|
S A S I Volume 26
Nomor 4, Oktober -
Desember
2020 : h.
490
- 499 p-ISSN: 1693-0061 | e-ISSN: 2614-2961 Jurnal Terakreditasi Nasional, SK. No. 28/E/KPT/2019 This is open access article under the CC-BY-NC 4.0 International License |
Child
Grooming
Sebagai Bentuk Pelecehan Seksual Anak Melalui Aplikasi Permainan Daring
Anna
Maria Salamor1*, Astuti Nur Fadillah2, Patrick
Corputty3, Yonna Beatrix Salamor4
1, 2, 3, 4Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia
*E-mail: annamariasalamor@gmail.com
Dikirim: 20/07/2020 |
Direvisi: 01/10/2020 |
Dipublikasi: 25/12/2020 |
||
Info Artikel |
|
Abstract |
||
Keywords: Chlid; Sexual abuse;
Online. |
|
The rapid development of society and the development of technological
advancements with the use of the internet in addition to having a positive
impact can also have an impact with increasing crime that appears With a
variety of modus operandi based on technological tools that if not
accompanied by the development of knowledge in society about the law will
cause a person to become a criminal or being a victim of a criminal offense
is not uncommon for children to be targeted as victims. One form of crime
that occurs in society is the crime of sexual abuse of children through the
internet so that the development of the rule of law is also demanded to be
able to overcome the development of this problem. This study aims to assess and analyze whether child
grooming can qualify as a form of sexual abuse against children. The method used in this study is normative juridical. The results obtained show
that child grooming in Hago games through online media is done with the victim
mode being asked to send photos or videos without using clothes or naked by
the groomer. Groomer builds closeness with the initial mode of asking for the
victim's wa number and establishing closeness, giving rise to sympathy and
empathy so that closeness is established between the victim and the
perpetrator. |
||
|
|
Abstrak |
||
Kata
Kunci: Anak; Kekerasan Seksual; Daring. |
|
Kehidupan manusia dalam bentuk bermasyarakat terus
mengalami perubahan dari berbagai aspek, baik yang berdampak terhadap
kemajuan kehidupan tersebut maupun yang berdampak pada meningkatnya kejahatan
dalam hidup manusia. Contoh bentuk kemajuan terhadap kehidupan manusia adalah
kehadiran jaringan dunia maya (internet) yang dapat diakses oleh siapa saja.
Kemajuan ini tentu memiliki sisi baik dan buruk. Dari sisi baik, kehadiran
dunia maya dapat menghubungkan antara manusia yang satu dengan manusia yang
lain tanpa perlu bertatap muka. Sedangkan dari sisi buruk, kehadiran dunia
maya turut menyumbang munculnya berbagai tindak kejahatan yang muncul dengan
berbagai modus yang memanfaatkan kemajuan teknologi ini. Jika kehadiran
internet tidak ditunjang dengan perangkat hukum yang dapat mengakomodir
setiap manusia, maka dipastikan banyak orang dapat berpotensi sebagai seorang
pelaku kejahahatan maupun sebagai seorang korban kejahatan. Salah satu jenis
kejahatan yang memanfaatkan kemajuan jaringan dunia maya adalah pelecehan
seksual. Penelitian ini bertujuan unuk
mengkaji dan menganalisis apakah child
grooming dapat dikualifikasikan sebagai bentuk pelecehan seksual terhadap
anak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil yang didapat menunjukan bahwa child grooming dalam permainan Hago melalui dengan media daring
dilakukan dengan modus korban diminta mengirimkan foto atau video tanpa
menggunakan pakaian atau telanjang oleh groomer.
Groomer membangun kedekatan dengan modus
awal meminta nomor korban dan menjalin kedekatan, menimbulkan simpati dan
empati agar terbangun kedekatan antara korban dan pelaku. |
||
DOI: |
|
|||
A. PENDAHULUAN
Kehidupan manusia dalam bentuk bermasyarakat terus mengalami perubahan dari berbagai aspek, baik yang berdampak terhadap kemajuan kehidupan tersebut maupun yang berdampak pada meningkatnya kejahatan dalam hidup manusia. Contoh bentuk kemajuan terhadap kehidupan manusia adalah kehadiran jaringan dunia maya (internet) yang dapat diakses oleh siapa saja. Kemajuan ini tentu memiliki sisi baik dan buruk. Dari sisi baik, kehadiran dunia maya dapat menghubungkan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tanpa perlu bertatap muka. Sedangkan dari sisi buruk, kehadiran dunia maya turut menyumbang munculnya berbagai tindak kejahatan yang muncul dengan berbagai modus yang memanfaatkan kemajuan teknologi ini. Jika kehadiran internet tidak ditunjang dengan perangkat hukum yang dapat mengakomodir setiap manusia, maka dipastikan banyak orang dapat berpotensi sebagai seorang pelaku kejahahatan maupun sebagai seorang korban kejahatan. Salah satu jenis kejahatan yang memanfaatkan kemajuan jaringan dunia maya adalah pelecehan seksual.[1]
Pelecehan seksual adalah permasalah yang genting yang dihadapi dalam hidup manusia yang dipenuhi berbagai kemajuan. Pelecehan seksual mengindikasikan dan menggambarkan pada diri seorang manusia tidak memiliki norma-norma yang jelas sehingga kebebeasan dan hak hidup orang lain dilanggar. Pelecehan seksual ialah bentuk kekerasan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapanpun waktunya. Perempuan dan anak adalah orang-orang yang dianggap lemah sehingga sangat berpotensi untuk menjadi korban pelecehan seksual.[2]
Persoalan
pelecehan seksual terhadap anak hingga dimasukkan dalam kategori kejahatan
kemanusiaan yang harus dicegah dan dihapuskan. Eksploitasi seksual terhadap
anak ini selain merupakan perbuatan melanggar hukum, melanggar Konvensi Hak
Anak (KHA), juga bertentangan dengan norma agama dan budaya masyarakat beradab.[3]
Bentuk-bentuk pelecehan seksual antara lain:
1)
Pelecehan
seksual verbal adalah bentuk pelecehan Pelecehan seksual yang terjadi secara
verbal dapat berupa ucapan ataupun komentar yang mengarah pada topik seksualitas.
Perilaku seperti menggoda, menyindir, melempar candaan, bahkan menanyakan hal
bersifat seksual terhitung sebagai bentuk pelecehan seksual verbal
apabila hal tersebut mampu membuat si korban merasa tidak nyaman.
2)
Pelecehan
seksual nonverbal yang ditampakkan dari tindakan atau pun gestur seksual yang
menimbulkan ketidaknyamanan pada korban. Contoh nyata dari bentuk pelecehan
seksual non-verbal ini bisa berupa menggesekkan alat kelamin pada tubuh korban, menunjukkan alat kelamin dan
segala bentuk tindakan seksual yang dilakukan pada diri sendiri di hadapan
orang lain yang tidak menginginkannya, mengarahkan pandangan pada bagian tubuh
seseorang secara seksual, dan segala bentuk gerak-gerik seksual .
3) Pelecehan seksual secara fisik mungkin merupakan bentuk pelecehan seksual yang paling ekstrem, nih! Pelaku pelecehan seksual fisik akan melakukan kontak fisik secara seksual sekalipun korban tidak menginginkannya.Hal-hal seperti pemerkosaan, meraba-raba tubuh korban tanpa izin, memberikan barang pada seseorang dengan harapan memperoleh balasan secara seksual, bahkan melakukan tes keperawanan pada seseorang termasuk ke bentuk pelecehan seksual.Tindakan memeluk, mencium, menepuk, dan membelai ternyata juga dikategorikan sebagai bentuk pelecehan seksual fisik, apabila kamu yang mengalami tidak memberikan izin dan merasa tidak nyaman.[4]
Pelecehan seksual dapat berupa perbuatan meminta, mengomentari
Gerakan atau tingkah seseorang yang tidak diinginkan serta dapat dilakukan oleh
siapapun. Pelecehan seksual tidak hanya terjadi dalam interaksi tatap muka,
tetapi juga dapat ditemukan dalam dunia online
ataupun melalui pesan singkat.[5]
Pelecehan
seksual dapat
terjadi kepada siapa saja salah satu yang sering menjadi korban pelecehan
seksual adalah perempuan dan anak. Yang dimaksud anak dalam pengertian ini
adalah anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang masih di dalam
kandungan.
Salah
satu efek buruk perkembangan di bidang telekomunikasi pada anak adalah dengan
mengikutsertakan anak sebagai bagian dari kejahatan yang dilakukan, baik
sebagai pelaku maupun korban kejahatan. Tentunya akan berdampak pada mental
maupun kehidupan sosial dari anak tersebut. Apalagi jikan kejahatan yang
dilakukan berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang bersifat seksualitas. Bentuk kejahatan (cybercrime) karena perkembangan teknologi komunikasi memiliki
dampak negatif yang sangat memprihatinkan bagi anak baik bagi mentalnya hingga
ke kehidupan sosialnya. Salah satunya penyalahgunaan kegunaan internet melalui
jejaring sosial atau media sosial online oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggungjawab yang melibatkan anak di bawah umur sebagai korban kekerasan,
pelecehan dan pengeksploitasian seksual akibat dari kejahatan seksual.[6]
B.
METODE
PENELITIAN
Penggunaan metode
penelitian tulisan ini adalah menggunakan metode penelitian normatif. Suatu
metode penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai
bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap
peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti.[7]
Data yang dipergunakan adalah data sekunder dengan prioritas pengumpulan bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data yang diperoleh kemudian diolah dan
disajikan secara deskritif-analisis.
C.
PEMBAHASAN
1.
Pelecehan
Seksual Terhadap Anak
Pelecehan atau kekerasan seksual merupakan upaya penyerangan yang bersifat seksual, baik telah terjadi persetubuhan ataupun tidak. Pelecehan atau kekerasan seksual adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dengan cara memaksakan keinginan seksualnya dapat disertai dengan ancaman maupun paksaan[8].
Pelecehan seksual
memiliki rentang yang sangat luas, mulai dari ungkapan verbal (komentar,
gurauan dan sebagainya) yang jorok atau tidak senonoh, perilaku tidak senonoh
(mencolek, meraba, memeluk, dan sebagainya), mempertunjukkan gambar porno atau
jorok, serangan dan paksaan yang tidak senonoh seperti, memaksa untuk mencium
atau memeluk, bahkan mengancam korban bila menolak memberikan pelayanan
seksual, hingga perkosaan.[9]
Pelecehan seksual pada anak adalah suatu bentuk kekerasan dimana seseorang menjadikan anak jalanan untuk melampiaskan rangsangan seksualnya. Perilaku-perilaku pelecehan seksual sudah biasa bagi anak jalanan, seperti anak laki-laki memegang payudara atau paha anak perempuan atau sebaliknya, anak perempuan memegang alat kelamin anak laki-laki.
Anak-anak yang memiliki pengetahuan kurang tentang pendidikan seks akan berisiko tinggi mengalami pelecehan seksual. Mereka menganggap tabu untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan reproduksi, sehingga tidak memiliki gambaran yang tepat tentang pendidikan seks. Usia rata-rata anak jalanan mengalami pelecehan seksual pertama kali yaitu 8-15 tahun. Biasanya pelaku pelecehan seksual adalah sesama anak jalanan. Tempat terjadinya pelecehan seksual dapat di rumah pelaku, pinggir jalan, kolong jembatan, dalam pasar, pinggiran sungai, stasiun, dan dalam angkot. Korban dianggap lemah dan tidak dapat melawan sehingga mendapat perlakuan pelecehan seksual dari pelaku. Berbagai dampak akibat pelecehan seksual dapat dialami korban, seperti perasaan jengkel, takut, menyesal, dan stres, bahkan terkena penyakit menular seksual. [10]
Pelaku pelecehan seksual biasanya akan membujuk korban dengan diiming-imingi sesuatu, misalnya diberi sejumlah uang atau dibelikan barang-barang yang korban inginkan. Bahkan korban ada yang diancam atau dipaksa oleh pelaku. Anak-anak sering menjadi korban karena mereka cenderung tidak berani untuk menolak terutama pada orang yang dikenal. Selain itu, anak-anak mudah sekali untuk dibujuk dengan iming-iming sesuatu.[11]
Saat ini, anak-anak kurang memahami tentang pelecehan seksual dalam berpacaran. Padahal, hal itu tanpa disadari seringkali dialami oleh orang-orang yang berpacaran. Pelecehan seksual dalam berpacaran yang paling sering dialami, antara lain dipaksa berciuman, dipaksa menonton film porno, dipaksa melakukan hubungan seksual. Faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami pelecehan seksual adalah gabungan dari faktor korban dan pelaku pelecehan tersebut. Hal tersebut karena mereka masih memiliki pengetahuan yang kurang tentang pelecehan seksual dalam pacaran [12]. Meskipun, korban tahu jika tindakan yang mereka terima dari pacarnya adalah bentuk pelecehan seksual. Namun, korban tidak mampu menolak tindakan pelecehan seksual tersebut karena perasaan takut kehilangan.
Berdasarkan penjelasan mengenai pelecehan seksual diatas terdapat bentuk-bentuk pelecehan seksual dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:[13]
a)
Pelecehan seksual berdasarkan perlakuan yang
diterima korban
1)
Pelecehan seksual secara non-fisik Pelecehan
seksual secara non-fisik meliputi kata-kata menghina, pandangan tidak senonoh,
dilihat dari atas ke bawah, pandangan cabul pada bagian-bagian tubuh tertentu,
dan ucapanucapan tentang seks. Pelecehan seksual juga dapat berupa korban
diajak melihat film porno, diperlihatkan aktifitas seksual secara langsung.
Selain itu, pelaku memperlihatkan gambar-gambar porno atau alat kelaminnya pada
anak.
2)
Pelecehan seksual secara fisik Pelecehan seksual
secara fisik dapat berupa pencabulan, sodomi, dan pemerkosaan. Korban pelecehan
seksual pada anak yang paling dominan adalah usia di bawah 15 tahun. Lebih luas
pelecehan seksual dapat berupa kegiatan, seperti diminta memerankan adegan
berbau seks untuk difilmkan, menyentuh dan mencium zona erogen (alat kelamin,
bokong, payudara, mulut, paha bagian dalam) anak, meminta atau menyuruh anak
untuk menyentuh zona erogen pelaku, pelaku memeluk dan meraba-raba tubuh anak
secara tidak wajar, bahkan memaksa anak melakukan hubungan seksual.
b)
Pelecehan seksual berdasarkan batasannya
1)
Pelecehan seksual ringan sampai sedang Pelecehan
seksual kategori ringan sampai sedang antara lain, korban diperlihatkan
gambar-gambar porno, diperlihatkan alat kelamin, korban disentuh atau diciumi
pada zona erogen atau diminta menyentuh zona erogen pelaku, dipeluk dan
diraba-raba secara tidak wajar
2)
Pelecehan seksual berat Bentuk pelecehan seksual
berat seperti pencabulan, perkosaan per vagina, perdagangan anak19, sodomi
(perkosaan per anus).
c)
Pelecehan seksual berdasarkan pelakunya
1)
Incest
Incest merupakan bentuk pelecehan seksual dimana pelaku masih memiliki
hubungan darah atau menjadi bagian dalam keluarga inti dengan korban anak,
misalnya kakak, adik, paman, ayah kandung maupun ayah tiri. Incest paling rawan
terjadi pada anak perempuan.
2)
Extrafamilial
sexual abuse Extrafamilial sexual abuse
merupakan pelecehan seksual dimana pelaku bukan anggota keluarga korban atau
terjadi di luar lingkungan keluarga korban, misalnya anak sekolah dasar
mengalami pelecehan seksual dengan cara disodomi oleh petugas kebersihan di
sekolah.
3)
Bisnis seks komersial pornografi Bisnis seks
komersial pornografi dilakukan oleh suatu jaringan atau mafia pedofilia, dimana
anak-anak diburu dan dimanfaatkan untuk kepentingan nafsu menyimpang mereka.
Dalam bisnis seks komersial pornografi yang diperdagangkan adalah foto-foto dan
video anak-anak telanjang, bahkan beradegan sensual.
Indonesia sekarang terdapat bentuk dan motif terbaru yang digunakan untuk menjerat korban yang masih dibawah umur yaitu dengan menggunakan motif Child grooming. Child grooming merupakan proses mendekati anak dengan tujuan membujuk mereka agar bersedia melakukan aktivitas seksual [14]. Pelaku menggunakan berbagai teknik untuk mengakses dan mengontrol korban. Proses ini membutuhkan akses, waktu, dan keterampilan interpersonal pelaku. Jika child grooming dilakukan dengan baik, korban secara tidak sadar akan mudah ‘bekerjasama’ dengan pelaku. Semakin mahir keterampilan pelaku dalam memilih dan merayu korban yang rentan, semakin sukses child grooming dilakukan. Keterampilan pelaku mencakup cara memilih korban, mengidentifikasi dan mengetahui kebutuhan korban, waktu yang dibutuhkan oleh pelaku untuk mendekati korban, merayu dan mengendalikan korban.[15]
Dalam menjalankan aksinya pelaku Child grooming
sering menggunakan aplikasi game online untuk mendapatkan korban yang masih
dibawah umur seperti kasus yang baru-baru ini terjadi di Indonesia, tersangka AAP alias Prasetya Devano alias Defans alias
Pras. AAP ditahan polisi karena melakukan tindakan pelecehan anak dengan modus
bermain game online 'Hago’ Motifnya adalah pelaku bertukar nomor dengan korban
selanjutnya pelaku melakukan video call ke korban dan korban disuruh melakukan
hal-hal bersifat pornografi dan direkam oleh tersangka. Rekaman itu kemudian
digunakan tersangka untuk mengancam korban agar korban mau melakukan aksi
serupa itu secara berulang kali.
Selain itu
Pelecehan seksual telah diatur dalam peraturan perundangan-undangan di
Indonesia untuk meminimalisir perkembangan kejahatan pelecehan seksual. dalam
peraturan perundang-undangan di indonesia diistilahkan dengan pencabulan, oleh
karena itu pada umumnya diatur dalam Pasal 289 KUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
“ Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan suatu perbuatan cabul,
diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan,
diancam dengan pidana paling lama sembilan tahun”.
Pelecehan seksual dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan anak di bawah umur diatur juga dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 82 yang menyebutkan:
“ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
Berdasarkan kedua pasal dari dua undang-undang yang
berbeda dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pelecehan seksual merupakan suatu
perbuatan yang sengaja, yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan pelecehan seksual[16].
2.
Child Grooming Sebagai Bentuk Pelecehan
Seksual Terhadap Anak
Meningkatnya pelecehan seksual terhadap anak terjadi karena adanya kemudahan akses terhadap korbannya, dan teknologi internet mempermudah pelaku mengakses korban untuk melakukan child grooming. Hal ini biasa dikenal dengan online child grooming. Dengan kata lain, online child grooming merupakan proses mendekati anak dengan menggunakan teknologi internet yang bertujuan membujuk mereka untuk bersedia melakukan aktivitas seksual secara online atau offline.
Online child grooming dilakukan dengan berbagai tipe, durasi dan itensitas tergantung dari karakteristik dan perilaku masing-masing pelaku. Diantara berbagai cara dan variasi dalam melakukan online child grooming, terdapat enam hal umum yang mendasari online child grooming yaitu sebagai berikut:[17]
1)
Manipulation
Online
child grooming melibatkan beberapa bentuk manipulasi.
Terdapat berbagai jenis manipulasi yang dapat dilakukan oleh pelaku terhadap
korbannya. Berbagai teknik manipulasi digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan
kontrol pelaku terhadap korbanserta meningkatkan ketergantungan korban pada
pelaku sepertimemberikan pujian untuk membuat korban merasa istimewa. Cara
manipulasi ini dilakukan agar korban merasa dicintai dan diperhatikan. Di sisi
lain, pelaku dapat mengontrol korban dengan cara mengintimidasi sehingga korban
merasa takut dengan pelaku.
2)
Accessibility
Kemudahan
akses untuk berinteraksi dengan korban menjadi salah satu faktor terjadinya online
child grooming. Pelaku dapat mengakses korban melalui internet tanpa harus
bertatap muka secara langsung dan tanpa harus membuka identitas aslinya. Dalam
dunia nyata, orang tua lebih berwaspada terhadap orang yang berinteraksi
langsung dengan anak mereka. Namun, mereka tidak waspada dengan interaksi onlinedan
kurang terlibat dalam kehidupan online anak mereka. Menurut penelitian, 20%
anak yang menggunakan jejaring sosial mengatakanpernah berbicara dengan orang
asingdi internet dan 20% diantara mereka berumur 9 hingga 12 tahun. Pelaku
memanfaatkan teknologi internet untuk berinteraksi baik satu atau dua arah dengan
korbanmelalui chat room, blog, mediasosial, forum atau bulletin.
3)
Rapport
Building
Sebagai
bagian dari membangun hubungan, pelaku melakukan penyesuaian perilaku dan gaya
berkomunikasi sehingga membuat korban nyaman berbicara dengan pelaku. Selain
itu pelaku mencari tahuketertarikandan keadaan sekeliling korbannya. Agar
tindakan yang dilakukan oleh pelaku dengan korban tidak diketahui oleh orang
lain, pelaku biasanya meminta korban merahasiakan hubungan mereka.
4)
Sexual
Context
Hubungan
seksual merupakan tujuan online child grooming. Untuk kapan dan
bagaimana hubungan seksualitas dimulai tergantung dari masingmasing pelaku.
Untuk memulai hubungan seksual dapat dilakukan dengan berbagai macam seperti
berbicara jorok, merayu korban, mengirim gambar porno atau menghubungkan ke
dalam hal-hal berbau pornografi.
5)
Risk
Assessment
Penilaian
resiko terhadap korban dilakukan sebelum dan pada saat online child
grooming. Penilaian resiko dilihat dari beberapa aspek yaitu individu korban,
faktor yang berkaitan dengan internet dan lingkungan sekitarnya. Selain
itu, pelaku melakukan manajemen resiko. Terdapat tiga cara yang
dilakukan oleh pelaku dalam management resiko, yaitu
a) Berhubungan dengan teknologi yang digunakan dan logistik yang terkait dengan pelaku. Sebagai contoh menggunakan beberapa hardware, alamat IP yang berbeda, dan berbagai metode penyimpanan.
b) Pelaku menahan diri berkomunikasi dengan korban di ruang publik dan memilih penggunaan email pribadi atau ponsel.
c) Pelakubertemu dengan korban dengan melakukan pertemuan yang jauh dari lingkungan korban. Namun, ada penelitian yangmengatakan bahwa managemen resiko tidak dimanfaatkan oleh semua pelaku, karena mereka mengganggap tidak melakukan sesuatu yang salah sehingga tidak ada yang perlu disembunyikan.
6)
Deception
Dalam online
child grooming, terkadang pelaku menyamar sebagai teman sebaya atau anak
muda. Penelitian mencatat bahwa 5% pelaku menyamar sebagai anak muda ketika
berkomunikasi dengan korban. Sebagian besar pelaku memberitahu korban bahwa
mereka adalah orang dewasa yangingin membangun hubungan khusus dengan korban.
Sebagian besar korban bertemu pelakusecara langsung dan melakukan hubungan
seks. Sehingga dapat disimpulkan sebagian besar korban sadar mereka
berkomunikasi dengan orang dewasa dan mengambil risiko untuk berinteraksi
dengan pelaku.
Jika dilihat dari proses-proses hingga karakteristik Child Grooming maka dapat diartikan
bahwa pelaku Child Groooming akan
semakin berkembang dengan menggunakan modus-modus terbaru dalam mencari korban
seiring dengan kemajuan teknologi yang begitu cepat. Seperti kasus yang
baru-baru ini terjadi di Indonesia, tersangka
AAP alias Prasetya Devano alias Defans alias Pras. AAP ditahan polisi karena
melakukan tindakan pelecehan anak dengan modus bermain game online 'Hago’
Motifnya adalah pelaku bertukar nomor dengan korban selanjutnya pelaku
melakukan video call ke korban dan
korban disuruh melakukan hal-hal bersifat pornografi dan direkam oleh
tersangka. Rekaman itu kemudian digunakan tersangka untuk mengancam korban agar
korban mau melakukan aksi serupa itu secara berulang kali.
Dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia pelaku Child Grooming dapat dijerat dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik , Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dan Undang-Undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.[18]
Pasal 27 ayat (1) UU ITE:
“ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Pasal 45 ayat
(1) UU ITE:
“ Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1), ayat (2), ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”.
Pasal 52 ayat (1) UU ITE
“ Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1)
menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan
pemberatan sepertiga dari pidana pokok”.
Pasal 76 E Undang-Undang Perlindungan anak
“ Setiap
Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul”.
Pasal 82 UU Perlindungan anak
“ Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.
Pasal 29 UU Pornografi
“ Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggadakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediaka pornografi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah)”.
D.
P E N U T U P
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa child grooming merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual anak, yang mana pelecehan seksual itu dilakukan melalui permainan dari yaitu hago. Adapun unsur sengaja serta motif yang tergambar dalam uraian pembahasan menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dikategorikan sebagai perbuatan pelecehan seksual. Untuk menghindari agar tidak terjadinya pelecehan seksual dengan modus Child Grooming melalui game online maka sebaiknya kepolisian bekerjasama dengan pemilik setiap game online yang mempunyai fitur mengirim foto maupun video call pada aplikasinya untuk dapat menghapus fitur tersebut untuk meminimaisir pelaku pelecehan seksual terhadap anak melalui modus Child grooming.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
[1] Gill,
A. K., Harrison, K. (2015). Child Grooming and Sexual Exploitation: Are South
Asia Men the UK Media’S New Folk Devils. International
Journal for Crime, Justice and Social Democracy, 4 (2): 34-49.
[2]
Hilmi, M. F. (2019). Kekerasan Seksual
Dalam Hukum Internasional. Jurist-Diction,
2 (6): 2199-2218.
[3] Kurnianingsih,
S. (2011). Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan di Tempat Kerja. Buletin Psikologi, 11 (2): 116-129.
[4] Oktaviani,
D. L., Mulyawati, K. R. (2020). Kebijakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Child
Grooming. Kertha Wicaksana, 14 (2):
118-123, Doi: 10.22225/kw.14.2.1919.118-123.
[5]
Purwanti,
A., Zalianti, Marzelina. (2018). Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual
Terhadap Perempuan dan Anak Melalui RUU Kekerasan
Seksual. Masalah-Masalah Hukum, 47
(2): 138-148.
[6]
Purandari, T. (2019). Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Eksploitasi Seksual
Pada Anak Melalui Internet. Media Juris,
2 (2): 233-258, DOI: 10.20473/mi.v2i2.12717.
[7]
Rofida, Z., Boroya, N., Wati, D. M. (2017),
Hubungan antara Kekerasan Seksual dengan Fungsi Seksual Perempuan di Kabupaten
Jember, Jurnal Pustaka Kesehatan, 5
(2): 193-198.
[8]
Syarif,
N. (2012), Kekerasan Fisik dan Seksual (Analisis Terhadap Pasal 5 A dan C UU
No. 23 Tahun 2004 Ditinjauh Dari Perspektif Hukum Islam). Al-‘ADALAH, 10 (4): 423-434.
[9] Sumera,
M. (2013). Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan. Jurnal Lex et Societatis, 1 (2): 39-49.
Buku
[10] Ahsini.
(2014). Mencegah Dan Menangani Kekerasan
Seksual Terhdap Perempuan Dan Anak. Jakarta: Buku Saku
[11] Arifah.
(2013). Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Sebagai Korban Pelecehan Seksual.Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
[12] Gultom,
Maidin. (2010). Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung:
Refika Aditama.
[13] Sitompul,
Arsil. (2001). Hukum Internet.
Bandung: Citra Aditya Bakti
[14] Soekanto,
S, & Mamudji, S. (2001). Penelitian
Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali
[15] Wahid, A, & Irfan, M. (2000). Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual. Bandung: Refika Aditama.
Online/World Wide Web
[16] Gadis.co.id Tipe pelecehan seksual <https://www.gadis.co.id/Ngobrol/3-tipe-pelecehan-seksual-yang-perlu-kamu-ketahui-?p=4>.
[17] Tirto.id
Modus pelecehan seksual disekolah <
https://tirto.id/modus-modus-pelecehan-seksual-di-sekolah-clpX>.
[1] Kurnianingsih, S. (2011). Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan di Tempat Kerja. Buletin Psikologi, 11 (2): 116-129, h. 122
[2] Purwanti, A., Zalianti, Marzelina. (2018). Strategi
Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak Melalui RUU
Kekerasan Seksual. Masalah-Masalah Hukum,
47 (2): 138-148, h. 138
[3] Syarif, N. (2012), Kekerasan Fisik dan
Seksual (Analisis Terhadap Pasal 5 A dan C UU No. 23 Tahun 2004 Ditinjauh Dari
Perspektif Hukum Islam). Al-‘ADALAH, 10
(4): 423-434.
[4]Gadis.co.id Tipe
pelecehan seksual. Melalui https://www.gadis.co.id/Ngobrol/3-tipe-pelecehan-seksual-yang-perlu-kamu-ketahui-?p=4 (diakses pada 8 Mei 2020).
[5]Tirto.id Modus
pelecehan seksual disekolah.
Melalui https://tirto.id/modus-modus-pelecehan-seksual-di-sekolah-clpX (diakses pada 10
Mei 2020).
[6] Rofida, Z., Boroya, N., Wati, D. M. (2017),
Hubungan antara Kekerasan Seksual dengan Fungsi Seksual Perempuan di Kabupaten
Jember, Jurnal Pustaka Kesehatan, 5
(2): 193-198.
[7]
Soekanto, S., Mamudji, S.
(2001). Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Press, h. 13-14
[8] Sumera, M.
(2013). “Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan, Jurnal Lex et Societatis, 1 (2): 39-49,
h. 43
[9] Gultom, M. (2010). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, h. 55
[10] Arifah. (2013). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai
Korban Pelecehan Seksual. Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, h. 77
[11] Wahid, A., Irfan, M. (2010). Perlindungan
Terhadap Korban Kekerasan Seksual. Bandung: Refika Aditama, h. 99
[12] Hilmi, M. F. (2019). Kekerasan Seksual Dalam Hukum Internasional. Jurist-Diction, 2 (6): 2199-2218, h. 2206.
[13] Ahsinin. (2014). Mencegah Dan Menangani Kekerasan Seksual
Terhdap Perempuan Dan Anak, Jakarta: Buku Saku, h. 98
[14] Gill, A. K., Harrison, K. (2015). Child Grooming and Sexual Exploitation: Are South Asia Men the UK Media’S New Folk Devils. International Journal for Crime, Justice and Social Democracy, 4 (2): 34-49.
[15] Dik-dik, Manshur, M. A.,
Gultom, E. (2015). Cyber Law: Aspek
Hukum Teknologi Informasi. Bandung: Refika Aditama, h. 88
[16] Purandari, T. (2019). Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Eksploitasi Seksual Pada Anak Melalui Internet. Media Juris, 2 (2): 233-258, DOI: 10.20473/mi.v2i2.12717, h. 240.
[17] Sitompul, A. (2010). Hukum
Internet. Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 21
[18] Oktaviani, D. L., Mulyawati, K. R. (2020). Kebijakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Child Grooming. Kertha Wicaksana, 14 (2): 118-123, Doi: 10.22225/kw.14.2.1919.118-123, h. 119
Copyright (c) 2020 Anna Maria Salamor, Astuti Nur Fadillah Mahmud, Patrick Corputty, Yonna Beatrix Salamor
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
Cited-By:
1. Proceedings of the 7th Progressive and Fun Education International Conference (PROFUNEDU 2022)
Esa Mutiarani, Murfiah Dewi Wulandari, Ika Candra Sayekti, Muhamad Taufik Hidayat
ISBN: 978-2-494069-71-8 first page: 271 year: 2022
Type: Book [View Source]
2. Proceedings of 1st Annual International Conference: A Transformative Education: Foundation & Innovation in Guidance and Counseling
Antonius Ian Bayu Setiawan, Suwarjo
ISBN: 978-2-38476-030-5 first page: 45 year: 2023
Type: Book [View Source]
3. Kekerasan Berbasis Gender Di Media Sosial
Jihan Risya Cahyani Prameswari, Deassy Jacomina Anthoneta Hehanussa, Yonna Beatrix Salamor
PAMALI: Pattimura Magister Law Review vol: 1 issue: 1 first page: 55 year: 2021
Type: Journal [View Source]