan pendekatan religious, pendekatan kontekstual dan pendekatan
melalui perbandingan hukum. Pendekatan
religious merupakan pendekatan utama dalam membentuk budaya hukum penegak hukum
agar tetap independen, jujur, dan berintegritas.[29] Pendekatan religious ini
berorientasi pada pedoman ilmu dari hukum pidana dan tuntunan tuhan/religious
dalam menegakkan hukum pidana. Tuntunan itu mengandung empat prinsip
diantaranya prinsip persamaa (equality/non-discrimination),
prinsip objektivitas (tidak subjektif), prinsip tidak pilih kasih (non-favoritisme/non-nepotisme), dan
prinsip tidak berpihak (fairness/impartial).
Pendekatan konstekstual dimaksudnkan dalam melaksanakan penegakan hukum pidana
yang berlandaskan hukum positif tetapi menjalankannya juga dalam konteks Sistem
Hukum Nasional (SISKUMNAS) yang berorientasi pada nilai-nilai Pancasila, UUD
1945, dan rambu-rambu umum dari proses penegakan hukum seperti UU Kekuasaan
Kehakiman. Sedangkan pendekatan komparatif/perbandingan dipergunakan untuk
melihat bagaimana Negara lain dalam mengatur mengenai hukum pidananya sendiri
dan proses penegakkan hukumnya. Hal ini diperuntukkan dalam pembaharuan hukum
pidana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Penegak hukum sebagai
penegakan system nilai tentu harus cepat menyesuaikan diri dengan laju
perkembangan nilai baik secara local, nasional Maupin nilai-nilai global dengan
wujud dapat meresapi perkembangan nilai-nilai yang ada sehingga penegakan hukum
yang akan dilaksanakan nantinya dapat diterima oleh masyarakat.
Berdasarkan
gagasan-gagasan yang telah diungkapkan diatas, kejaksaan dalam hal ini
tergolong dari bagian system peradilan pidana setidaknya dapat menerapkan
gagasan yang telah diuraikan. Pembaharuan budaya hukum bagi kejaksaan dapat
menjadikan lembaga kejaksaan tetap mandiri, bebas, jujur serta menjadikan
kejaksaan sebagai lembaga yang progresif. Satjipto rahardjo menjelaskan bahwa progresivme bertolak dari pandangan
kemanusiaan yang menyatakan bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik, memiliki
sifat kasih sayang serta kepedulian antar sesama.[30] Sifat progresif inilah yang
merupakan unsur penting dari pembentukan karakter bagi aparat penegak hukum
agar nantinya dalam menegakkan hukum tidak hanya terpaku pada teks
perundang-undangan melainkan melihat unsur moral kemanusiaan yang ada pada
penegak hukum seperti kejaksaan. Kehadiran hukum progresif dalam penegakan
hukum Indonesia tidak hanya dapat mengandalkan kepastian hukum tetapi dapat
melihat aktualisasi hukum yang ada didalam masyarakat. Ketika ideology para
penegak hukum hanya bersandarkan pada kepastian hukum maka akan sulit ditemukan
keadilan sebab kepastian hukum erat dengan keinginan untuk mempertahankan status quo. Sehingga sebagai aparat
penegak hukum harus memandang hukum secara dinamis namun tetap besandar pada
peraturan perundang-undangan.[31]
serta menjadikan penegakan hukum yang berkemanusiaan dan dapat menggunakan hati
nurani dalam menghukum pelaku tindak pidana.
D.
P E N U T U P
Restrukturisasi budaya kejaksaan
sebagai independensi dalam penuntutan pada sistem peradilan pidana saat ini
dinilai sangat perlu mengingat kondisi lembaga kejaksaan dalam penegakan hukum
saat ini dinilai masyarakat kurang direspon baik dengan banyaknya kasus-kasus
yang menimpa jaksa dalam melaksanakan tugasnya. Realitas independensi kejaksaan
dalam penuntutan saat ini dipengaruhi kedudukan kejaksaan yang merupakan
sebagai lembaga pemerintahan yang harus bertanggung jawab kepada pemerintah dan
sebagai lembaga yudikatif dalam kekuasaan kehakiman. Kedudukan yang dilematis
ini berpengaruh kepada kemandirian kejaksaan dalam melaksanakan tugas. Fakta
menyatakan bahwa dengan kondisi seperti ini jaksa tidak bisa menjalankan
tugasnya dengan baik yang berdampak pada keragu-raguan jaksa dalam penegakan
hukumnya, diragukan kemandiriannya serta rentan akan campur tangan dari pihak
pemerintah dalam melaksanakan tugas. Selain kedudukan jaksa yang menjadi
problematika, budaya hukum jaksa yang buruk seperti bermain kotor dalam
perkara, terjadinya praktik mafia peradilan serta keilmun hukum yang sifatnya
parsial. Atas hal-hal tersebut diperlukan suatu penataan kembali atau
restrukturisasi terhadap lembaga kejaksaan. Restrukturisasi meliputi aspek
substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Restrukturisasi budaya hukum
di lembaga kejaksaan diperlukan agar dapat mengubah pola pikir serta penanaman
nilai-nilai hukum yang telah bergeser sebelumnya. Restrukturisasi budaya kepada
aparat penegak hukum dalam hal ini kejaksaan dapat dilakukan dengan menggunakan
tiga pendekatan diantaranya pendekatan religious, pendekatan kontekstual dan
pendekatan perbandingan. Cara-cara tersebut dipergunakan agak kedepannya aparat
penegak hukum dalam tetap terjada independensinya, bebas serta menjadikan
aparat penegak hukum yang progresif.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
[1]
Al-Azhar,
H. F. (2019). “Rekonstruksi
Konseptual Peradilan sebagai Revitalisasi Kekuasaan Kehakiman dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia”. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi, 2 (1).
[2]
Ali,
M. (2007). “Sistem
Peradilan Pidana Progresif; Alternatif dalam Penegakan Hukum Pidana”. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 14 (2). DOI: https://doi.org/10.20885/iustum.vol14.iss2.art2
[3]
Ansori,
L. (2018). “Reformasi
Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif”. Jurnal Yuridis, 4 (2). DOI: http://dx.doi.org/10.35586/.v4i2.244
[4]
Arrsa,
R. C. (2014). “Rekonstruksi
Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Melalui Strategi Penguatan Penyidik Dan
Penuntut Umum Independen KPK”. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional, 3 (3).
[5]
Ghonu,
I. (2015). “Independensi
Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”. Justitia
Et Pax, 31 (2). DOI: https://doi.org/10.24002/jep.v31i2.1342
[6]
Jainah,
Z. O. (2011). “Membangun
Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Narkotika”.
Keadilan Progresif, 2 (2).
[7]
Muhammad,
M. (2019). “Pemeriksaan
Kepala Daerah Yang Terlibat Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Yustitia, 18 (1).
[8]
Muhammad,
R. (2009). “Kemandirian
Pengadilan Dalam Proses Penegakan Hukum Pidana Menuju Sistem Peradilan Pidana
Yang Bebas Dan Bertanggung Jawab”. Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM, 16 (4).
DOI: https://doi.org/10.20885/iustum.vol16.iss4.art2
[9]
Muntaha,
M. (2017). “Pengaturan
Praperadilan dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia”. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 29 (3).
[10]
Pilok,
D. F. (2013). “Kedudukan
Dan Fungsi Jaksa Dalam Peradilan Pidana Menurut Kuhap”. Lex Crimen, 2 (4).
[11]
Rosita,
D. (2018). “Kedudukan
Kejaksaan Sebagai Pelaksana Kekuasaan Negara di Bidang Penuntutan dalam
Struktur Ketatanegaraan Indonesia”. Jurnal Ius
Constituendum, 3 (1).
DOI: http://dx.doi.org/10.26623/jic.v3i1.862
[12]
Saputra,
F., Kalo, S., Mulyadi, M., & Hamdan, M. (2014). “Analisis Yuridis Penerbitan Surat
Perintah Penghentian Penuntutan oleh Kejaksaan Dikaitkan dengan Asas
Oportunitas dan Undang-undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI”. USU Law Journal, 2 (1).
[13]
Sigar,
K. S. (2017). “Kemandirian
Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Kajian UU No. 16
Tahun 2004)”. Lex
Et Societatis, 5 (5).
[14]
Sumakul,
A. E. (2018). “Independensi
Kejaksaan Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001”. Lex Crimen, 7 (5).
[15]
Warganegara,
D. (2017). “Implementasi
Konsep Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Di Indonesia”. Poenale:
Jurnal Bagian Hukum Pidana, 5 (3).
[16]
Widodo,
J. P. (2012). “Reformasi
Sistem Peradilan Pidana dalam Rangka Penanggulangan Mafia Peradilan”. Jurnal Dinamika Hukum, 12 (1).
[17]
Windari,
R. A. (2011). “Penegakan
Hukum Terhadap Perlindungan Anak Di Indonesia (Kajian Normatif Atas Bekerjanya
Hukum Dalam Masyarakat)”. Media Komunikasi
FPIPS, 10 (1). DOI: http://dx.doi.org/10.23887/mkfis.v10i1.1174
[18] Yusyanti,
D. (2015). “Strategi Pemberantasan Korupsi Melalui Pendekatan Politik Hukum,
Penegakan Hukum Dan Budaya Hukum”. E-Journal Widya Yustisia, 1 (1).
Buku
[19] Anwar
Yesmil & Adang. (2011). Sistem
Peradilan Pidana. Bandung: Widya Padjadjaran.
[20] Arief, B. N. (2017). RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana
Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
[21] Arief, B. N. (2019). Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu.
Semarang: Bahan Penerbit Universitas Diponegoro.
[22] Arief. B. N. (2019). Reformasi Sistem Peradilan Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia.
Semarang: Bahan Penerbit Universitas Diponegoro.
[23] Kristiana
Yudi. (2011). Independensi Kejaksaan
dalam Penyidikan Korupsi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
[24] Pujiyono. (2012). Rekonstruksi
Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Semarang: Penerbit Pustaka Magister.
[25] Satjipto
Rahardjo, (2011). Satjipto Rahardjo Dan
Hukum Progresif Urgensi Dan Kritik. Jakarta: Epistema Institue.
Online/World Wide Web dan Lain-Lain
[26] Medistiara, Yulida –
detikNews, Deretan Jaksa yang Malah Diadili Karena Kasus Korupsi, diakses pada tanggal 6
Juni 2020 dalam https://news.detik.com/berita/d-4994630/deretan-jaksa-yang-malah-diadili-karena-kasus-korupsi
[27] Teubner,
G. (Ed.). (2011). Dilemmas of law in the
welfare state. Walter de Gruyter.
[1] Muntaha, M. (2017). “Pengaturan
Praperadilan dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia”. Mimbar
Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 29 (3): 461-473.
[2] Sumakul, A. E. (2018). “Independensi
Kejaksaan Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001”. Lex
Crimen, 7 (5): 159-166.
[3] Anwar Yesmil & Adang. (2011). Sistem Peradilan Pidana. Bandung: Widya Padjadjaran, h. 204.
[4] Ibid, h. 202.
[5] Kristiana Yudi. (2011). Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi. Bandung: Citra
Aditya Bakti, h. 52.
[6] Rosita, D. (2018).
“Kedudukan Kejaksaan Sebagai Pelaksana Kekuasaan Negara di Bidang
Penuntutan dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”. Jurnal Ius
Constituendum, 3 (1):
27-47. DOI: http://dx.doi.org/10.26623/jic.v3i1.862
[7] Sigar, K. S. (2017). “Kemandirian
Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Kajian UU No. 16
Tahun 2004)”. Lex et Societatis, 5 (5).
[8] Pilok, D. F. (2013). “Kedudukan
Dan Fungsi Jaksa Dalam Peradilan Pidana Menurut Kuhap”. Lex Crimen, 2 (4).
[9] Ghonu, I. (2015). “Independensi
Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”. Justitia Et Pax, 31 (2). DOI: https://doi.org/10.24002/jep.v31i2.1342
[10] Pasal
30 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
[11] Pasal
1 ayat 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
[12] Arrsa, R. C. (2014). “Rekonstruksi
Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Melalui Strategi Penguatan Penyidik Dan
Penuntut Umum Independen KPK”. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan
Hukum Nasional, 3 (3):
381-396.
[13] Pujiyono.
(2012). Rekonstruksi Sistem Peradilan
Pidana Indonesia. Semarang: Penerbit Pustaka Magister, h. 107.
[14] Arief,
B. N. (2019). Kapita Selekta Hukum Pidana
Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Semarang: Bahan Penerbit
Universitas Diponegoro, h.36.
[15] Muhammad, M. (2019). “Pemeriksaan
Kepala Daerah Yang Terlibat Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal
Yustitia, 18 (1), h.
47-60.
[16] Saputra, F., Kalo, S.,
Mulyadi, M., & Hamdan, M. (2014). “Analisis Yuridis Penerbitan Surat
Perintah Penghentian Penuntutan oleh Kejaksaan Dikaitkan dengan Asas
Oportunitas dan Undang-undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI”. USU
Law Journal, 2 (1): 105-123.
[17] Medistiara, Yulida – detikNews, Deretan Jaksa yang Malah Diadili
Karena Kasus Korupsi,
diakses pada tanggal 6
Juni 2020 dalam https://news.detik.com/berita/d-4994630/deretan-jaksa-yang-malah-diadili-karena-kasus-korupsi
[18] Widodo, J. P. (2012). “Reformasi
Sistem Peradilan Pidana dalam Rangka Penanggulangan Mafia Peradilan”. Jurnal
Dinamika Hukum, 12 (1):
108-120.
[19] Yusyanti, D. (2015). “Strategi
Pemberantasan Korupsi Melalui Pendekatan Politik Hukum, Penegakan Hukum Dan
Budaya Hukum”. E-Journal Widya Yustisia, 1 (1): 87-97.
[20] Jainah, Z. O. (2011). “Membangun Budaya Hukum Masyarakat
Penegak Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika”. Keadilan
Progresif, 2 (2): 123-136.
[21] Al-Azhar, H. F. (2019). “Rekonstruksi
Konseptual Peradilan sebagai Revitalisasi Kekuasaan Kehakiman dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia”. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi, 2 (1): 39-51.
[22] Arief,
B. N. (2017). RUU KUHP Baru Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, h. 1.
[23] Muhammad, R. (2009). “Kemandirian Pengadilan Dalam Proses
Penegakan Hukum Pidana Menuju Sistem Peradilan Pidana Yang Bebas Dan
Bertanggung Jawab”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 16 (4): 463-478. DOI: https://doi.org/10.20885/iustum.vol16.iss4.art2
[24] Arief.
B. N. (2019). Reformasi Sistem Peradilan
Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia. Semarang: Bahan Penerbit Universitas
Diponegoro, h. 2.
[25] Ali, M. (2007). “Sistem
Peradilan Pidana Progresif; Alternatif dalam Penegakan Hukum Pidana”. Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum, 14 (2):
210 - 229. DOI: https://doi.org/10.20885/iustum.vol14.iss2.art2
[26] Windari, R. A. (2011). “Penegakan
Hukum Terhadap Perlindungan Anak Di Indonesia (Kajian Normatif Atas Bekerjanya
Hukum Dalam Masyarakat)”. Media Komunikasi FPIPS, 10 (1). DOI: http://dx.doi.org/10.23887/mkfis.v10i1.1174
[27] Ansori, L. (2018). “Reformasi Penegakan Hukum Perspektif
Hukum Progresif”. Jurnal Yuridis, 4 (2): 148-163. DOI: http://dx.doi.org/10.35586/.v4i2.244
[28] Teubner, G. (Ed.). (2011). Dilemmas of law in
the welfare state (Vol. 3). Walter de Gruyter.
[29] Op Chit,
Arief. B. N. Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan
Pidana Terpadu, h. 52.
[30] Rahardjo, Satjipto 2009. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing, h. 17.
[31] Rahardjo, Satjipto 2011. Satjipto Rahardjo Dan Hukum Progresif Urgensi Dan Kritik. Jakarta:
Epistema Institue, h. 218.
Copyright (c) 2020 Appludnopsanji, Pujiyono
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
Cited-By:
1. PERUBAHAN PERSEPSI JAKSA TERHADAP PRIBADI TERSANGKA DAN TERDAKWA YANG SEDANG DIPERIKSA DARI SISI PSIKOLOGIS
Mukhlis Ridwan, Erdianto Effendi, Maria Maya, Davit Rahmadan
Masalah-Masalah Hukum vol: 52 issue: 1 first page: 1 year: 2023
Type: Journal [View Source]